Senin, 31 Mei 2010

Revolusi Permanen - Leon Trotsky


Revolusi Permanen - Leon Trotsky

Pertama kali sebuah buku karya Leon Trotsky, Permanent Revolution (Revolusi Permanen) terbit dalam bahasa Indonesia. Trotsky menulis buku itu tahun 1928 saat dia diasingkan oleh Stalin karena dianggap membahayakan kekuasaannya. Trotsky mengeritik kebijakan Stalin yang menjalankan revolusi demokratik dan menunda revolusi sosialis. Stalin lantas membungkam aktivitas Trotsky, melakukan propaganda anti Trotsky, memburu semua pengikutnya, dan melarang peredaran bukunya. Pengikut Trotsky ketika itu dimusuhi oleh semua gerakan kiri pengikut garis politik Stalin.

Ted Sprague yang berkedudukan di Montreal-Kanada menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Dia merasa perlu menerjemahkan buku itu untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan yang kerap dilakukan terhadap gagasan Revolusi Permanennya Trotsky.

“Saya melihat cukup banyak aktivis di Indonesia yang menentang ide revolusi permanen tanpa tahu apa ide revolusi permanen itu sebenarnya. Atau bahkan orang-orang yang mengaku tahu ide revolusi permanen, tetapi tidak pernah membacanya langsung dari karya Trotsky ini,” ujar Ted melalui wawancara jarak jauh. Dia berharap penerjemahan karya monumental ini melengkapi persenjataan ideologi gerakan di Indonesia, di mana ide Revolusi Permanen dapat memainkan peran yang penting di dalam gerakan Indonesia.

“Tetapi sumbangan Trotsky yang paling penting adalah usahanya untuk mempertahankan tradisi Revolusi Oktober dan ide Marxisme, walaupun ini berarti hilangnya nyawa dia dan keluarganya,” kata Ted.

Di Malang, peluncuran buku itu dihadiri oleh lebih dari 50 orang. Mereka terdiri dari mahasiswa dan buruh. Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) mempelopori peluncuran buku ini dengan menghadirkan dua narasumber; Jesus Syaiful Anam sebagai koordinator Hands off Venezuela dan Romo Robertus Wijanarko, dosen universitas Brawijaya. Diskusi berlangsung di Gedung IKA Brawijaya pada 3 Maret lalu.

Acara itu juga sekaligus meluncurkan Hands off Venezuela-Malang. Ini adalah sebuah perkumpulan anak muda yang simpati terhadap revolusi yang berlangsung di Venezuela. Mereka menggalang solidaritas di lebih dari 30 negara dengan cara menyebarluaskan fakta revolusi di Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez yang didukung segenap rakyatnya. Mereka berupaya menjadi media penyeimbang atas informasi yang dikuasai oleh media pendukung Amerika Serikat dan sekutunya yang tidak menginginkan revolusi Venezuela. Hands off Venezuela Indonesia sudah berkembang di Bandung dan Malang.
“Sosialisme di Venezuela tidak akan kokoh tanpa dukungan internasional,” kata Jesus Saiful Anam. Presiden Venezuela, Hugo Chavez juga menyerukan agar mempelajari Trotsky untuk jalan menuju sosialisme.

Robertus Wijanarko mengatakan, revolusi permanen Trotsky adalah cita-cita revolusi lintas negara.

“Kita sudah dikepung oleh jargon-jargon neoliberalisme melalui media massa dan lain-lain,” katanya. Wijanarko menilai buku itu layak dipelajari. Buku itu menyebarluaskan sosialisme yang berakar dari pemikiran Karl Marx yang diteruskan dan diterjemahkan oleh Lenin dan Trotsky.

Bagaimana pendapat Ted Sprague soal gerakan sosial di Indonesia dihubungkan dengan pemikiran Trotsky?

Menurut Ted, pada saat periode revolusiner 1960-an di Indonesia, teori Revolusi Permanen sangatlah konstektual. Pertama-tama yang harus selalu kita ingat adalah kaum imperialis dengan konco-konco lokalnya (Soeharto dan kroni) bertanggung jawab atas pembunuhan lebih dari satu juta rakyat Indonesia. Tetapi, itu hanya satu sisi saja. Sisi lainnya yang harus kita jawab adalah mengapa Partai Komunis Indonesia yang sangat besar itu bisa luluh lantak, mengapa rakyat pekerja dan petani di bawah kepemimpinan PKI tidak mengambil kekuasaan bila mereka sedemikian kuat. Ini karena kepemimpinan PKI saat itu menganut kebijakan dua-tahapnya Stalin, yakni bahwa tahapan revolusi Indonesia saat itu adalah revolusi demokratik dan ini harus dilakukan bersama dengan kaum borjuis nasional. Maka dari itu sosialisme tidak ada di agenda. Rakyat pekerja tidak boleh mengambil kekuasaan, petani tidak boleh merebut tanah mereka dari kaum tuan tanah. Revolusi demokratik ini tidak boleh menyentuh kepemilikan kaum borjuis nasional.

Kontradiksi-kontradiksi inilah yang akhirnya memberikan peluang bagi Soeharto dan kroni-kroninya untuk merebut kekuasaan dan menghancurkan PKI dan gerakan rakyat. Jadi, dalam konteks pemikiran Trotsky, teori Revolusi Permanen adalah anti-thesis dari teori dua-tahap. [end]

Sabtu, 29 Mei 2010

Apa kata dunia???(modus kejahatan pajak)

D bloggers pasti kalau melihat iklan Direktorat Pajak di tv yang kalimatnya Hari ini ga ngisi SPT “Apa Kata Dunia??” Kalimat yang populer oleh Deddy mizwar dalam film Nagabonar itu yang sudah dikomersilkan di iklan-iklan di sebagai cara mengikat warga Indonesia agar tertib serta sadar untuk membayar pajak diseluruh media televisi dan koran sepertinya kalah dengan pengaruh berita yang selalu tampil di media tv yang menyeret nama pegawai kantor konsultan pajak pegawai pajak Gayus tambunan dengan dugaan markus (makelar kasus) (TV one 28/03). Berawal dari Susno Duadji membeberkan mafia kasus di tubuh Polri, khususnya yang terkait kasus penggelapan pajak Rp 24,6 miliar yang melibatkan perwira tinggi Polri berbintang satu. Tampaknya, apa yang dipaparkan Susno bukan sekadar gosip. Ada fakta yang mulai terungkap ke publik dengan disebutnya nama Gayus Tambunan.Di luar urusan motivasi mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dalam memberi informasi terkait makelar kasus di tubuh Polri, pernyataannya perlu didengar secara serius untuk mendorong reformasi birokrasi di tubuh Polri (kompas 27/03/2010). .POLRI merencanakan memeriksa Gayus terkait aliran dana Rp 24,6 miliar. Bahkan, Kapolri akan membentuk tim independen untuk menyidik ulang mafia kasus pajak yang dilakukan Gayus Tambunan.Tulisan ini lebih membidik ke modus kejahatan pajak, yang jarang diungkap ke publik. Kejahatan pajak masuk white collar crime (kejahatan kerah putih)yang pelakunya memiliki penghasilan tinggi, berpendidikan, memegang jabatan-jabatan terhormat di masyarakat. Dalam penulisan ini akan dibahas masalah modus kejahatan pajak dengan cara memanipulasi tanda bukti pembayaran pajak berupa SSP (surat setoran pajak ) yang disetorkan melalui bank.Kejahatan Pajak menjurus kearah Extra ordinary economic crime, yang juga merupakan bagian dari white collar crime namun lebih memiliki kekhususan karena merupakan kejahatan ekonomi di luar kebiasaan (bersifat luar biasa), karena sangat merugikan perekonomian negara dan dapat menimbulkan gejolak sosial(contohnya ada gerakan anti membayar pajak pada situs pertemanan di face book).
Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H., kejahatan ekonomi (pajak) ini merupakan ciri yang menonjol dari kejahatan terhadap pembangunan masyarakat, bangsa-bangsa di dunia, baik dalam masyarakat yang sudah maju/modern maupun yang sedang mengalami perkembangan ke arah modernisasi karena kejahatan ini sangat luas dan dapat melampaui batas-batas teritorial. Kejahatan pajak yang bermotif ekonomi ini mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan di bidang perekonomian masyarakat dan keuangan negara yang sehat serta menimbulkan kerugian (bagi negara dan masyarakat) dalam skala yang sangat besar sebagai contoh konkrit adalah kejahatan pajak yang dilakukan oleh pegawai kantor konsultan pajak pegawai pajak Gayus tambunan yang sedang menjadi pembicaraan saat ini
Sejak zaman Romawi kuno para pemungut pajak atau cukai menjadi cibiran publik. Di negeri kita juga sudah menjadi rahasia umum, para pegawai pajak dicemburi publik dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka seperti mendapat ”cap” tega mengembat uang pajak.Bahkan, para wajib pajak yang harus membayar pajak dalam jumlah besar sering menjadi sasaran para oknum pegawai pajak (baca penjahat pajak). Akibatnya, para wajib pajak tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, kewajiban pajak yang berjumlah sangat besar bisa diatur sedemikain rupa sehingga jumlahnya menjadi kecil. Wajib pajak pun selamat dari tuduhan menggelapkan pajak. Namun, negara dirugikan. Mengingat, jumlah pajak yang masuk ke khas negara berkurang. Sedangkan rekening oknum pegawai pajak bertambah. Maklum, dia sudah mendapat gaji dari pemerintah dan juga mendapat ”gaji tidak resmi” dari para wajib pajak yang berhasil dirayu untuk berkolusi mengemplang pajak. Dalam konteks itu, wajib pajak juga sudah melakukan kejahatan pajak.Umumnya, oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak sendirian. Dia bersekongkol dengan berbagai pihak, termasuk polisi atau jaksa, seperti tampak dari cara kerja Gayus. Kejahatan pajak memang sering berantai dengan melibatkan banyak orang dan berlangsung sangat rapi. Tepat bila ada yang mengatakan bahwa di negeri kita juga ada mafia pajak.
Yang penting diperhatikan, para oknum pegawai pajak yang menjadi penjahat pajak tidak langsung mengambil uang dari pajak yang dibayarkan para wajib pajak. Jangan lupa, uang pembayaran pajak langsung disetor lewat bank atau kantor pos. Lewat tanda bukti pembayaran berupa surat setoran pajak (SSP) dilampirkan dalam SPT, surat pemberitahuan untuk dilaporkan di kantor pajak.
Jadi, petugas pajak hanya administrator. Kejahatan pajak terjadi ketika ada manipulasi pembayaran pajak dengan SSP palsu maupun dengan pelaporan SPT yang tidak benar. Kejahatan bisa terjadi karena ada persekongkolan antara wajib pajak (seperti pengusaha) dan pegawai pajak. Dalam hal itu, peran masyarakat untuk melakukan pengawasan sangat diperlukan.
Yang memprihatinkan, praktik kejahatan pajak rupanya sudah sangat lama berlangsung di negeri ini. Anehnya, banyak kasus terkait kejahatan pajak sering berakhir damai di pengadilan, sebagaimana nasib Gayus. Maklum, meski sudah ada gerakan reformasi sejak 1998, reformasi di sektor pajak nyaris tidak pernah dilakukan.
Karena itu, agaknya pemerintah jangan hanya membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tapi juga mendesak dibentuk Satgas Mafia Kejahatan Pajak. Masyarakat juga bisa berperan dalam hal itu.
Pembentukan Satgas Mafia Kejahatan Pajak seperti dilakukan Jerman atau Italia penting untuk memulihkan kepercayaan publik yang kian tipis seiring terkuaknya kejahatan pajak yang dilakukan Gayus. Simak saja, kini muncul gerakan boikot bayar pajak untuk keadilan. Munculnya gerakan itu jelas merupakan bentuk ketidakpercayaan publik kepada para pegawai pajak.
Jika gerakan tersebut kian mendapat dukungan, tentu saja kampanye kesadaran membayar pajak yang digembar-gemborkan Dirjen Pajak menjadi mubazir. Padahal, pajak memang diperlukan oleh negara untuk membangun pelabuhan, jalan, jembatan, dan berbagai fasilitas umum yang lain. Sekitar 70 persen dari APBN atau APBD diambilkan dari pajak. Semua gaji PNS, termasuk pegawai pajak atau gaji TNI dan polisi, diambilkan dari APBN yang mayoritas berasal dari pajak.
Berdasar informasi, total pajak pada 2009 mencapai Rp 565,77 triliun atau 97,99 persen dari target yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2009. Pada 2010 ini, penerimaan pajak ditargetkan Rp 658,24 triliun.Sebagai kejahatan kerah putih, kejahatan pajak umumnya melibatkan para birokrat pajak atau kaum berdasi dari korporasi (bersama-sama dan terorganisir dengan baik)yang menyebabkan keuangan negara dirugikan, sebagaimana diungkapkan pakar pajak dunia Jack Townsend.Saat ini Gayus sudah ditahan di mabes Polri setelah kasusnya menjadi sorotan publik. Gayus adalah orang kaya baru setelah melakukan kejahatan pajak. Sebagai pegawai golongan III, Gayus paling bergaji sekitar Rp 10 juta. Tapi, rumah mewahnya di kompleks Kelapa Gading, Jakarta Utara, berharga miliaran rupiah(bisa dilihat di media Indonesia). Sore tadi saat dengar pendapat Komjen Susno dengan Komisi III DPR- RI mengungkapkan ada pidana baru lagi dengan modus yang sama dengan MARKUS yang sama mari sama-sama kita lihat perkembangan penyidikan kasus Gayus ini yang sudah melibatkan seluruh penegak hukum di negeri ini .Mudah-mudahan ada dampak positif dari kasus ini bisa menjadi merubah kultur (life style) dari para penegak hukum dan petugas pajak supaya tidak menyalahgunakan kewenangan

Selasa, 04 Mei 2010

MEMPERTEGAS SISTEM PRESIDENSIAL

Oleh: Janedjri M Gaffar

Salah satu diskursus publik yang mengemuka di era Reformasi, bahkan mewarnai konstelasi politik munculnya pasangan calon presiden dan wakil presiden, adalah mengenai sistem pemerintahan Indonesia.

Banyak pihak menyatakan bahwa terdapat ketidakjelasan sistem pemerintahan yang dianut dan dipraktikkan. Di satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial, tetapi di sisi lain jika dilihat dari sistem kepartaian yang multipartai, hal itu dianggap lebih dekat ke sistem parlementer.

DPR dipandang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah. Pada saat MPR mulai melakukan pembahasan perubahan UUD 1945 pada 1999, salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan adalah mempertegas sistem presidensial.
Mempertegas dalam hal ini juga meliputi penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan agar benar-benar memenuhi prinsip dasar sistem presidensial. Oleh karena itu diskursus publik yang mempertanyakan sistem pemerintahan yang kita anut sangat positif sebagai media evaluasi publik terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan serta sebagai landasan untuk menyempurnakan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan amanat UUD 1945.

Untuk itu, perlu ditelaah mengenai sistem pemerintahan, termasuk jenis-jenis dan dasar pembeda antara satu sistem dengan sistem lain.Telaah tersebut akan memberikan perspektif yang jelas tentang munculnya kritik terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan dan hubungannya dengan sistem kepartaian.

Sistem pemerintahan merupakan salah satu istilah utama dalam kajian ilmu politik dan ilmu hukum tata negara. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Faktor yang paling memengaruhi terjadinya pembedaan cara penyelenggaraan pemerintah adalah siapa atau lembaga apa yang memegang kekuasaan pemerintahan.

Dua sistem yang paling dikenal adalah sistem parlementer dan sistem presidensial. Selain kedua sistem tersebut,sebenarnya terdapat sistem lain, misalnya sistem campuran yang dipraktikkan di Prancis dan sistem kolektif seperti dipraktikkan di Swiss. Pembeda utama antara sistem parlementer dengan sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan pemerintahan.

Dalam sistem parlementer yang memegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Perdana menteri dengan kabinet pemerintahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen.

Dalam konstruksi demikian, wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada di tangan parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi parlemen sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi parlemen akan menganut sistem parlementer.

Salah satu konsekuensinya adalah tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dengan eksekutif. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen.Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat.

Dengan demikian dalam jabatan presiden juga terdapat unsur sebagai perwakilan rakyat, terutama untuk menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhenti kan, dan bertanggung jawab kepada presiden karena pada prinsipnya semua jabatan-jabatan itu berada dalam satu organisasi,yaitu lembaga kepresidenan.

Sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan yang terpisah dengan lembaga parlemen, semua jabatan dalam lembaga kepresidenan tidak dapat dirangkap oleh anggota parlemen. Oleh karena itu pada prinsipnya kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan presiden.

Peran DPR adalah pada wilayah pembentukan undang-undang, yang dilakukan bersama presiden, sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan itu serta aspek pengawasan. Segala urusan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari penentuan program pembangunan, alokasi anggaran, kebijakan pelaksanaan pemerintahan hingga pengangkatan pejabat-pejabat dalam lingkungan pemerintahan, merupakan wewenang presiden.

Namun, antara parlemen dan presiden atau dalam sistem presidensial lebih dikenal dengan istilah legislatif dan eksekutif tidak berarti tidak memiliki hubungan sama sekali. Sebaliknya, pemisahan kekuasaan antara keduanya sesungguhnya dibuat agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), tanpa mengganggu kedudukan presiden yang telah ditentukan secara pasti masa jabatannya (fix term), kecuali karena alasan pelanggaran hukum tertentu yang memenuhi syarat sebagai dasar impeachment sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Pertanyaan tentang sistem pemerintahan mengemuka pada saat kedudukan DPR semakin kuat. Presiden dinilai tidak sepenuhnya dapat menjalankan pemerintahan karena banyak hal yang ditentukan oleh DPR. Hal itu terjadi karena adanya beberapa ketentuan undang-undang yang mengharuskan adanya konfirmasi DPR untuk pengangkatan dan penerimaan jabatan pemerintahan tertentu seperti penerimaan duta dan konsul dari negara lain.

Selain itu, DPR juga dipandang terlalu dominan dalam penentuan kebijakan pemerintahan melalui mekanisme pembahasan RAPBN hingga satuan tiga serta melalui hak angket dan interpelasi untuk mengkritisi kebijakan tertentu.

Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa faktor melemahnya kedudukan presiden sehingga ada yang menilai seperti sistem parlementer adalah karena diterapkannya sistem multipartai. Sistem itu memungkinkan calon presiden dari partai yang tidak cukup kuat di DPR dapat terpilih. Konsekuensinya, presiden tidak cukup kuat pada saat harus berhadapan dengan DPR sehingga checks and balances tidak berjalan secara seimbang.

Untuk mempertegas penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial tentu diperlukan berbagai upaya, baik dari aspek hukum maupun aspek politik,sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam praktik pemerintahan. Upaya hukum adalah pada tingkat peraturan perundang- undangan yang mengatur kedudukan, wewenang, dan hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan serta prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, perlu ditentukan batas wewenang dan hubungan antarkeduanya sesuai dengan semangat konstitusi. Hal yang merupakan wilayah pemerintah dikembalikan dan ditegaskan sebagai wewenang pemerintahan di bawah presiden, baik dalam hal perencanaan, penganggaran, penentuan kebijakan maupun pengangkatan jabatan-jabatan dalam lingkungan pemerintahan.

Demikian pula fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR harus tetap dapat menjamin terciptanya checks and balances tanpa mengganggu wewenang yang dimiliki oleh presiden, terutama dalam menjalankan pemerintahan. Terkait dengan sistem kepartaian, yang lebih terpengaruh kuat oleh sistem multipartai sesungguhnya adalah sistem parlementer.

Semakin banyak partai politik yang memiliki kursi di parlemen, akan semakin mudah terjadi pergantian pemerintahan sesuai dengan konstelasi politik di tubuh parlemen. Hal itu berbeda dengan sistem presidensial di mana pembentukan dan masa jabatan presiden tidak ditentukan oleh kekuatan dalam lembaga legislatif. Presiden mendapatkan mandat dan legitimasi dari rakyat melalui pemilu, bukan dari partai politik yang mengusungnya.

Legitimasi presiden bukan dari suara yang diperoleh partai politik pengusul pada saat pemilu legislatif, melainkan diperoleh dari suara rakyat pada saat pemilu presiden dan wakil presiden. Namun, dalam praktik politik dan penyelenggaraan pemerintahan tentu terdapat kaitan antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial yang dijalankan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa semakin besar partai pendukung presiden di DPR, hal itu akan memperkuat kedudukan presiden dan mempertegas sistem presidensial.Apabila tidak terlalu banyak partai politik, apalagi jika menganut sistem dua partai, kemungkinan dukungan terhadap presiden akan semakin besar.

Untuk menyederhanakan sistem kepartaian tentu tidak dapat dilakukan dengan menentukan secara rigid jumlah partai yang dibolehkan karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berserikat. Bahkan, di negara-negara yang selama ini dikenal dengan sistem dua partai pun sesungguhnya terdapat banyak partai politik, tetapi hanya dua partai yang memiliki kekuatan mayoritas (major party).

Penyederhanaan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum seperti persyaratan pendirian, persyaratan mengikuti pemilu, persyaratan untuk memperoleh kursi di DPR (parliamentary threshold) ataupun persyaratan perolehan suara untuk mengikuti pemilu selanjutnya (electoral threshold).

Instrumen itu harus dibuat untuk tujuan jangka panjang dan dilaksanakan secara konsisten dan tidak mudah diubah berdasarkan kepentingan sesaat. Penyederhanaan juga dapat dilakukan secara alami dengan mendorong terwujudnya koalisi jangka panjang antarpartai politik. Hal inilah yang terjadi di negara-negara demokrasi modern.

Di Amerika Serikat dan Inggris terdapat banyak partai politik, tetapi mereka telah membangun koalisi yang kuat dan mengutub pada dua partai besar. Di Malaysia,Barisan Nasional adalah koalisi dari banyak partai politik. Munculnya koalisi permanen jangka panjang tentu akan berjalan seiring dengan pendewasaan para tokoh politik dan modernisasi organisasi partai politik itu sendiri.

Penulis: Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Selasa 14 Juli 2009

Sistem Pemerintahan

A. Sistem Pemerintahan

1. Pengertian Sistem

a. Beberapa Pendapat tentang Pengertian Sistem

1) Prajudi

Sistem adalah suatu jaringan prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari suatu usaha atau urusan.

2) W.J.S. Poerwardarminta

Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud.


b. Unsur-Unsur Sistem

1) Seperangkat komponen, elemen, atau bagian

2) Saling berkaitan dan tergantung

3) Kesatuan yang terintegrasi (terkait dan menyatu)

4) Memiliki peranan dan tujuan tertentu


c. Ciri-Ciri Umum Sistem

1) Cenderung ke arah entropi lamban, menua, kemudian mati

2) Hadir dalam ruang dan waktu yang tidak bias ditentukan

3) Mempunyai batas-batas yang dapat berubah

4) Mempunyai lingkungan proksimal dan distal

5) Mempunyai variabel dan parameter

6) Mempunyai subsistem


2. Pengertian Pemerintahan

a. Pengertian dalam Arti Luas

Pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan Negara.


b. Pengertian dalam Arti Sempit

Pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan Negara.


c. Menurut Offe

Pemerintahan merupakan hasil tindakan administratif dalam berbagai bidang. Pemerintahan bukan merupakan hasil pelaksanaan tugas pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya, tetapi lebih merupakan hasil kegiatan produksi bersama (coproduction) antara lembaga pemerintahan dengan klien masing-masing.


c. Menurut Utrecht

1) Pemerintahan sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah.

2) Pemerintahan sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah satu Negara.

3) Pemerintahan dalam arti dalam Negara (Presiden) bersama dengan kabinetnya.


3. Sistem Pemerintahan

a. Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam pemerintahan presidensial, kepala eksekutif dipilih tersendiri diluar parlemen untuk masa jabatan yang tetap. Artinya, presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali dia melakukan pelanggaran konstitusi atau pelanggaran hukum lain yang tergolong berat sebagaimana ditetapkan konstitusi (UUD).


b. Sistem Pemerintahan Parlementer

Dalam pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan (Kepala Menteri) memimpin suatu dewan menteri (kabinet) yang anggotanya berasal dari parlemen. Presiden yang dipilih atau raja berkuasa secara turun menurun bertindak sebagai kepala Negara yang telah banyak menjalankan tugas-tugas seremonial.


c. Sistem Pemerintahan Semipresidensial yang Menggabungkan Keduanya

Bentuk ketiga adalah pemerintahan semipresidensial yang menggabungkan kedua sistem murni di atas. Sistem ini kadang disebut pula “dualisme eksekutif”. Dalam sistem ini, presiden dipilih oleh rakyat sehingga memiliki kekuasaan yang kuat. Sistem ini antara lain digunakan oleh Republik Prancis Kelima.


B. Sistem Pemerintahan Parlementer

Dalam sistem ini, eksekutif parlementer terikat kepada legislatif. Sifat serta bobot “ketergantungan” eksekutif terhadap legislatif ini berbeda antara satu Negara dengan Negara lain. Dengan dukungan kekuatan politik di parlemen tersebut, seorang pemimpin politik dapat memperoleh dukungan untuk membentuk kabinet baru. Sebagai pemimpin kabinet, dia disebut perdana menteri yang berperan sebagai kepala pemerintahan. Apabila dukungan politik terhadap kabinet dirasa lemah, pemerintahan dapat pula membubarkan kabinet dan mengusulkan diselenggarakannya pemilihan umum yang baru.

Dalam keadaan semacam ini, terpaksa dibentuk suatu kabinet ekstra-parlementer, yaitu suatu kabinet yang dibentuk tanpa terikat kepada konstelasi kekuatan politik dalam badan legislatif. Biasanya suatu kabinet ekstra-parlementer mempunyai program kerja yang terbatas dan mengikat diri untuk menangguhkan pemecahan masalah-masalah yang bersifat fundamental.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, posisi kepala Negara dan kepala pemerintahan diduduki oleh dua figur yang berbeda. Kepala pemerintah adalah perdana menteri (di Jerman disebut dengan Kanselir). Sementara, jabatan kepala Negara biasanya dipegang oleh presiden atau raja.

1. Ciri-ciri pokok Pemerintahan Parlementer menurut Rod Hague, yaitu:

a. Partai-partai yang menjalankan pemerintahan muncul dari majelis. Menteri-menteri pemerintahan biasanya dari anggota legislatif dan tetap menjalankan anggota legislatif.

b. Kepala pemerintahan (yang disebut dengan perdana menteri, premier, atau kanselir) dan dewan menteri dapat diberhentikan dari jabatannya melalui mosi tidak percaya oleh parlemen. Pos perdana menteri biasanya terbiasa terpisah dari kepala Negara.

c. Eksekutif adalah kolegian, berbentuk kabinet dimana perdana menteri secara tradisional adalah seorang pertama di antara sejumlah orang sederajat dalam kabinetnya. Eksekutif pluralistik ini berbeda dengan fokus dalam pemerintahan presidensial yang bertumpu pada seorang kepala eksekutif.


C. Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam sistem presidensial, kelangsungan masa jabatan eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif. Presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun melalui suatu badan pemilihan. Legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan presiden karena lemahnya dukungan politik atau karena ketidakefektifan kinerja pemerintah.

Badan legislatif (perwakilan) dengan suara mayoritas tidak dapat menjatuhkan presiden maupun menteri-menterinya jika terjadi ketidakpercayaan. Apabila terjadi perselisihan antara badan eksekutif dengan legislatif, maka yang akan memutuskannya adalah badan yudikatif. Presiden hanya mungkin diberhentikan di tengah masa jabatannya jika dia terbukti melanggar konstitusi.

Dalam sistem presidensial, eksekutif tidak bertanggung jawab kepada dewan perwakilan. Antara kekuasaan badan eksekutif dan kekuasaan dewan perwakilan terjadi pemisahan atau pembagian kekuasaan. Tetapi, keduanya dapat bekerja sama untuk membuat Undang-Undang.

Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi legislatif. Dengan hak prerogatif yang dimilikinya, presiden menentukan siapa-siapa yang diangkat. Konsep yang demikian disebut nonkolegial. Dalam sistem presidensial, Presiden berlaku sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

1. Ciri-ciri Pemerintahan Presidensial menurut Rod Hague, yaitu:

a. Presiden yang dipilih rakyat menjalankan pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.

b. Masa jabatan yang tetap bagi presiden dan dewan perwakilan, keduanya tidak bisa saling menjatuhkan (menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang).

c. Tidak ada keanggotaan yang tumpang tindih antara eksekutif dan legislatif.


D. Bentuk Pemerintahan

1. Teori Klasik tentang Bentuk Pemerintahan

Dalam teori klasik, bentuk pemerintahan dapat dibedakan atas jumlah orang yang memerintah dan sifat pemerintahannya, yaitu :

a. Ajaran Plato (429-347 SM)

Plato mengemukakan 5 bentuk pemerintahan negara yang menurutnya harus sesuai dengan sifat-sifat tertentu manusia, yaitu :

1) Aristokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh kaum cendekiawan yang dilaksanakan sesuai dengan pikiran keadilan.

2) Temokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyuran dan kehormatan.

3) Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh golongan hartawan.

4) Demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat jelata.

5) Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang tiran (sewenang-wenang) sehingga jauh dari cita-cita keadilan.


b. Ajaran Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles membedakan bentuk pemerintahan berdasarkan 2 kriteria pokok, yakni jumlah orang yang memegang pucuk pemerintahan dan kualitas pemerintahannya. Berdasarkan kriteria tersebut, perbedaan bentuk pemerintahan adalah sebagai berikut, yaitu :

1) Monarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh satu orang demi kepentingan umum. Sifat pemerintahan ini tidak ideal.

2) Tirani, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang demi kepentingan pribadi. Bentuk pemerintahan ini buruk dan merupakan kemerosotan.

3) Aristokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.

4) Oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya. Bentuk ini merupakan pemerintahan yang merosot dan buruk.

5) Politeia, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum. Bentuk pemerintahan ini baik dan ideal.

6) Demokrasi, yaitu benruk pemerintahan yang dipegang oleh orang-orang tertentu demi kepentingan sebagian orang. Bentuk pemerintahan ini baik dan merupakan kemerosotan.


2. Sejarah Bentuk Pemerintahan

Menurut Polybius bahwa pada mulanya pemerintahan berbentuk seperti di bawah ini, yaitu :

a. Monarki yang menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dengan baik dan dapat dipercaya. Namun, dalam perkembangan raja tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk kepentingan umum, bahkan cenderung sewenang-wenang dan menindas rakyat. Bentuk pemerintahan monarki bergeser menjadi tirani.

b. Dalam pemerintahan tirani yang sewenang-wenang, muncullah kaum bangsawan yang bersengkongkol untuk melawan. Mereka bersatu untuk mengadakan pemberontakan sehingga kekuasaan beralih pada mereka. Pemerintah selajutnya dipegang oleh beberapa orang dan memerhatikan kepentingan umum. Pemerintahan pun berubah dari tirani menjadi aristokrasi yang semula baik dan memerhatikan kepentingan umum, pada perkembangannya tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan golongan. Pemerintahan berubah dari aristokrasi bergeser ke oligarki.

c. Dalam pemerintahan oligarki yang tidak ada keadilan, rakyat berontak mengambil alih kekuasaan untuk memperbaiki nasib. Akibatnya, pemerintahan bergeser menjadi demokrasi. Namun, lama kelamaan banyak diwarnai kekacauan, kebobrokan, dan korupsi sehingga hukum sulit ditegakkan. Dari pemerintahan demokrasi ini, kemudian muncul seorang yang kuat dan berani yang dengan kekerasan dapat memegang pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan kembali dipegang oleh satu tangan dalam bentuk monarki.


3. Pemilahan Bentuk Pemerintahan

Dalam bukunya yang berjudul Treatie de Droit Constituitional, Leon Duguit membedakan bentuk pemerintahan dalam monarki dan republik yang ada pada kepala negaranya. Jika kepala negara ditunjuk berdasarkan hak turun-temurun, maka pemerintahan yang demikian disebut monarki. Kalau kepala negaranya ditunjuk tidak berdasarkan turun-temurun, melainkan dipilih, maka bentuk pemerintahan tersebut adalah republik.

a. Bentuk Pemerintahan Monarki

1) Monarki Absolut

Dalam monarki absolut, pemerintahan dikepalai oleh seorang raja, ratu, syah atau kaisar (sebutan untuk jabatan ini antara satu wilayah dan wilayah lain kadang berbeda) yang kekuasaannya tidak terbatas. Perintah penguasa merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh rakyatnya. Pada diri penguasa terdapat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menyatu dalam ucapan dan perbuatannya. Jadi, tidak ada perbedaan antara lembaga negara dengan diri pribadi sang raja, segala kehendaknya berarti undang-undang yang mesti dipatuhi oleh rakyatnya.

2) Monarki Konstitusional

Seiring perkembangan politik yang terjadi setelah pemerintahan monarki absolut, akhirnya berkembang kehendak untuk membatasi kekuasaan raja agar tidak bersifat mutlak (absolut). Penguasa harus memerhatikan kepentingan rakyat dan bekerja keras untuk mewujdukan tujuan bersama. Semua itu termakhtub dalam suatu undang-undang dasar (konstitusi) yang diandalkan sebagai suatu kontrak sosial (kosntitusi), maka bentuk pemerintahan yang demikian disebut dengan monarki konstitusional.


b. Bentuk Pemerintahan Republik

1) Republik Absolut

Dalam republik absolut, pemerintahan bersifat diktator tanpa pembatasan kekuasaan dan penguasa mengabaikan tatanan republik dalam idealisasi, yang sesungguhnya menempatkan kepentingan umum di kepentingan sempit kekuasaan pribadi pemimpin.

2) Republik Konstitusional

Dalam republik konstitusional, kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak diwariskan. Keduanya merupakan kedudukan politik yang dapat diperebutkan melalui cara-cara yang ditetapkan di dalam undang-undang dasar.

Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Karena itu, pemimpin dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat (secara langsung atau tidak langsung). Kekuasaan pemimpin tidak mutlak. Republik konstitusional menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan rakyat.

Republik kontitusional ini dapat mempraktikan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Dalam republik konstitusional yang menjalankan sistem presidensial, kekuasaan kepala pemerintahan dan kepala negara serta kepala pemerintahan dijabat oleh orang yeng berbeda.


E. Pemerintahan Yang Baik

1. Pengertian

a. Menurut World Bank

Good governance merupakan bentuk penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi investasi langka, dan penghindaran korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta pencipataan kerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya aktivitas dan kewiraswastaan.


b. United Nations Development Program (UNDP)

Pemerintahan yang baik merupakan hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (society).


c. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000

Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menetapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.


2. Orientasi Pemerintahan yang Baik

a. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional

Orientasi ini mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dan elemen-elemen konstitusinya seperti legitimasi dan akuntabilitas. Legitimasi terkait dengan persoalan apakah pemerintahan yang berkuasa dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyat. Sementara, akuntabilitas merujuk pada adanya otonomi dan pelimpahan kekuasaan kepada daerah serta adanya jaminan berjalannya pengawasan oleh masyarakat.

b. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional

Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintah mempunyai kemampuan dan sejauh mana pemerintahan dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien.


3. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan yang Baik

a. Partisipasi, yaitu setiap warga negara masyarakat harus memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masing-masing.

b. Penegakkan hukum, yaitu bahwa kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh, terutama peraturan hukum tentang hak asasi manusia.

c. Transparan, yaitu bahwa transparasi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi dan harus dapat juga diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, informasinya harus dapat disediakan dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat pengawasan dan evaluasi.

d. Daya tanggap, yaitu bahwa setiap lembaga dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (masyarakat).

e. Berorientasi konsensus, yaitu bahwa pemerintahan yang baik bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Berkeadilan, yaitu bahwa pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik kepada laki-laki maupun perempuan dalam upaya untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

g. Efektifitas dan efesiensi, yaitu bahwa setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia.

h. Akuntabilitas, yaitu bahwa para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta, dan masyarakat madani memilik pertanggung jawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana pengelola perusahaan bertanggung jawab kepada para pemegang saham. Pertanggung jawaban kepada para pemegang saham berbeda-beda, tergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.

i. Bervisi strategis, yaitu bahwa pemimpin dan masyarakat memiliki pandangan yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia.

j. Kesalingketerkaitan, yaitu bahwa keseluruhan ciri pemerintah yang baik tersebut diatas adalah saling memperkuat dan saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri.


4. Ciri-Ciri Pemerintahan yang Baik

a. Profesionalitas

b. Akuntabilitas

c. Transparan

d. Pelayanan prima

e. Demokrasi

f. Efesiensi

g. Efektifitas

h. Supremasi hukum

i. Dapat diterima oleh seluruh masyarakat


5. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah yang Baik

Dala praktik penyelenggaraan pemerintah di Indonesia pasca gerakan reformasi nasional, prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah yang baik tercermin dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam pasal 3 dan penjelasannya, ditetapkan asas-asas umum pemerintahan sebagai berikut ini, yaitu :

a. Asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

b. Asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

c. Asas kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

d. Asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyrakat untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memerhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

e. Asas proposionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.

f. Asas profesionalitas, adalah asas yang menentukan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawaban kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemenang keadaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


F. Pengaruh Sistem Pemerintahan Suatu Negara Terhadap Negara Lain

Sistem pemerintahan suatu Negara akan mempunyai dampak positif dan negatif terhadap Negara lain. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memudahkan adanya hubungan suatu Negara dengan Negara. Oleh karena itu, perkembangan perubahan dan gejolak dunia merupakan hal yang harus terus diikuti dengan seksama agar secara dini mampu memperkirakan terjadinya masalah yang dapat mempengaruhi sistem pemerintahan. Pengaruh globalisasi yang tidak mengenal batas negara, memudahkan suatu negara mempengaruhi dan dipengaruhi negara lain

HUBUNGAN ANTARA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DENGAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DALAM UUD 1945 PASCA-AMANDEMEN (UUD NRI 1945):

Studi Hubungan Legislatif Dengan Eksekutif

1. PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan perubahan yang mendasar terhadap format kelembagaan negara republik ini. Salah satunya adalah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945. Implikasi dari perubahan ini yakni, tidak ada lagi status “lembaga tertinggi negara”. Lembaga penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama sebagai “lembaga negara”.1 Hubungan antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi vertikal.

Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi “lembaga tertinggi negara”, lembaga-lembaga negara dibawahnya menjadi “lembaga tinggi negara” seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR dalam pelaksanaannya dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya (distribution of power) dan lembaga-lembaga negara tersebut bertanggung jawab kepada MPR. Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada MPR.2

Dengan digelarnya UUD 1945 pasca-amandemen—selanjutnya ditulis UUD NRI 1945, status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus. Posisi MPR sekarang menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 mengatakan: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.3 Setiap lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-masing serta terdapat pemisahan kekuasaan (separation of power) didalamnya. Lembaga tinggi negara yang satu tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kinerja lembaga tinggi negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dijalankan republik ini mengantarkan setiap lembaga negara mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang berimbang. Eksistensi tiga kekuasaan—legislatif, eksekutif, dan yudikatif—harus dipisah. Kekuasaan penyelenggaraan negara tidak boleh berada ditangan satu badan.

Teori pemisahan kekuasaan muncul pertama kali dalam teori Montesquie pada karyanya, Esprit des lois, yang diterbitkan pada tahun 1748. teori ini muncul atas kritik dan pembelajaran Montesquie terhadap konstitusi Inggris. Dalam tulisannya Montesqiue menyimpulkan bahwa:

“…..ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan sebab terdapat bahaya bahwa raja atau badan legislatif yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya dengan cara yang tiran.”4

Pemikiran Montesquie ini dianut pula oleh pemikir Inggris sendiri, Blackstone. Dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765), menyatakan: “Apabila hak untuk membuat dan melaksanakan undang-undang diberikan kepada orang atau badan yang sama, maka tidak akan ada lagi kebebasan publik.”5

Dalam konteks keindonesiaan, perihal yang diutarakan oleh Mantesquieu dan Blackstone sebelum diadakan perubahan (amandemen) UUD 1945 telah menjadi kenyataan. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen—selanjutnya ditulis UUD 1945, menuliskan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”6 Penjelasan dari pasal ini adalah: “Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan dengan Dewan perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.”7

Konstitusi memberi ruang bagi Presiden untuk sekaligus menjalankan kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan eksekutif (yang menjalankan undang-undang). Akibatnya bisa dilihat, selama hampir 32 tahun (1966-1998) Presiden—dalam era Orde Baru—menjadi penguasa “tangan besi”. Seluruh sabdanya menjadi perintah yang harus dijalankan tanpa ada bantahan, rakyat dibungkam, siapa yang coba membantah apalagi mengkoreksi perintahnya hanya akan tinggal nama belaka. Mereka akan “dikandangkan”. Kebebasan bagi publik dikekang, mungkin juga dibuang di tempat sampah. Lahirlah apa yang disebut dengan executive heavy.

Bandingkan dengan UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”8 Kekuasaan Presiden dalam kekuasaan legislatif (legislative power) dibatasi hanya pada mengajukan rancangan undang-undang bukan membentuk undang-undang. Tidak ada lagi penyatuan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif di satu tangan. Pemisahan kekusaan terjadi, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang. Sedangkan yang mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang berada ditangan DPR. Terdapat pembatasan kekuasaan Presiden dan selanjutnya Presiden tidak dapat lagi menjalankan kekuasaannya dengan sewenang-wenang.

Teori pemisahan kekuasaan ini pula yang mendasari adanya perubahan terhadap UUD 1945. secara filosofis, perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menerangkan bahwa, pertama, UUD 1945 hanya sebagai moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat UUD 1945 tersebut dirumuskan. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai kodratnya yang tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjaan manusia tetap memiliki kelemahan maupun kekurangan. Secara yuridis, para perumus UUD 1945 menunjukkan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan mengalami perubahan. Secara sosiologis-historis, sejak awal pembuatan UUD 1945 bersifat sementara, yang dikemudian hari dapat disempurnakan dan dilengkapi.9

Namun kemudian, tidak serta-merta perubahan UUD 1945 ini mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan negara menjadi lebih baik. Semula sebelum UUD 1945 diamendemen kekuasaan negara cenderung bersifat executive heavy, setelah UUD 1945 diamandemen kekuasaan negara cenderung berubah menjadi legislative heavy. Lembaga perwakilan (DPR) seakan menumpahkan seluruh dendam dan serapahnya karena hampir 32 tahun (1966-1998) dikekang dan berada dibawah komando eksekutif (Presiden).

Sekilas legislative heavy tersebut diakomodir ke dalam perubahan UUD 1945. sebelumnya dalam UUD 1945, kewenangan DPR hanya pada tataran memberikan persetujuan pada rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden (Pasal 20 ayat (1) UUD 1945), sekarang dalam UUD NRI 1945, kewenangan DPR menjadi berlipat. Mulai dari kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945) sampai “memaksa” Presiden untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang dengan atau tanpa pengesahan dari Presiden (Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945).10

1.Rumusan Masalah

Pergeseran kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif nyata-nyata di akomodasi dalam konstitusi. Lalu, apakah ini berarti teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power)—seperti yang dikemukakan oleh Montesquie dan Blackstone—telah terjadi dalam konstitusi negeri ini?

Tulisan berikut difokuskan untuk meneliti dalam hal apa saja hubungan antara legislatif (DPR) dengan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) yang diakomodasi dalam UUD NRI 1945? Sehingga dapat menjawab apakah pemisahan kekuasaan negara (separation of power) memang benar-benar terdapat dalam konstitusi Indonesia sekarang dan diterapkan dalam hubungan kelembagaan antara lembaga legislatif (DPR) dengan lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden).

1.PEMBAHASAN

1.Arti Lembaga Penyelenggara Kekuasaan Negara

Hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diikat dengan prinsip cheks and balances, dimana lembaga-lembaga negara tersebut diakui sederajat tetapi tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD.11 Dengan dihapuskannya penjelasan UUD, bisa jadi lembaga-lembaga negara menafsirkan sendiri UUD dengan seenaknya sesuai dengan kepentingan kelembagaannya.

Tidak adanya penjelasan UUD ini juga bisa mengakibatkan hubungan antara lembaga-lembaga negara menjadi kurang harmonis. Antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain bisa-bisa saling menjatuhkan.

Secara sederhana dapat diketahui bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dijalankan oleh 3 (tiga) lembaga yakni, (i) legislatif, (ii) eksekutif, dan (iii) yudikatif.

Legislatif berfungsi membuat undang-undang (legislate). Menurut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang berdaulat. Rakyat yang berdaulat ini mempunyai kemauan (Rousseau menyebutnya dengan Volonte Generale atau Generale Will). Rakyat memilih beberapa orang untuk duduk di lembaga legislatif sebagai wakil rakyat guna merumuskan dan menyuarakan kemauan rakyat dalam bentuk kebijaksanaan umum (public policy). Lembaga ini mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang sebagai cerminan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan umum tadi. Lembaga ini sering disebut sebagai dewan perwakilan rakyat atau parlemen.12

Parlemen dalam sejarah kuno, misalnya di Inggris, mempunyai kekuasaan hingga bisa masuk ke urusan privat dan mencampuri urusan publik warga negara. Posisi parlemen sangat kuat. Dicey seperti mengutip pendapat Coke berujar:

“…..parlemen secara khusus memilih campur tangan terhadap hak-hak pribadi sebagai contoh dari otoritas parlemen, contohnya (i) anak perempuan dan keturunan sah laki-laki atau perempuannya, menurut undang-undang parlemen, dapat mewarisi kehidupan nenek moyangnya. (ii) parlemen dapat membuat pernyataan tentang bayi, anak kecil atau akil balig, (iii) juga dapat menghilangkan hak-hak seorang penghianat setelah kematiannya, dan (iv) memberi kewarganegaraan kepada orang asing, dan menjadikannya warga negara baru. Ia bisa saja seorang anak haram yang menurut hukum sah, yaitu, lahir dari seorang pezina, yang suaminya ada dibanyak tempat.”13

Posisi parlemen yang seperti ini dikarenakan kekuasaan yang diterima oleh parlemen berasal langsung dari rakyat. Akan tetapi, kekuasan parlemen ini bila tidak dikontrol akan melahirkan sebuah kedaulatan parlemen yang tidak tak terbatas (absolut). Telah wajar bahwa kekuasaan yang absolut akan melahirkan kekuasaan yang korup. Seperti yang dituliskan Blackstone dalam karyanya Commentaries on the Laws of England (1765) menuliskan:

“…..untuk tujuan yang sama, Montesquie, kendati begitu saya percayai, menyatakan bahwa: karena Roma, Sparta dan Chartage kehilangan kebebasan mereka dan kemudian sirna, maka konstitusi Inggris pun suatu hari nanti akan kehilangan kebebasannya, dan akan sirna: kebebasan ini akan hilang ketika kekuasaan legislatif menjadi lebih korup daripada kekuasaan eksekutif.”14

Bagaimanapun juga kekuasaan parlemen—walaupun kekuasaannya diberikan langsung oleh rakyat—harus dibatasi agar tidak menjadikan parlemen sebagai lembaga perwakilan yang korup, dan hanya menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat (kepentingan umum).

Lembaga penyelenggara kekuasaan negara berikutnya adalah lembaga eksekutif yang berfungsi menjalankan undang-undang. Di negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya (kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.15 Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah pemerintah.

Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para menteri. Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Pelaksanaan undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.

Selain melaksanakan undang-undang, Eksekutif juga mempunyai tugas untuk melaksanakan:16

1.Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri;
2.Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara;
3.Kekuasaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang;
4.Kekuasaan yudikatif (kehakiman), yaitu menyangkut pemberian pengampunan, penangguhan hukum dan sebagainya terhadap pelaku kriminal atau narapidana;
5.Kekuasaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur pengesahannya menjadi undang-undang.

Sistem pelaksanaan kerja dan pertanggungjawaban ekesekutif (pemerintah) didasarkan atas dua model sistem pemerintahan, sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan presidensiil (fixed executive) atau (non-parlementary executive) adalah apabila ekesekutif bertanggung jawab secara langsung dengan periode waktu tertentu kepada suatu badan yang lebih luas dan tidak terikat pada pembubaran oleh tindakan parlemen (legislatif).17 Beberapa ciri penting dari sistem pemerintahan presidensiil adalah:18
1.Presiden/Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan ditengah masa jabatannya karena alasan politik (fixed term);
2.Presiden/Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal dengan parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat;
3.Pertanggungjawaban langsung Presiden/Wakil Presiden merupakan akibat dari dipilihnya Presiden/Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum;
4.Presiden/Wakil Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, begitu juga sebaliknya parlemen tidak bisa membubarkan Presiden/Wakil Presiden;
5.Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala negara dengan fungsi kepala pemerintahan;
6.Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak Presiden, oleh karenanya Presiden berhak menyusun kabinetnya tanpa ada campur tangan dari parlemen.

Sedangkan sistem pemerintahan parlementer adalah bahwa eksekutif bertanggung jawab secara langsung kepada parlemen (legislatif )—parlemen mempunyai kekuasaan untuk membubarkan eksekutif jika parlemen kehilangan kepercayaan (trust) kepada eksekutif—atau tunduk pada pemeriksaan yang lebih tidak memihak, seperti misalnya lewat pemilihan presiden secara berkala.19 Beberapa ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah:20

1.Kepala pemerintahan (eksekutif) sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh legislatif dengan alasan politik (misalnya dengan mosi tidak percaya terhadap kinerja pemerintah/vote of convident);
2.Kepala pemerintahan beserta para menterinya bertanggung jawab kepada legislatif (parlemen);
3.Kepala pemerintahan (eksekutif) yang biasanya disebut dengan Perdana Menteri walau dipilih langsung oleh rakyat, tetapi hakekatnya dia dipilih karena menjadi anggota dari kelompok mayoritas yang duduk di lembaga perwakilan (parlemen);
4.Legisaltif/parlemen sewaktu-waktu bisa membubarkan eksekutif;
5.Ada pemisahan fungsi antara kepala pemerintahan dengan kepala negara. Kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh Raja/Presiden/Sultan atau semacamnya.

Lembaga penyelenggara kekuasaan negara ketiga adalah lembaga yudikatif (kehakiman) yang berfungsi mengadili undang-undang. Miriam Budiarjo mengawali pembahasan tentang lembaga yudikatif dengan memaparkan dua sistem hukum yang biasa dianut oleh negara-negara di dunia, yakni sistem hukum Common Law dan sistem hukum Civil Law.

Sistem hukum Common Law biasa dipakai oleh negara-negara Anglo Saxon. Pelopornya adalah Inggris pada abad pertengahan. Dalam sistem hukum Common Law, selain undang-undang yang dibuat oleh parlemen (statute law) masih terdapat undang-undang lain yang disebut Common Law, yang dihasilkan dari keputusan hakim. Jadi dalam hal ini, hakim ikut menciptakan hukum. Perihal ini dinamkan sebagai case law atau judge-made law (hukum buatan hakim).21

Hakim yang juga berperan membentuk hukum, dalam sistem hukum Common Law dipandang tidak melangkahi kewenangan legislatif sebagai pembuat undang-undang, karena hukum yang dibuat oleh hakim berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif. Di Inggris misalnya, A.V. Dicey berujar bahwa: “Kekuasaan hakim pada hakekatnya bersifat legislatif (essentially legislative authority of judges).” Maksud hukum buatan hakim disini adalah bahwa putusan hakim terdahulu mengikat pada hakim yang mendatang apabila diterapkan dalam perkara yang sama.22 Jadi berbeda dengan hukum yang dibuat oleh legislatif—yang memang berfungsi sebagai pembuat undang-undang/hukum. Hukum yang dibuat oleh hakim ada, bila ada perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan hukum yang dibuat legislatif ada, meskipun tanpa ada perkara apapun, karena ia berfungsi sebagai pembuat undang-undang.

Sistem hukum kedua adalah Civil Law yakni sistem hukum yang tidak mengenal azas case law atau judge-made law. Penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim itu tidak mungkin. Di Prancis misalnya, dimana kodifikasi hukum telah diadakan semenjak zaman Napoleon, para hakim dengan tegas dilarang menciptakan case law. Hakim harus mengadili perkara hanya berdasarkan pada hukum yang termuat dalam kodifikasi atau hukum yang telah dibuat oleh legislatif saja.23 Hal ini dalam ilmu hukum dinamakan dengan aliran Legisme atau Positivisme perundang-undangan, yakni suatu aliran yang mempunyai pendapat bahwa: “undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya.”

Perkara yang diajukan kepada hakim diadili dengan undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif. Namun, apabila undang-undang tidak mengatur, maka hakim boleh menggunakan putusannya sendiri (tentunya hal ini berkenaan dengan azas ius curia novit, hakim dilarang menolak perkara karena dianggap tahu akan hukumnya). Tetapi putusan hakim yang terdahulu tidak mengikat pada hakim yang mendatang, walau perkara yang diajukan serupa. Jadi tidak ada precedent dalam sistem hukum Civil Law.24

Lembaga yudikatif menjadi lembaga penyelenggara kekuasaan negara yang tugasnya menjadi pengadil dari undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga legisalatif. Mekanisme peradilan untuk mengadili undang-undang ini dikenal dengan istilah judicial review. Di Indonesia misalnya, fungsi judicial review dijalankan oleh Mahkamah Kontitusi (MK) yang mengadili Undang-Undang terhadap UUD25 dan Mahkamah Agung yang mengadili peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.26

1.Trias Politica dan Teori Separation of Power

Sebagaimana dituliskan pada lembar sebelumnya bahwa konsep Trias Politica pertama kali dikenalkan oleh Montesquie dalam karyanya Esprit des Lois (1748) dan juga John Locke, seorang filsuf Inggris, dalam karyanya Two Traetises on Civil Goverment (1690). Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).27

John Locke mengemukakan Trias Politica dengan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga kekuasaan yakni, pertama, kekuasaan legislatif sebagai pembuat peraturan dan undang-undang. Kedua, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana dan pengadil undang-undang. Ketiga, kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungannya dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya.28

Untuk menciptakan sebuah dinamisasi dan mengurangi kekuasaan yang korup, maka penyelenggaraan negara sebaiknya dijalankan oleh tiga lembaga dengan fungsi masing-masing, yakni lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang, lembaga eksekutif sebagai lembaga pelaksana kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diatur dalam undang-undang, dan lembaga yudikatif sebagai lembaga pengadil undang-undang. Disini diperlukan adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara ketiga lembaga tersebut.

Pada awalnya kekuasaan pembuat, pelaksana sekaligus pengadil undang-undang ada pada satu tangan, yakni pada tangan raja sebagai penguasa tunggal. Kekuasaan raja yang sedemikian menciptakan otoritas penuh bagi raja untuk menjalankan kekuasaannya tanpa kritik. Salah satu implikasi yang ditimbulkan adalah absolutisme dan koruptisme kekuasaan. Jelas absolutisme dan koruptisime ini tidak dibenarkan dalam penyelengaraan negara, apalagi dalam tataran kedaulatan rakyat.

Pendapat menarik lahir dari Strong tentang teori Separation of Power. Menurut Strong, teori Separation of Power—dengan kajian sistem ketatanegaraan Inggris—lahir dari tendensi untuk mendelegasikan kekuasaan kerajaan dengan jalan mendelegasikan kekuasaan rangkap tiga,

“…..proses (pendelegasian kekuasaan/pen.) ini tidak termasuk pembagian kekuasaan kedaulatan. Proses ini semata-mata hanyalah salah satu cara yang sesuai untuk mengatasi bertambahnya urusan negara. Spesialisasi fungsi merupakan kebutuhan yang sederhana dan konsekuensi pendelegasian merupakan sebuah fakta yang sederhana pula. Namun, ketika kekuasaan raja dibatasi dan gagasan-gagasan kontitusional mulai dianggap penting, maka fakta yang sederhana ini menjadi suatu teori. Teori tersebut mengatakan bahwa atas dasar kebebasan, bukan hanya spesialisai fungsi yang sesuai, tetapi terjadi pembedaan pula fungsi itu pada kekuasaan-kekuasaan yang berbeda. Inilah “kecelakaan” dalam memahami sepotong evolusi pemerintahan biasa…..”29

Pendapat Strong ini mengidentifikasikan bahwa Separation of Power tidak lahir dari kebutuhan untuk mengurangi terjadinya kekuasaan yang absolut dan korup. Tetapi lahir dari bertambahnya urusan negara yang kompleks dan dinamisasi masyarakat yang cepat. Jadi adalah sebuah “kecelakaan” dan “salah” saat ada pandangan bahwa Separation of Power adalah jalan untuk mengurangi kekuasaan yang absolut dan korup.

Tanpa berniat menafikan pendapat Strong, kenyataannya dengan adanya pemisahan kekuasaan saja kekuasaan absolut dan korup kerap lahir, apalagi dengan tidak adanya pemisahan kekuasaan bisa jadi absolutisme dan koruptisme kekuasaan menjadi keniscayaan.

1.Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden/Wakil Presiden dalam UUD NRI 1945

Dalam konstitusi pra-amandemen negara ini, kedaulatan negara berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari MPR inilah, kedaulatan rakyat dibagi secara vertikal ke lembaga tinggi negara dibawahnya. Prinsip yang dianut adalah pembagian kekuasaan (division or distribution of power).

Akan tetapi dalam konstitusi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat itu ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (Separation of Power) menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances (saling imbang dan saling awas).30

Posisi antara legislatif (MPR/DPR) dan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dalam konstitusi pasca-amandemen adalah sejajar. Berbeda dengan konstitusi pra-amandemen, legislatif (MPR) berada diatas ekeskutif (Presiden), walau pada kenyataannya eksekutiflah yang sebenarnya berada diatas dan mengendalikan legislatif. Posisi yang sejajar dalam konstitusi pasca-amandemen juga menimbulkan hubungan baru antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif, berbeda dengan hubungan antar-keduanya dalam konstitusi pra-amandemen.

Dari studi singkat terhadap kontitusi (UUD NRI 1945), ditemukan beberapa bentuk hubungan antara legislatif dan eksekutif tersebut misalnya dalam bidang, pertama, kekuasaan legislasi (membuat undang-undang). Terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”31 Pasal 20 ayat (2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.”32

Kedua pasal ini mensuratkan adanya pengurangan kekuasaan legislasi Presiden. Presiden dikembalikan ke posisi sebagai pelaksana undang-undang, bukan pembentuk undang-undang dan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang.33 Posisi DPR sebagai pembuat undang-undang ini semakin diperkuat oleh konstitusi dengan Pasal 20 ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”34 Pada bidang kekuasaan legislasi, pemisahaan kekuasaan (Separation of Power) dalam konstitusi pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah diakomodir.

Kedua, kekuasaan administratif dan kelembagaan. Terdapat dalam Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”35 Dan Pasal 7C “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”36

Posisi Presiden/Wakil Presiden dikontrol oleh DPR melalui mekanisme pemakzulan (impeachment process) serta posisi DPR sama kuat dengan Presiden, karena Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sepertinya pada bidang kekuasaan ini, kekuasaan DPR lebih besar dari Presiden, karena DPR bisa mengkontrol Presiden lewat mekanisme pemakzulan. Prinsip saling awas (checks) bersifat searah dan cenderung legislative heavy. Lalu bagaimana bentuk kontrol Presiden terhadap DPR? sejauh ini penulis tidak menemukan pasal dalam kontitusi pasca-amandemen (UUD NRI 1945) yang menyebutkan kontrol Presiden terhadap DPR. Pasal pemakzulan menurut hipotesa penulis dilandasi pada aksi sejarah Orde Baru yang memberikan kewenangan sangat besar pada Presiden. Jadi Pasal ini bisa disebut “pasal egois”.

Ketiga, kekuasaan militer dan diplomatik. Terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”37 Ayat (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”38 Dan Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”39 Ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”40

Presiden hanya memperhatikan pertimbangan DPR apabila mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain. Kata memperhatikan disini berarti bukan sebuah keharusan? Kata “memperhatikan” menurut hemat penulis adalah sebuah bentuk saling imbang (balances) antara DPR (legislatif) dengan Presiden (eksekutif).

Keempat, kekuasaan yudikatif. Terdapat dalam Pasal 14 ayat (2) “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”41 Pasal ini jelas mensuratkan adanya prinsip saling imbang (balances) antara DPR dengan Presiden.

1.PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan tentang hubungan antara DPR dengan Presiden/Wakil Presiden diatas, dapat diketahui bahwa UUD 1945 pasca-amandemen (UUD NRI 1945) telah mengakomodir teori pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dengan prinsip saling imbang dan saling awas (checks and balances principle).

Tetapi beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 juga ada yang tidak mengakomodir prinsip saling imbang dan saling awas. Misalnya, Pasal pemakzulan ( Pasal 7A UUD NRI 1945).

Mungkin dari sinilah perlu ada amandemen terhadap UUD 1945. Konstitusi bukanlah barang mati yang tidak bisa dirubah, konstitusi tetap harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Karena perubahan peradaban manusia dengan segala kompleksitas permasalahannya lebih cepat dari pada perubahan hukum.

DAFTAR BACAAN

Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press

Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press

Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2006. Sengketa kewenangan Antar-lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press

Budiarjo, Miriam. 2002. Prof. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dicey, A.V. 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.), Bandung: Penerbit Nusamedia.

Huda, Ni’matul. Hj. S.H. M.Hum, 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press.

Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Dasar dan Struktur Kelembagaan Negara Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta

Mahfud MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Kelembagaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta

Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press

Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press

Nurtjahjo, Hendra. 2005. Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Soemardjan, Selo (ed). 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia

Soimin, SH. dan Sulari S.H. Msi. 2004. Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif dalam Format Kelembagaan Negara Indonesia. Malang: UMM Press

Strong, C.F. 2004. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia (terj.) Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusa media

Wheare, K.C. 2003. Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Pustaka Evreka

Widjojanto, Bambang, Saldi Isra, Marwan Mas (ed). 2002. Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen. Jakarta: Pustaka Harapan

1 Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pasal ini mensuratkan bahwa kedaulatan negara ini ada ditangan rakyat dan yang mempunyai wewenang penuh untuk melaksanakan adalah MPR. Dalam penjelasan umum UUD 1945 dituliskan “Kekuasaan Negara yang tertinggi ditangan Majelis Permusyawaratan Rakyat” (Die Gezamte Staatgewalt leigi allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia…..” Baca, MPR-RI, Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjen MPR-RI: 2002. hal. 80.

2 Dalam penjelasan UUD 1945 pra-amandemen dituliskan “…..sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis”. Lihat, MPR-RI, Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945…hal 80-81.

3 Perubahan ketiga UUD1945.

4 Baca, C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, (terj.), Bandung: Penerbit Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal. 330.

5 C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia…hal. 331.

6 MPR-RI, Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945…hal 7. kursif dari penulis.

7 Lihat penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dalam MPR-RI, Persandingan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945…hal 89.

8 Perubahan pertama UUD 1945. kursif dari penulis.

9 Periksa, Hj. Ni’matul Huda, S.H. M.Hum, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hal. 3-5.

10 Perubahan kedua UUD 1945.

11 Lihat, Prof. Dr. Jimly Ashsiddiqie, S.H., Sengketa Kewenangan Antar-Lembaga Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 3.

12 Telaah pada Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 173.

13 Periksa, A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.), Bandung: Penerbit Nusamedia, 2007, hal. 137-138.

14 Baca, A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, (terj.)…hal. 133.

15 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 208.

16 Periksa, C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia…hal. 328.

17 Periksa, C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia…hal. 100.

18 Lihat, Prof. Dr. Jimly Ashsiddiqie, S.H., Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2004, hal. 59-60.

19 Baca, C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia…hal. 100.

20 Telaah misalnya pada Prof. Dr. Jimly Ashsiddiqie, S.H., Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945…hal. 59-60. ciri-ciri yang dituliskan pada sistem pemerintahan parlementer ini disarikan sebagai contra dari sistem pemerintahan presidensiil.

21 Periksa Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 222-223.

22 Lihat penjelasan dari C.F. Strong seperti ditulis dalam Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 223.

23 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 224.

24 Telaah pada Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 224.

25 Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

26 Lihat Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945.

27 Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 151.

28 Tulisan John Locke dimaksudkan sebagai kritik atas kekuasaan absolute dari raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan revolusi gemilang 1688 (The Glorius Revolution of 1688). Lihat Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik…hal. 151-152.

29 Baca, C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia…hal. 330. kursif dari penulis.

30 Baca Prof. Dr. Jimly Ashsiddiqie, S.H., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hal. 72-73.

31 Perubahan pertama UUD 1945.

32 Perubahan pertama UUD 1945.

33 Bandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) pra-amandemen: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

34 Perubahan kedua UUD 1945

35 Perubahan ketiga UUD 1945.

36 Perubahan ketiga UUD 1945.

37 Perubahan keempat UUD 1945.

38 Perubahan ketiga UUD 1945.

39 Perubahan pertama UUD 1945.

40 Perubahan pertama UUD 1945.

41 Perubahan pertama UUD 1945.