Jumat, 09 Juli 2010

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia


A. Pendahuluan

Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga hal, yaitu:

1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi.
2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan militer-sipil dalam proses sosial politik.
3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).

Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.

B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.

Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang menonjol, yaitu:

1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan kewiraswastaan Islam.
2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik kepentingan Jawa dan luar Jawa.

Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).

Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo (Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). “Budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).

C. Budaya Politik Jawa

Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:

1. Konsep “Halus”

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.

Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.

2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.

Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.

3. Konsep Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.

Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)

D. Telaah Kritis

Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria tentang hal ini:

1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.
2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
4. Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, Afan; 153).

Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar.

Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk menjaga keutuhan kebersamaan.

E.Penutup

Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran pada perkuliahan ini.

F. Daftar Pustaka

* Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. PT Temprint; Jakarta.
* Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. LKPSM; Yogyakarta.

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA


BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

A.PENDAHULUAN

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.

Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.



B.PENGERTIAN BUDAYA POLITIK



1.Pengertian Umum Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.



1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.

a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.

c. Alan R. Ball

Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.

d. Austin Ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.

Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.

Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

1. Komponen-Komponen Budaya Politik


Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

C.TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK



1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.





1. Berdasarkan Orientasi Politiknya


Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.