Minggu, 05 Januari 2014

IKAN HAMPALA MONSTER


Minggu, 30 Januari 2011

FEODALISME MENUMBUHKAN MENTAL MISKIN

Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakatyang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor – sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai – nilai budaya yang dinut leh masyarakat. salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa – apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan. Soluisnya adalah dengan menanamkan budaya egaliter dan demkrasi secara utuh. Dengan hal itu akan memberi kesempatan setiap individu untuk dapat berkreasi dan tidak selalu terbelenggu oleh perintah atasan. Keyword: Kemiskinan dan Feodalisme



Latar belakang

Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya masalah – masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi hantu yang terus membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang subur, tambang yang yang melimpah, serta berbagai hasil alam yang kaya menjadi kekuatan bangsa ini. Kekayaan yang dimiliki menjadi modal yang besar bagi bangsa ini untuk mencapai suatu kemakmuran dan kesejahteraan yang juga telah diamanahkan dalam UUD 1945. Berbagai hasil dari bumi Indonesia seharusnya menjadikan bangsa ini serta rakyat Indonesia menjadi kaya. Pengelolaan yang maksimal akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kaya dan terbebas dari kemiskinan.
Realitas yang ada pada bangsa ini ternyata tidak demikian. Bangsa ini justru menjadi bangsa yang tidak dapat keluar dari kemiskinan. Hal ini ditunjukan dengan masih banyaknya masyarakat yang berada dalam kemiskinan. Masyarakat Indonesia masih banyak yang kelaparan, tidak mendapat pendidikan, dan hidup dalam keterbatasan. Hal ini jelas menunjukan bahwa masyarakat mengalami suatu keadaan miskin
.
Berbagai faktor telah diteliti oleh berbagai pakar mengenai penyebab dari kemiskinan tersebut. Dimana faktor yang menyebabkan kemiskinan salah satunya adalah faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan menjadi bagian yang cukup membawa pengaruh masyarakat hidup dalam kemiskinan. Hal ini memang dikarenakan kebudayaan menjadi suatu bagian yang penting dan melekat bagi masyarakat serta menjadi pedoman dalam kehidupannya. Sehingga apa yang ada dalam beudaya masyarakat itu selalu diikuti dan bahkan tidak dikritisi.
Salah satu faktor budaya yang menyebabkan kemiskinan adalah budaya feodalisme. Feodalisme ini merupakan suatu faham atau system yang selalu berorientasi ke atas. Sehingga apa yang dilakukan atau diperintahkan atasan selalu diikuti dan bahkan untuk mengatakan benar atau salah juga mengikuti atasan. Budaya feodalisme ini sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena memang merupakan warisan dari zaman kerajaan yang menganut system patron – klien.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas perumusan masalahnya antara lain:
a. Bagaimana feodalisme menyebabkan masalah kemiskinan?
b. Bagaimana solusi mengatasi maslah kemiskinan ?



PEMBAHASAN

Kemiskinan

Kemiskian menjadi isu yang sangat penting dalam dunia moder ini. Kemiskinan sendiri mempunyai pengertian yang luas. Menurut Parsudi Suparlan dalam Mustofa (2005: 43) kemiskinan secara singkat dpat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah tersebut Nampak langsung pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moran dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Kemisinan kultural menjadi jenis kemiskinan yang sangat sulit untuk cepat diperbaiki. Karena hal in terkait dengan msalah kebudayaan yang telah melekat dalam suatu masyarakat yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Kemiskinan cultural disebabkan oleh nilai – nilai yang ada dalam masyarakat yang menghambat msyarakat itu untuk berkembang dan maju. Dan kemiskinan ini masih banyak dijumpai di Indonesia.

Feodalisme Sebagai Penyebab Mental Miskin

Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga kerajaan Inggris pada saat Negara ini menjadi Negara adi daya. Dalam konteks lokal Indonesia sering dikenal dengan ningrat atau priyayi terutama dalam kalangan masyarakat Jawa. Hal ini yang telah dijelaskan oleh Cliford Geertz dalam Santri, Abangan, Priyayi. Feodalisme telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat Jawa. Feodalisme ini mau tidak mau telah ada dan erat dengan masyarakat terlebih lagi pada masyarakat desa.
Feodalisme ini tercermin dengan nilai yang ada dalam masyarakat yang terlalu berorientasi pada atasan, pada senior dan ke orang – orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan yang tinggi, yang selalu diminta restunya setiap kali akan melakukan usaha atau kegiatan. Sehingga dalam hal ini masyarakat dalam melakukan sesuatu selalu bergantung pada atasannya.
Kungkungan budaya feodalisme (paternalisme) yang sejak dulu ada telah menggerogoti nilai-nilai egaliter dan demokrasi berbangsa dan bernegara. Sapaan bung dan saudara berganti menjadi bapak dan ibu. Orang masih muda kita panggil bapak karena pangkatnya lebih tinggi. Terhadap sesama teman sejawat kita rikuh menyebut saudara karena takut menyinggung perasaan. Termasuk, bangkitnya neofeodalisme berupa penelusuran identitas pribadi sebagai keturunan bangsawan, dianggap penting bagi seseorang untuk mengangkat harkat dan kewibawaan.
Praktek Feodalisme telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Feodalisme merupakan salah satu nilai yang dalam hal ini menyebabkan mental miskin. Karena dengan budaya feodalisme yang ada di dalam masyarakat mengakibatkan masyarakat menjadi selalu tersubordinasi oleh atasan, senior, ataupun orang yang dituakan. Sehingga daya juang dan daya saing masyarakat menjadi terkungkung oleh rasa segan, takut, dan rikuh. Masyarakat juga menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, senior, mereka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam hal ini mental penjilat akan tumbuh subur dalam budaya feodalisme sehingga usaha sendiri untuk maju jarang dilakukan karena hanya berharap pada atasan.
Feodalisme juga menjadikan masyarakat sulit untuk mengembangkan kreatifitas dalam berusaha. Karena yang dilakukan selama ini hanya atas perintah atasan. Ini menjadikan masyarakat menjadi tertanan suatu mental miskin, yaitu mental yang tidak ingin maju, tidak suka bekerja keras, pemalas, dan suka menjilat. Feoadalisme juga manjadikan masyarakat mudah putus asa, menyerah pada keadaan karena mereka menganggap tidak dapat melakukan apa – apa, yang bisa hanya atasan, senior dll.
Praktek feodalisme masih banyak berkembang dalam masyarakat pedesaan. Dimana sebagian besar lebih memilih menjadi buruh yang “mengekor pada majikan”, karena mereka mengangap majikanlah yang paling berkuasa dan paling dihormati sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh dari pada melakukan usaha sendiri. Inilah yang mengakibatkan masyarakat desa selalu berada dalam keterbatasan karena tidak mau untuk melakukan yang lebih, dan hanya menurut pada atasan/majikan.


Solusi mengatasi kemiskina karena feodalisme

Feodalisme telah menjadi salah satu penyebab kemiskinan dan menjadi kendala bagi kemajuan masyarakat. Dari hal itu, ada hal yang dapat dilakukan agar feodalisme dapat dihilangkan yaitu: Menumbuhkan budaya egaliter. Masyarakat harus mulai meninggalkan feodalisme dan mengganti dengan budaya egaliter dimana setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama. Sehingga tidak ada lagi keharusan untuk selalu mengikuti atasan, dan dengan begitu ide, gagasan serta kreatifitas individu dapat terlihat tanpa harus takut, rikuh dengan atasan, senior atau penjabat. Masyarakat harus mulai berani menonjolkan diri tanpa rasa takut atau segan dengan atasan. Dengan hal itu maka kemampuan dari masing – masing individu dapat terlihat dengan maksimal. Selain menumbuhkan budaya egaliter, juga harus menumbuhkan rasa percaya diri. Masyarakat harus percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki tanpa harus merasa minder dengan senior, ataupun atasan.
Budaya egaliter yang ditawarkan juga harus diikuti dengan muai dikembangkannya masyarakat yang dekokratis secara utuh. Karena selama ini demokrasi yang di dengung – dengungkan masih belum secara utuh dilakukan, masih saja nilai – nilai feodal tumbuh dalam masyarakat. Dalam hal ini pemerintah harus membuka kesempatan kepa seluruh pihak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kemampuannya tanpa harus di takut – takuti dengan kekuasaan.
Dengan budaya egaliter serta demokrasi yang dilakukan secara konsisten maka feodalisme akan menghilang, dan kekebasab berkreasi dan berusaha akan terwujud sehingga secara langsung ataupun tidak akan mengurangi serta menghilangkan mental miskin yang cenderung senang diberi tanpa mau kerja keras.



SIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah budaya feodalisme karena feodalisme menjadikan masyarakat menjadi terkungkung oleh atasan. Sehingga kreatifitas individu menjadi tidak terlihat secara maksimal. Dengan begitu akan mulai tumbuh mental miskin yang tercermin dari sikapnya yang malas, tidak suka bekerja keras, dan senang menjadi “penjilat” penguasa. Solusi yang ditarkan adalah dengan budaya egaliter. Egalitarian akan membuat masyarakat akan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses seluruh bidang kehidupan. Dengan begitu maka secara perlahan masyarakat akan mulai terbuka dan tidak terkungkung oleh para atasan, senior, maupun penguasa.




DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia
……………….1979. Manusia dan Kebudaayaan Indonesia.Jakarta: Jambatan.
Mustofa, M.S. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa. Semarang: UNNES Press.

Kamis, 19 Agustus 2010

Telaah Konstitusional tentang Kedaulatan Rakyat di Indonesia

M. Kurniawan Ginting dan Diding Sakri

Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)







Pengantar

Hidup sebagai bangsa dan negara adalah hidup dinamis yang perlu terus menerus ditinjau sambil dijalankan. Kesadaran adalah tujuannya. Kesadaran adalah kondisi ketika peninjauan atau refleksi yang kita lakukan bertemu dengan praktik, berbangsa dan bernegara yang tidak jauh atau semakin mendekati hakikat yang harus dicapai. Meninjau atau merefleksikan praktik hidup berbangsa dan bernegara adalah pekerjaan penting bernegara. Setiap individu sebaiknya melakukannya.



Berbicara tentang hakikat hidup berbangsa dan bernegara, ada beberapa isu mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu faham kebangsaan, kemanusiaan, negara hukum atau negara kekuasaan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Untuk memahami persoalan mendasar tersebut, kita acap membutuhkan tuntunan pemikiran dari para filosof. Kita kenal Plato dengan faham negara yang harus dipimpin oleli filosof, Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa wewenang negara hilang apabila bertindak menyalahi hukum kodrat. Selain itu, ada Hobbes yang mengharapkan keselamatan manusia dari negara dengan kekuasaan mutlak, Locke yang mengajarkan faham negara konstitusional, Hegel yang mendewakan negara, Marx yang mengkritik negara kelas, sampai pada Stuart Mill yang sadar akan bahaya diktatur massa dalam demokrasi modern.



Kedaulatan Rakyat

Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.



Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.



Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.



Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?



Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.



Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.



Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.



Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.



Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara



Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.



Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.



Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?



Aplikasi Kedaulatan Rakyat di Indonesia

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.



Perwakilan Rakyat dalam UUD'45

Secara substansial, UUD'45 mengandung kelemahan dalam menjelaskan dan mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat.[1] UUD'45 memang mencantumkan adanya kekuasaan tertinggi ditangan rakyat yang akan dilakukan sepenuhnya oleh sebuah Majelis Perwakilan Rakyat[2] (Pasal 1 ayat 2), namun terdapat ketidakjelasan mengenai:

a. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggota DPR; mewakili siapa atau mewakili aspirasi apa sesungguhnya anggota DPR yang dimaksuddalam pasal tersebut.

b. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggota Utusan Daerah dalamMPR

c. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggotaUtusaGolongan dalam MPR

d. ketidakjelasan a,b, c tentang komposisi jumlah keanggotaan serta bentuk pertanggungjawabannya



Padahal sebagai lembaga yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ketidakjelasan ini tentu saja menguntungkan penguasa yang dapat mengintrerpretasikan kekurangan UUD'45 sesuai dengan keinginannya. Disinilah bangsa Indonesia berjudi. Pengejewantahan Kedaulatan rakyat di Indonesia tergantung terhadap moralitas penguasa dalam mengintepretasikan kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD'45.



Sejarah keberadaan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat baru dimulai sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.' Sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, MPR belum pemah terbentuk karena kesibukan pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) atau karena UUD'45 tidak digunakan lagi sebagai konstitusi negara Indonesia (1949-1959). Sementara itu, pemahaman bagaimana mewujudkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan UUD'45 berbeda antara rezim yang satu dengan rezim yang lainnya. Berbeda pada periode Dernokrasi Terpimpin 1959-1965 dan periode Demokrasi Pancasila 1966-1998, dan berbeda pula pada paska Orde Baru.



Dalam periode demokrasi terpimpin, seluruh anggota MPR dipilih dan diangkat oleh Presiden. Pada masa ini, tidak ada pemilihan umum yang memang tidak disebutkan dalam UUD'45. Presiden dalam hal ini mengambil seluruh peran masyarakat dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Majelis perwakilan. Pemberian peran rakyat dalam memilih wakil-wakilnya melalui Pemilu baru diberikan pada masa demokrasi Pancasila dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Dari total 1000 anggota MPR, 400 anggota MPR dipilih rakyat dan 600 dipilih langsung oleh Presiden atau sebagai bagian penugasan dari eksekutif (Utusan Daerah) atau penugasan dari ABRI. Dalam Era Pasca Orde Baru, jumlah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum ditingkatkan dari 400 menjadi 462 anggota DPR/MPR. Sementara itu, keberadaan TNI/POLRI di DPR masih dipertahankan walaupun jumlahnya dikurangi dari 75 menjadi 38 orang. Pemahaman mengenai Utusan Daerah dan Utusan Golongan masih juga mengalami perubahan. Pada era ini, Utusan Daerah dipilih oleh DPRD, tidak lagi melalui Muspida, dan Utusan Golongan dipilih oleh KPU (lembaga penyelenggara pemilihan umum dan bersifat ad hoc), tidak lagi ditunjuk dan dipilih langsung oleh Presiden.



Terlalu banyaknya penafsiran yang bisa dilakukan terhadap UUD'45 dengan gejolak sosial politik; yang selalu menyertainya, menyebabkan tekanan untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara Indonesia sesuatu yang tidak terhindarkan. Maka sejak, tahun 1999 melalui Sidang Umum MPR dilakukan amandemen pertama UUD'45 hingga amandemen keempat melalui Sidang Umum MPR tahun 2002. Amandemen kesatu hingga keempat tersebut membawa perubahan terhadap pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia.



MPR berdasarkan UUD'45 yang telah diamandemen masih memegang peranan yang sangat penting dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Walaupun fungsinya sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat telah digantikan oleh UUD (Pasal 1 ay at 2 UUD'45 yang telah diamandemen). Namun sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD (pasal 3 ayat 1 UU'45 yang diamandemen) secara tidak langsung, MPR masih berperan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, jaminan untuk dapat mendudukan wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat menyampaikan aspirasi rakyat sangatlah diperlukan.



MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum (pasal 2 ayat 1 UUD'45 yang diamandemen). Artinya tidak ada lagi anggota perwakilan rakyat yang tidak berasal dari proses pemilihan umum seperti selama ini terjadi. Begitu pula dengan Presiden yang selama ini dipilih melalui MPR juga secara langsung dipilih oleh rakyat. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan peran rakyat yang diberikan UUD'45 hasil amandemen dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di pemerintahan.



Namun adanya pemilihan umum belum lah menjamin rakyat dapat benar benar memilih wakil yang dipercayainya. Selarna ini, dalam proses pemilihan umum, kecuali pemilu 19§5, rakyat hanya memilih partai. Partai lah yang akan menentukan siapa yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini, seringkali menyebabkan rakyat tidak tahu siapa orang yang mewakilinya di lembaga perwakilan. Untuk itu, pemilihan umum seharusnya tidak membatasi rakyat hanya memilih partai namun sekaligus memilih orang yang akan mewakilinya.



Pengaturan sistem pemilihan umum diatur dalam UU pemilu. Saat ini, Panitia Kerja DPR sedang melakukan penyusunan UU Pemilu yang akan digunakaii dalam Pemilihan Umum 2004. Sistem Proporsional Tertutup (closed list) seperti yang selama ini dilakukan tetap menjadi pilihan bagi PDI-P. Sistem ini akan menguntungkan partai karena kekuasaan untuk memilih Orang yang akan duduk di DPR ada ditangan partai. Namun rakyat sebagai pemilih tentu akan dirugikan karena hanya mencoblos partai. Sementara itu, partai lainnya lebih mendukung Sistem Proporsional Terbuka (open list). Sistem ini akan memberikan peran kepada rakyat pemilih dalam memilih secara langsung orang-orang yang paling dipercayainya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat. Tentu saja diantara dua pilihan di atas, harapan lebih tertuju kepada Sistem Proportional Terbuka.



Pembatasan Kekuasaan (penyelenggara) Negara[3]

Apa yang dimaksud dengan pembatasan kekuasaan penyelenggara negara? Kenapa ini diperlukan? Bagaimana ini dilakukan? Terakhir, bagaimana negara kita menjawab ketiganya?



Jawaban untuk pertanyaan pertama dan kedua. Masih dalam faham kedaulatan rakyat, sekali lagi ditegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat. Negara hadir sebagai aksiden dari sebuah sebab efektif adanya rakyat yang berkehendak untuk bernegara. Bernegara dipilih sebagai suatu cara sadar untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyat. Untuk menjamin keefektifan (terpenuhinya kebutuhan rakyat), dimandatkanlah suatu otoritas kepada negara. Otoritas ini hanya lah otoritas tingkat kedua. Otoritas ini tidak boleh melebihi otoritas sumbernya. Disini lah awal lahirnya kekuasaan negara yang terbatas.



Jawaban untuk pertanyaan ketiga. Konsep pembatasan kekuasaan negara yang sering dirujuk adalah konsep trios politika atau tiga pembagian kekuasaan, dari Charles Louis de Secondant Baron Montesquieu (1687-1755). Yaitu konsep pembagian kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislative adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk menjalankannya, dan yudikatif kekuasaan untuk mengadili.



Menurut Montesquieu, pembagian tiga kamar kekuasaan ini dilakukan untuk menjamin adanya kemerdekaan. Dikatakannya:

”Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan...juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan legislative. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kawula negara akan dikuasai oleh pengawasan sukahati, oleh sebab hakim, akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-gaianya apabila orang-orang yang itu juga, atau badan yang itu juga, yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu...[4]"



Demikian adalah landasan konseptual, tujuan, dan jenis pembagian kekuasaan sebagai upaya membatasi kekuasaan penyelenggara negara. Bagaimana (konsep ini dipraktikkan) di Indonesia?



Pada dasarnya, konsep pembatasan kekuasaan penyelenggara negara yang ada di Indonesia merupakan varian dari konsep trias politica. Pembagian kekuasaan ke lembaga-lembaga negara bertujuan untuk menjaga kesermbangan kekuasaan sehingga tidak ada lembaga yang paling kuat. Berikut akan diuraikan pembagian kekuasaan penyelenggara negara berdasarkan UUD'45 dan UUD'45 yang telah diamandemen.



Pembagian kekuasaan di UUD'45

Dalam UUD'45, kekuasaan legislatif dimiliki oleh DPR, kekuasaan eksekutif dilaksanakan dibawah pimpinan Presiden, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (MA). Baik DPR, Presiden maupun Mahkamah Agung tennasuk dalam lembaga t±nggi negara yang ada di Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) yang bertugas memeriksa keuangan negara dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang merupakan badan penasihat bagi Presiden juga tennasuk ke dalam lembaga tinggi negara dan sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Adanya pembagian kekuasan, kesejajaran, dan hubungan di antara ke lima lembaga tinggi negara tersebut diharapkan dapat menciptakan keseimbangan pelaksanaan kekuasaan negara.



Namun di atas kelima lembaga tinggi negara tersebut terdapat lembaga tertinggi negara yang merupakan representasi sepenuhnya kedaulatan rakyat. Lembaga tertinggi negara tersebut yaitu MPR menjadi superbody dalam kehidupan bemegara di Indonesia. Presiden yang merupakan pimpinan lembaga eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Sementara itu, seluruh anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Hal ini dapat menyebabkan kesejajaran yang ada di lembaga tinggi negara menjadi terganggu.



Pembagian kekuasaan di UUD'45 yang telah di Amandemen

Terjadi beberapa perubahan dalam pembagian kekuasaan penyelenggaraan negara setelah UUD'45 diamandemen hingga yang keempat kalinya. Perubahan pertama, tidak adanya lagi pasal yang menyebutkankan MPR sebagai pelaksana kedaulatan sepenuhnya rakyat (walaupun masih ada secara tersirat). Kedua, Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif dipilih langsung oleh rakyat sehingga bertanggung jawab secara langsung oleh rakyat dan hanya dapat diberhentikan apabila melanggar UUD '45. Ketiga, DPA dileburkan ke dalam wilayah kekuasaan eksekutif. Keempat, Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.



Kesimpulan

Pada dasarya, kedaulatan melekat (inherent) dengan pemegang kedaulatan. Maka, kedaulatan rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari rakyat Indonesia. Ada atau tidaknya sebuah konstitusi seharusnya tidak menambah atau mengurangi kedaulatan itu sendiri. Hanya saja oleh karena kompleksitas kehidupan bernegara, maka kedaulatan rakyat itu diusahakan untuk diatur dalam konstitusi negara. Konstitusi tersebut merupakan alat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat namun bukan sumber dari kedaulatan. Karenanya, tidak pernah ada istilah kedaulatan rakyat adalah salah oleh karena melanggar konstitusi.



Seperti telah diuraikan, UUD'45 yang tidak secara jelas mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat menyebabkan penguasa acap mempunyai kesempatan mengintrepertasikan kedaulatan rakyat menurut kepentingan penguasa. Akibatnya adalah timbulnya penindasan terhadap rakyat yang berakhir dengan gejolak sosial politik. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mencatat beberapa kali kejatuhan penguasa setelah rakyatnya merasa tidak merasa cocok lagi dengan penguasa tersebut.



Dalam konteks kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya penjatuhan penguasa secara paksa oleh rakyat tanpa melalui cara-cara konstitusional. Kedaulatan rakyat di atas konstitusi itu sendiri. Hanya saja, acap hal ini memerlukan biaya sosial politik yang cukup mahal. Karenanya, menyempurnakan UUD'45 menjadi hal yang tidak dapat ditolak. Dengan memperbaiki aturan main melalui konstitusi diharapkan aspirasi rakyat dapat terpenuhi tanpa harus menggunakan jalur-jalur "inkonstitusional".



Hanya sayangnya, masyarakat masih kurang dalam mengawal penyempurnaan UUD'45 melalui SU MPR yang telali dilakukan beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu mengandung resiko di mana upaya perbaikan konstitusi akan dikotori jual beli politik. Karena bagaimanapun, MPR yang melakukan penyempurnaan UUD'45 merupakan orang-orang yang dihasilkan dari sistem politik yang lama.



Kalau kita bandingkan, aksi-aksi masyarakat untuk menjatuhkan Presiden atau menuntut penuruhan harga BBM, tarif listrik dan telepon, seperti yang saat ini masih berlangsung, akan kelihatan lebih besar dan gagah dibandingkan dengan aksi-aksi dalam mengawal penyempurnaan UUD'45. Kalau saja, energi aksi untuk mengawal penyempurnaan UUD'45 sebesar dengan energi aksi dalam menjatuhkan presiden atau penuntutan penurunan harga BBM, tarif listrik, dan telepon, UUD'45 yang dihasilkan akan lebih baik dalam menjamin kedaulatan rakyat dibandingkan yang ada pada saat ini.



Begitu pula, terhadap pengawalan kinerja Panitia Kerja UU Pemilu DPR yang saat ini masih berlangsung. Padahal UU Pemilu ini akan mengatur sistem pemilihan, kriteria, dan komposisi wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga pemerintahan. Setidaknya UU ini akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2004.



Secara sadar kita harus mengakui, bahwa aksi-aksi demonstrasi acap bersifat reaksioner dan terjebak pada isu-isu populis seperti menuntut turunnya presiden dari jabatannya. Padahal seringkali sumber permasalahan tidak hanya ada pada penguasa namun terutama disebabkan oleh konstitusi yang sudah tidak dapat lagi menjamin terciptanya kedaulatan rakyat.



Oleh karena itu, penyempurnaan konstitusi ataupun penyusunan UU terutama yang akan berpengaruh terhadap kepentingan publik harus mendapat pengawalan ketat dari masyarakat. Disamping, tentunya, tetap mempertahankan gerakan dan himbauan moralitas.



Daftar Rujukan:

Hoffer, Eric (1951). The True Believer. Mentor Books, The New American Library of World Literature. New York, USA.

Kompas (1999). Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, Indonesia.

Noer, Deliar (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Media Utama. Bandung, Indonesia.

Ranadireksa, Hendarmin (2002). Amandemen UUD 45: Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat. Tim Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Indonesia.

Suseno, Franz Magnis (1992). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta, Indonesia.





[1]Menurut Salman Luthan (Kompas: 1999) ada empat kelemahan UUD 45 (sebelum amandemen). Pertama, terlalu menekankan pada pendekatan fungsional dalam penegakan hukum dan mengabaikan pendekatan sistemik dalam pembuatan peraturan. Pendekatan fungsional menekankan peran penyelenggara negara khususnya presiden, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Sedangkan pendekatan sistemik lebih menonjolkan sistem ketatanegaraannya. Sikap UUD 45 yang demikian terlihat secara eksplisit dalam penjelasan UUD 45. Disebutkan bahwa yang penting dalam hal hidupnya negara adalah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Kedua, tidak memberikan batasan tegas terhadap kekuasaan presiden, khususnya pembalasan masa jabatan presiden. Ketentuan pasal 7 hanya menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketiga, terlalu mendelegasikan kepada badan pembentuk undang-undang untuk menetapkan substansi aturan pokok yang dirumuskan oleh UUD 45. Beberapa ketentuan yang substansinya dirumuskannya dalam undang-undang adalah, misalnya, susunan keanggotaan MPR (pasal 2 ayat 1), susunan keanggotaan DPR (pasal 19), susunan dan kekuasaan badan kehakiman (pasal 24), dan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran (pasal 28). Keerapat, materi pokok yang seharusnya diatur dalam UUD 45 ternyata tidak diatur lengkap. Sebagai contoh adalah materi tentang HAM dan ketentuan Indonesia sebagai negara hukum.



[2]MPR sendiri terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah anggota Utusan Daerah untuk menyampaikan aspirasi daerah dan anggota Utusan Golongan sebagai representasi golongan-golongan yang ada di Indonesia (pasal 2 ayat 1).



[3] Dalam tulisan ini pembatasan kekuasaan dibahas pada bagian Horizontal yaitu antar lembaga pemyelenggara negara. Sementara itu, pembatasan secara Vertikal yaitu antara pemerintah pusat dengan daerah tidak dibahas. Sebagai catatan, sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maka di Indonesia telah pula berlaku pembagian kekuasaan vertikal tersebut, melalui desentralisasi kewenangan pemerintahan.



[4] De I’Esprit des Lois, bagian XI, bab ke 6-7, sebagaimana dikutip dalam Noer (1997: 136).

Jumat, 09 Juli 2010

Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia


A. Pendahuluan

Menurut Yahya Muhaimin, masyarakat Indonesia yang secara sosio-historis merupakan masyarakat plural, sebenarnya mempunyai pola-pola budaya politik yang elemen-elemennya bersifat dualistis. Dualisme tersebut berkaitan dengan tiga hal, yaitu:

1. Dualisme antara kebudayaan yang mengutamakan keharmonisan dengan kebudayaan yang mengutamakan kedinamisan (konfliktural). Dualisme ini bisa kita lihat dalam interaksi antara budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Jawa dengan kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan luar Jawa, terutama Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi.
2. Dualisme antara budaya dan tradisi yang mengutamakan keleluasaan dengan yang mengutamakan keterbatasan. Fenomena ini merupakan tendensi kemanunggalan militer-sipil dalam proses sosial politik.
3. Dualisme akibat masuknya nilai-nilai barat ke dalam masyarakat Indonesia. Hakikat nilai Barat adalah pandangan hidup yang menempatkan indiidualisme dalam kedudukan yang vital (Muhaimin, Yahya; 52-53).

Pada makalah ini, penulis memfokuskan bahasan pada titik yang pertama yaitu Dualisme Budaya Jawa dan Non Jawa dengan penekanan pada bentuk-bentuk dominasi Budaya Jawa dalam budaya dan pelaksanaan politik di Indonesia.

B. Tesis Dominasi Budaya Jawa.

Pada bagian ini, penulis akan mengutip 3 pendapat ahli untuk memperkuat judul makalah ini, bahwa dominasi Jawa memang terjadi, sehingga penyataan penulis tidak berupa klaim atau suatu sikap antipati belaka. Nazaruddin Syamsuddin, seorang pakar politik dari FISIP Universitas Indonesia mengemukakan, dalam sejarah politik Indonesia tahun 1950-an tampak adanya dua pola perbenturan yang menonjol, yaitu:

1. Pola pertarungan antara sub budaya politik aristrokrasi Jawa dan kewiraswastaan Islam.
2. Pola perbenturan antara sub budaya politik yang berlindung di balik kepentingan Jawa dan luar Jawa.

Terkait dengan pola yang kedua, menurut Nazaruddin perbenturan antara kelompok-kelompok sub budaya politik Jawa dan Luar Jawa, baik dalam bentuk perlawanan bersenjata maupun tidak, dimensi-dimensi kepentingan politik dan ekonomi selalu hadir, baik secara bersamaan maupun sendiri-sendiri. Masalah otonomi daerah dan konsekuensi lain yang timbul dari dukungan yang kita berikan pada konsep sentralisasi dan desentralisasi pada umumnya mempunyai dimensi politik, meskipun ada kaitannya pula dengan dimensi ekonomi. Selain itu, persoalan pembagian kekuasaan atau pengaruh politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, dan masalah keseimbangan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa, juga menjadi persoalan krusial (Syamsuddin, Nazaruddin; 42-44).

Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia yang multietnis, sebenarnya bukan dipengaruhi oleh campuran nilai budaya berbagai suku bangsa yang banyak itu. Sebaliknya, yang benar-benar mempengaruhi hanya nilai beberapa suku bangsa tertentu. Diantara beberapa suku bangsa yang sangat berpengaruh, Jawa dengan cara berpikir dan pola hidupnya paling dominan. Dominasi ini disebabkan oleh jumlah masyarakat orang Jawa yang cendrung mendominasi kehidupan politik, dan keberadaan pusat pemerintahan yang kebetulan berada di Jawa. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai keJawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).

Pendapat Yahya tentang dominasi Jawa diamini oleh Aristides Katoppo (Budayawan dari Minahasa Sulawesi Utara). “Budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif. Kondisi ini kemudian membuat kecendrungan etnis lain mengakomodir/menyesuaikan dengan tradisi/budaya Jawa, termasuk dalam berdemokrasi (mengelola kekuasaan). Akibat lanjutannya konsep demokrasi dan konsep kekuasaan nasional, sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. (Katoppo, Aristides; 2).

C. Budaya Politik Jawa

Yahya Muhaimin dalam tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap itu antara lain:

1. Konsep “Halus”

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawa). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa segan (sungkan). Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.

Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan (keterusterangan) sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara (counterpart) mesti memiliki sensitivitas tertentu karena ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.

2. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada fungsi seseorang.

Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama. Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.

3. Konsep Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.

Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio-kultural ini memperkental sistem patron-klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersifat sentralistik (Muhaimin, Yahya; 53-58)

D. Telaah Kritis

Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Sebelum beranjak lebih jauh mengupas masalah ini, ada baiknya kita mesti memiliki pemahaman tentang indikator kehidupan politik yang demokratis. Bingham Powell, Jr memberikan kriteria tentang hal ini:

1. Legitimasi pemerintahan didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya, klaim pemerintah untuk patuh pada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.
2. Pengaturan yang mengorganisasi perundingan untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih di antara alternatif calon. Dalam prakteknya, paling terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga piihan tersebut benar-benar bermakna.
3. Sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting.
4. Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa.
5. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan ( Gaffar, Afan; 153).

Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar.

Sekarang kita coba meneropong budaya Jawa terkait dengan indikator ini. Ketika demokrasi menawarkan konsep egalitarian dengan memandang orang lain sama tinggi/sejajar, maka inilah persoalan pertama bagi budaya politik Jawa untuk eksis. Kemudian masalah keterbukaan, kita melihat dualisme sikap budaya Jawa yang cendrung tertutup sangat tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Kritik terhadap pemimpin yang dianggap sebagai hal yang tabu menjadikan kedinamisan perbedaan terkekang. Budaya Jawa yang mementingkan keharmonisan membuat warna dialektis cendrung terkekang, kerena perbedaan dinihari dieliminir untuk menjaga keutuhan kebersamaan.

E.Penutup

Sebagai penutup dari makalah ini, baiknya penulis menyampaikan bahwa tujuan penulisan makalah ini bukanlah ingin menjatuhkan, memandang rendah, mengolok-olok budaya Jawa dalam konteks pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Namun, tujuan penulis hendak memaparkan tentang kecendrungan yang terjadi selama ini. Didukung dengan analisis-analisis para akademisi penulis mencoba untuk objektif mamaparkan masalah yang sensitif ini. Meskipun, budaya politik Jawa cendrung feodalistik, bukan berarti penulis mengatakan orang Jawa itu tidak demokratis. Negara kita didirikan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dan sebagian besar perumusnya berasal dari Jawa. Telaah penulis lebih kepada kajian budaya, bukan spesifik kepada personal.
Akhirnya, penulis berharap makalah ini bermanfaat dalam proses pembelajaran pada perkuliahan ini.

F. Daftar Pustaka

* Alfian dan Nazaruddin Syamsuddin (Ed), 1991. Profil Budaya Politik Indonesia. PT Temprint; Jakarta.
* Najid, Muhammad dkk (Ed), 1996. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. LKPSM; Yogyakarta.

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA


BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

A.PENDAHULUAN

Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.

Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.

Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.



B.PENGERTIAN BUDAYA POLITIK



1.Pengertian Umum Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.



1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli

Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.

a. Rusadi Sumintapura

Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b. Sidney Verba

Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.

c. Alan R. Ball

Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.

d. Austin Ranney

Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.

e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.

Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :

Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.

Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.

Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.

1. Komponen-Komponen Budaya Politik


Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.

Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.

C.TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK



1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan

Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut

Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif

Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.





1. Berdasarkan Orientasi Politiknya


Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.

Jumat, 11 Juni 2010

Azas-azas Penerintahan Daerah dan Sistem Pemerintahan Daerah Berdasarkan UUD 1945

BAB I
A. LATAR BELAKANG
1. Periodisasi Pertumbuhan Pemerintahan Daerah
Dalam rangka memahami serta menganalisis perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui pembabakan waktu atau periodisasinya. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa diatas kebijakan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah (Undang-Undang), terdapat kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya, yakni UUD atau Konstitusi. Sebagaimana kita maklumi, konstitusi yang berlaku di Indonesia pun dapat dikategorisasikan menjadi beberapa periodisasi, sebagai berikut :
1. Periode I : UUD 1945, yang berlaku sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 hingga berubahnya negara RI menjadi RIS tanggal 27 Desember 1949.
2. Periode II : Konstitusi RIS, yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949 hingga berubahnya kembali bentuk negara RIS menjadi Negara Kesatuan RI tanggal 17 Agustus 1950.
3. Periode III : UUD Sementara 1950, yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
4. Periode IV : UUD 1945, yang berlaku mulai tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang.
5. Periode V : UUD 1945 yang diamandemen, berlaku mulai tahun 1999.
Perubahan sistem konstitusional yang berdampak pula terhadap bentuk negara tersebut, jelas membawa implikasi yang sangat besar terhadap sistem pemerintahan daerah. Dengan demikian, pertumbuhan pemerintahan daerah di Indonesia mengikuti dan atau berjalan seiring dengan perkembangan politik yang ada pada saat itu. Dalam hal ini, The Liang Gie (1993 jilid I : 1) membagi perkembangan politik menjadi 6 (enam) tahapan, yaitu :
1. Masa 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 di wilayah negara RI.
2. Masa 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 di wilayah negara RI yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda sesudah Perang Dunia II.
3. Masa 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 (Republik Indonesia Serikat).
4. Masa 17 Agustus 1950 sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
5. Masa sesudah Dekrit Presiden sampai tahun 1965.
6. Masa Orde Baru (1965 sampai sekarang).
Pembagian waktu yang dilakukan oleh The Liang Gie diatas belum termasuk perkembangan politik kontemporer di Indonesia, dimana rejim pemerintahan Orde baru telah tumbang yang digantikan OLEH Pemerintahan Reformasi dibawah kepemimpinan B.J. Habibie (20 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), serta Pemerintahan Persatuan dibawah kepemimpinan duet K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati. Oleh karena itu, pembabakan waktu diatas perlu ditambah dengan “Masa sesudah Orde Baru (1998 sampai sekarang)”.
Atas dasar periodisasi konstitusional serta perkembangan politik tersebut, maka babak-babak pertumbuhan pemerintahan daerah di Indonesia dapat dipelajari dalam 7 (tujuh) periode sebagai berikut :
1. Masa Republik Indonesia (1945 – 1949)
2. Masa Pendudukan Belanda (1945 – 1949)
3. Masa RIS (1949 – 1950)
4. Masa NKRI (1950 – 1959)
5. Masa Dekrit Presiden sampai 1965
6. Masa Orde Baru (1965 – 1998)
7. Masa sesudah Orde Baru (1998 – sekarang)

2. Pokok Masalah
a. Asas-asas apa yang dapat diterapkan dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah ?
b. Apa kelemahan dan kelebihan dari tiap bentuk asas-asas Pemerintahan Daerah tersebut ?
c. Bagaimanakah sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia menurut UUD ?









BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas-asas Pemerintahan Daerah
Asas-asas untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, pada dasarnya ada 4 (empat), yaitu :
1. Sentralisasi yaitu sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat.
2. Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
4. Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2) Kelemahan dan Kelebihan dari tiap-tiap bentuk asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu sebagai berikut :
1. Asas Sentralisasi
• Menurut J. In het Veld, kelebihan sentralisasi adalah :
a) Menjadi landasan kesatuan kebijakan lembaga atau masyarakat.
b) Dapat mencegah nafsu memisahkan diri dari negara dan dapat meningkatkan rasa persatuan.
c) Meningkatkan rasa persamaan dalam perundang-undangan, pemerintahan dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah dan bersifat serupa.
d) Terdapat hasrat lebih mengutamakan umum daripada kepentingan daerah, golongan atau perorangan, masalah keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak.
e) Tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi suatu kekuatan yang besar.
f) Meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian (Muhammad Fauzan, 2006 : 61).
• Menurut J.T. van den Berg, kebaikan sentralisasi meliputi :
a) Meletakkan dasar kesatuan politik masyarakat.
b) Merupakan alat untuk memperkokoh perasaan persatuan.
c) Mendorong kesatuan dalam pelaksanaan hukum.
d) Membawa kepada penggalangan kekuatan.
e) Dalam keadaan tertentu, sentralisasi dapat lebih efesien (Bagir Manan, 1994 : 38)

 Penyelengaraan pemerintahan dengan sistem sentralisasi mempunyai kelemahan, antara lain :
a) Mengakibatkan terbengkalainya urusan-urusan pemerintahan yang jauh dari pusat.
b) Menyuburkan tumbuhnya birokrasi (dalam arti negatif) dalam pemerintahan.
c) Memberatkan tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat (S.H. Sarundajang, 2005 : 59).

2. Asas Desentralisasi
Lahirnya konsep desentralisasi merupakan upaya untuk mewujudkan seuatu pemerintahan yang demokratis dan mengakhiri pemerintahan yang sentralistik. Pemerintahan sentralistik menjadi tidak populer karena telah dinilai tidak mampu memahami dan memberikan penilaian yang tepat atas nilai-nilai yang hidup dan berkembang di daerah.
Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif, dan administrasi sendiri, sehingga akan dijumpai proses pembentukan daerah yang berhak mengatur kepentingan daerahnya.
Kelebihan dan Kelemahan Desentralisasi menurut Josef Riwu Kaho (dikutip Krishna D. Darumurti dan Umbu Rauta, 2000 : 12 – 13) antara lain :
 Kelebihan desentralisasi :
a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat.
c. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti buruk karena setiap kebutusan dapat segera dilaksanakan.
d. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.
e. Dapat memberikan kepuasan bagi daerah karena sifatnya lebih langsung.
 Kelemahan desentralisasi :
a. Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.
b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
c. Dapat mendorong timbulnya fanatisme daerah.
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama.
e. Diperlukan biaya yang lebih banyak.
• Menurut J. In het Veld (dikutip oleh Muhammad Fauzan, 2006 : 59), konsep desentralisasi mengandung beberapa kebaikan, yaitu :
a. Memberikan penilaian yang tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam.
b. Meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
c. Dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat oleh sebab tunggakan kerja.
d. Unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang lebih luas.
e. Masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga ia tidak akan merasa sebagai obyek saja.
f. Meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah.
3. Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian wewenang pejabat tingkat pusat kepada pejabat di wilayah negara. Oleh karena itu, di daerah terdapat suatu wilayah yang merupakan wilayah kerja pejabat yang menerima sebagian wewenang dari pejabat pusat. Wilayah kerja pejabat untuk pejabat pusat yang berada di daerah disebut wilayah administrasi. Wilayah administrasi adalah wilayah kerja pejabat pusat yang menyelenggarakan kebijakan administrasi di daerah sebagai wakil dari pemerintah pusat. Wilayah administrasi terbentuk akibat diterapkannya asas dekonsentrasi (Hanif Nurcholis, 2005 : 24)
Pejabat pusat akan membuat kantor-kantor beserta kelengkapannya di wilayah administrasi yang merupakan cabang dari kantor pusat. Kantor-kantor cabang yang berada diwilayah administrasi inilah yang disebut dengan instansi vertikal. Disebut vertikal karena berada di bawah kontrol langsung kantor pusat. Jadi, instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang merupakan cabang dari kementrian pusat yang berada di wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen pusat (Hanif Nurcholis, 2005 : 25).
• Kelebihan dekonsentrasi adalah sebagai berikut :
a. Secara politis, eksistensi dekonsentrasi akan dapat mengurangi keluhan-keluhan daerah, protes-protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat.
b. Secara ekonomis, aparat dekonsentrasi dapat membantu pemerintah dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan melalui aliran informasi yang intensif yang disampaikan dari daerah ke pusat. Mereka dapat diharapkan melindungi rakyat daerah dari eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memanfaatkan ketidakacuhan masyarakat akan ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi modern.
c. Dekonsentrasi memungkinkan terjadinya kontak secara langsung antara pemerintah dengan yang diperintah/rakyat (Muhammad Fauzan, 2006 : 55).
d. Kehadiran perangkat dekonsentrasi di daerah dapat mengamankan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat atau kebijakan nasional di bidang politik, ekonomi, dan administrasi
e. Dapat menjadi alat yang efektif untuk menjamin persatuan dan kesatuan nasional (Muhammad Fauzan, 2006 : 56).

4. Asas Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan dalam bahasa Belanda disebut medebewind. Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk dimintai bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah di dalam menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan tersebut (Muhammad Fauzan, 2006 : 69).
Tujuan diberikannya tugas pembantuan adalah :
a. Untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat.
b. Bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi dan karakteristiknya (Sadu Wasistiono, 2006 : 2).
Ada beberapa latar belakang perlunya diberikan tugas pembantuan kepada daerah dan desa, yaitu :
a. Adanya peraturan perundang-undangan yang membuka peluang dilakukannya pemberian tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari pemerintah daerah kepada desa (Pasal 18A UUD 1945 sampai pada UU pelaksananya : UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004).
b. Adanya political will atau kemauan politik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada seluruh lapisan masyarkat dengan prinsip lebih murah, lebih cepat, lebih mudah dan lebih akurat.
c. Adanya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat secara lebih ekonomis, lebih efesien dan efektif, lebih transparan dan akuntabel.
d. Kemajuan negara secara keseluruhan akan sangat ditentukan oleh kemajuan daerah dan desa yang ada di dalam wilayahnya.
e. Citra masyarakat akan lebih mudah diukur oleh masyarakat melalui maju atau mundurnya suatu desa atau daerah. Citra inilah yang akan memperkuat atau memperlemah dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa (Sadu Wasistiono, 2006 : 2 – 3 ).
Menurut Ateng Syafrudin (dikutip Muhammad Fauzan, 2006 : 73), dasar pertimbangan pelaksanaan asas tugas pembantuan antara lain :
a. Keterbatasan kemampuan pemerintah dan atau pemerintah daerah.
b. Sifat sesuatu urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan pemerintah daerah.
c. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan pemerintahan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah.
B. Sistem Pemerintahan Daerah
Sistem Pemerintahan Daerah Pada Masa Belanda
Struktur organisasi Pemerintahan pada Provinsi terdiri atas:
1. Gouverneur sebagai Kepala Pemerintahan,
2. College van Gedeputeerden (Dewan pemerintah),
3. Provinciale Raad (Dewan Perwakilan Provinsi)
Masa Pendudukan Jepang Berdasarkan UU.
No.
1) Pemerintah Balatentara Nippon Daerah pemerintahan militer Jawa dan Madura yang pimpinannya berkedudukan di Batavia (Jakarta) .
2) Daerah pemerintahan Sumatera dengan pusat pimpinannya di Bukittinggi.
3) Daerah pemerintahan Kalimantan (Borneo), Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku serta Irian Barat (Nieuw Guinea) dengan pusat pimpinannya berada di Makasar.
1. Badan-badan Pemerintahan Kabupaten terdiri atas:
1. Regent (Bupati), sebagai kepala pemerintahan, juga Ketua Raad sekaligus Ketua College.
2. College van Gecommiteerden,
3. Regentschaps Raad.
Pemerintahan Daerah Perubahan Jaman pendudukan Jepang, ditandai dengan ditetapkannya Undang Undang No. 27 yang berlaku secara efektif mulai tanggal 8 Agustus 1942 l it l A t Terbagi atas Syuu (Karesidenan), (Kota), Ken (Kabupaten), Gun (Kawedanan), (Kawedanan) Sen (Kecamatan) dan Ku (Desa)
Desentralisasi Jaman Kemerdekaan Berdasarkan UUD 1945: Undang-undang No. 1 tahun 1945 Masa Undang-undang No. 22 tahun 1948 Berdasarkan UUDS 1950 (Masa UndangUndang undang No. 1 tahun 1957) Berdasarkan UUD 1945: Penetapan Presiden 1959 No. 6 (Disempurnakan) Undang-Undang No. 18 tahun 1965.
Desentralisasi Menurut UU 18/1965 Pembagian Negara Kesatuan RI dalam Daerah-Daerah Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah Kekuasaan, Tugas dan Kewajiban Pemerintah Daerah Pembagian Daerah Kekuasaan Pemerintah Daerah Peraturan Daerah
Desentralisasi Menurut UU 19/1965 tentang :
Desapraja Pasal 7 UU 19/1965, menetapkan bahwa alat alat kelengkapan alat-alat Desapraja, terdiri dari:
1. Kepala Desa praja
2. Badan Musyawarah Desapraja
3. Pamong Desapraja
4. Panitera Desapraja
5. Petugas Desapraja
6. Badan Pertimbangan Desapraja
Hubungan Pusat dan Daerah Masa Penjajahan Belanda / Dibentuknya resort-resort (daerah-daerah lokal ) dengan peraturan yang ada terdiri :
1.
1. Ordonnantie Financieele Verhouding Java en Hubungan Pusat dan Daerah Masa kemerdekaan Undang – Undang No. 1 Tahun 1945 UU No. 22 tahun 1948 Berdasarkan UUDS 1950: UU N 1 t h B d k 1950 No. tahun 1957 Madura Stbl. No. 170 tahun 1938 (Peraturan tentang perimbangan Keuangan untuk Jawa dan Madura)
2. Stbl No. 169 tahun 193$ untuk Buitengewesten serta untuk Stadsgemeente Buitengewesten Stbl: 1939 No. 6 67.
3. Peraturan tentang pengelolaan penetapan Anggaran Propinsi yaitu Staatsblad tahun 1936 No. 432 dan petunjuk pelaksanaannya dalam Bijblad No. 13678.
Hubungan Pusat dan Daerah Berdasar UUD 1945: 1959 - 1966 1945 Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 18 tahun 1965: Hubungan Wewenang dan Kekuasaan Daerah Ketentuan Umum tentang Pemerintahan Daerah Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus Pembagian Urusan Pemerintahan
Ketentuan Umum tentang Pemerintahan Daerah NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi, daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing masingmasing mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluasj luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Asas otonomi dan tugas pembantuan: Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa. desa Daya saing daerah: Kombinasi antara faktor kondisi ekonomi daerah, kualitas kelembagaan publik daerah, SDM, dan teknologi, yang secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan daerah lain. Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
Pembentukan Daerah Hubungan administrasi adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara.Hubungan kewilayahan adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah NKRI. Dengan demikian, wilayah daerah merupakan satu kesatuan wilayah negara yang utuh dan bulat.
Tujuan: Meningkatkan pelayanan publik Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.
Faktor pertimbangan: kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
Kawasan Khusus Kawasan strategis yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan dan pertahanan dan keamanan. Dalam kawasan khusus diselenggarakan fungsifungsi pemerintahan tertentu sesuai kepentingan nasional. Kawasan khusus dapat berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan industri, bebas, kegiatan dan sebagainya.
Urusan Pemerintahan
1. Kewenangan Pemerintah Politik luar negeri Pertahanan Keamanan Moneter Yustisi Agama.
2. Kewenangan Pemerintah Daerah Urusan wajib Urusan pilihan
3. Kewenangan yang Concurrent Dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kriteria Kewenangan yang Concurrent Eksternalitas: Pertimbangan dampak/akibat yang ditimbulkan Akuntabilitas: Pertimbangan tingkat pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani Efisiensi: Pertimbangan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.
Urusan Wajib Pemda Provinsi
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum.
5. Penanganan bidang kesehatan.
2. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
3. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota.
4. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota.
Urusan Wajib Pemda Kabupaten/Kota
1. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/ kota.
2. Pengendalian lingkungan hidup.
3. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota.
4. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil.
5. Pelayanan administrasi umum pemerintahan.
6. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota.
7. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota.
Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan.
2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. mas arakat
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum.
5. Penanganan bidang kesehatan kesehatan.
6. Penyelenggaraan pendidikan.
7. Penanggulangan masalah sosial. sosial
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan.
9. Hubungan antara Pemerintah dan Pemda
10. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah.
11. Pengendalian lingkungan hidup.
12. Pelayanan pertanahan.
13. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil.
14. Pelayanan administrasi umum pemerintahan.
15. Pelayanan administrasi penanaman modal.
16. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
17. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Bidang Keuangan
1. Pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemda.
2. Pengalokasian dana perimbangan kepada Pemda.
3. Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada Pemda.
Bidang Pelayanan Umum
1. Kewenangan,
1. Kewenangan tanggung jawab, dan penentuan standar jawab pelayanan minimal.
2. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah.
3. Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
Hubungan antar pemerintahan Daerah Bidang Pemanfaatan SDA dan Sumber Daya Lainnya
1. Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian.
2. Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
3. Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Bidang Keuangan
1. Bagi hasil pajak dan nonpajak antara Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota.
2. Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama.
3. Pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah. Pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.
Bidang Pelayanan Umum
1. Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah.
2. Kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
3. Pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
Kewenangan Daerah untuk Mengelola Sumber Daya di Wilayah Laut Bidang Pemanfaatan SDA dan Sumber Daya Lainnya
1. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah.
2. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah.
3. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. laut
2. Pengaturan administratif.
3. Pengaturan tata ruang.
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan
6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Hak Daerah
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
2. Memilih pimpinan daerah.
3. Mengelola aparatur daerah.
4. Mengelola kekayaan daerah.
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Pemerintahan Kepegawaian Daerah Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Kewajiban Daerah
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan NKRI.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi.
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan.
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan. pendidikan
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan.
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah.
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah.
11. Melestarikan lingkungan hidup.
12. Mengelola administrasi kependudukan.
13. Melestarikan nilai sosial budaya.
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Tugas dan Wewenang KDH dan Wakil KDH
1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
2. Mengajukan rancangan Perda.
3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
5. Mengupayakan terlaksananya daerah akan kewajiban daerah.
6. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Kewajiban KDH dan wakil KDH
1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD NKRI Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI.
2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
3. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
4. Melaksanakan kehidupan demokrasi.
5. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.
6. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.
8. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah.
10. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah.
11. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD
Larangan bagi KDH dan Wakil KDH
1. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang keluarga kroni tertentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara / golongan masyarakat lain.
2. Turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/ daerah, atau dalam yayasan bidang apapun.
3. Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan.
4. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang / jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya. dilakukannya
5. Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain “mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk peraturan kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan undangan”.
6. Menyalah gunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya.
7. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pemberhentian KDH / wakil KDH
1. Diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan MA atas pendapat DPRD bahwa KDH / wakil KDH tidak lagi memenuhi syarat, melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban / melanggar larangan.
2. Pendapat DPRD di melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri diputuskan oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
3. MA wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima MA dan putusannya bersifat final.
4. Apabila MA memutuskan bahwa KDH / wakil KDH terbukti melanggar sumpah/janji jabatan / tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian KDH / wakil KDH kepada Presiden.
5. Presiden wajib memproses usul pemberhentian KDH / wakil KDH tersebut paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
2. Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/ kota. kota
3. Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Tugas dan Wewenang DPRD
1. Membentuk Perda yang dibahas dengan KDH untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan KDH.
3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang undangan lainnya perundang-undangan lainnya, peraturan KDH, APBD, kebijakan KDH APBD pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah.
Pemberhentian KDH/wakil KDH
1. Mengusulkan pengangkatan dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota.
2. Memilih wakil KDH dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil KDH.
3. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
4. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
5. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban 8 KDH dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
6. Membentuk panitia pengawas pemilihan KDH.
7. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan KDH.
8. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Hak DPRD
1. Hak Interpelasi. Hak DPRD untuk meminta keterangan kepada KDH mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.
2. Hak Angket. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu KDH yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang di duga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Hak menyatakan pendapat. Hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan KDH atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Hak Anggota DPRD
1. Mengajukan rancangan Perda.
2. Mengajukan pertanyaan pertanyaan.
3. Menyampaikan usul dan pendapat.
4. Memilih dan dipilih.
5. Membela diri.
6. Imunitas.
7. Protokoler.
8. Keuangan dan administratif
Kewajiban Anggota DPRD
1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang Undang Dasar Negara Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundangundangan.
2. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3. daerah Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
5. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
6. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
7. Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya.
8. Menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD.
9. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Perencanaan Pembangunan Daerah Keuangan Daerah Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan Perencanaan Pembangunan Daerah
1. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP daerah) untuk jangka waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional.
2. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJM daerah) untuk jangka waktu 5 tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program KDH yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional.
3. RPJM daerah memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
4. Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu satu tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah.
5. RPJP daerah dan RJMD ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Satuan Kerja Perangkat Daerah Menyusun rencana stratregis yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD Memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya Berpedoman pada RPJM Daerah dan bersifat indikatif. Renstra-SKPD dirumuskan dalam bentuk rencana kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Data dan informasi sebagai dasar perencanaan:
1. Penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2. Organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah, termasuk kecamatan, kelurahan, dan desa. KDH, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah.
3. Keuangan daerah.
4. Potensi sumber daya daerah.
5. Produk hukum daerah. daerah Kependudukan.
6. Informasi dasar kewilayahan.
7. kewilayahan Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah

Keuangan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu: Hasil Pajak Daerah. Hasil Retribusi Daerah. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerjasama dengan pihak ketiga Lain-lain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah.
Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari:
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan.
2. Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan.
3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari APBN yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK.
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah antara lain sah, hibah atau dana darurat dari Pemerintah.
2. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:
1. Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan. bersangkutan
2. Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
3. Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang pungutan pengusahaan perikanan dan dihasilkan dari penerimaan penerimaan pungutan hasil perikanan.
4. Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
5. Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
6. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Dana Alokasi Umum
 DAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.
 DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan
 Formula dan penghitungan DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-Undang. Dana Alokasi Khusus Mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional. Mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh Pemerintah dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Gubernur. Penyusunan kegiatan khusus yang diusulkan daerah dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan.
BAB III

A. Kesimpulan
Berdasarkan pasal 1 huruf d UU No:22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dikatakan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi. lni berarti pemerintahan daerah terdiri dari dua unsur yaitu : eksekutif dan legislatif. Sedangkan yang dikatakan Pemerintahan daerah menurut pasal 1 huruf b UU No:22 Tahun 1999 adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.Menurut pasal 6 UU No: 22 Tahun 1999, Perangkat Daerah terdiri atas sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga teknis daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Mengacu pada UU No: 22 Tahun 1999, maka unsur-unsur Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Kesemua unsur tersebut merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikatakan sistem pemerintahan daerah adalah semua komponen atau unsur yang terdapat dalam Pemerintahan Daerah (PerangkatEksekutif dan Legislatif Daerah) yang saling berhubungan dan salingmempengaruhi atau tergantung (dependent) dan bekerjasama dalamme njalankan fungsinya (tugas dan wewenang) dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan daerah.Untuk melaksanakan fungsi dari masing-masing unsur atau komponen diperlukan pula peraturan perundang-undangan yang merupakan salah satu unsur dari sistem Pemerintahan Daerah. Sejak wilayah Nusantara ini memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, menjadi negara kesatuan yang berbentuk Republik, yaitu Negara Republik Indonesia dalam satu pemerintahan Negara Republik Indonesia.Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak saja memiliki wilayah yang luas,penduduk yang besar jumlahnya, tetapi juga mempunyai sosial budaya yang majemuk dan terdiri dari 360 suku bangsa (Hildred Geerts, 1984)Untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang demokratis dan mampu melayani kepentingan setiap masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan pusat, maka perlu dibentuk suatu pemerintahan yang otonom di daerah-daerah.Dasar pembentukan Pemerintahan Daerah telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 18 yang berbunyi: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalamsistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalamketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan OtonomiDaerah: Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Untuk menindaklanjuti pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pemerintahan daerah sebagaiberikut.Peraturan Perundang-Undangan Pemerintahan daerah yang pernah dibuat sejak Indonesia merdeka sampai sekarang (1999).
1. UU No: 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah daerah.
2. UU No: 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan daerah
3. UU No: 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah daerah.
4. Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan Penpres No.5 Tahun 1960 tentang penekanan dekonsentrasi pada Pemerintahan daerah.
5. UU No: 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan daerah
6. TAP MPRS No. XXI /MPRS/1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.
7. UU No:6 Tahun 1966 tentang pernyataan tidak berlakunya UU No:18 Tahun 1965.
8. TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, dimana isinya menolak TAP MPRS No. XXI / MPRS / 1966.
9. UU No:5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
10. UU No:5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
11. TAP MPR No. XV / MPR / 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
12. UU No:22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
13. UU No: 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah.
Dilihat dari peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat tentangPemerintahan daerah, menunjukkan bahwa sistem Pemerintahan daerah diIndonesia sangat labil. Hal ini akan menyulitkan bagi aparatur di daerah dan menjalankan pemerintahan di daerah .
Guna terciptanya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjamin pemberian pelayanan kepada masyarakat dengan baik, maka diperlukan keseimbangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sehingga dapat diharapkan dapat memperkecil kesenjangan antar daerah (fungsi utama Dekonsentrasi).
Dengan demikian untuk pelaksanaanya diperlukan pemahaman yang sama terhadap asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut, baik oleh unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, DPRD lebih-lebih oleh masyarakat.














DAFTAR PUSTAKA


 Ni’matul Huda,2007. Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
 HAW. Widjaja,2008. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.
 http://www.dadangsolihin.com/sistem-pemerintahan-daerah.html
 http://library.usu.ac.id/download/fisip/admnegara-zakaria2.pdf.html
 http://www.NiasIsland.com