M. Kurniawan Ginting dan Diding Sakri
Disampaikan pada Forum Diskusi Interseksi, “Civil Rights dan Demokratisasi: Pengalaman Indonesia II”, (27-29 Januari 2003, Kuningan, Jawa Barat)
Pengantar
Hidup sebagai bangsa dan negara adalah hidup dinamis yang perlu terus menerus ditinjau sambil dijalankan. Kesadaran adalah tujuannya. Kesadaran adalah kondisi ketika peninjauan atau refleksi yang kita lakukan bertemu dengan praktik, berbangsa dan bernegara yang tidak jauh atau semakin mendekati hakikat yang harus dicapai. Meninjau atau merefleksikan praktik hidup berbangsa dan bernegara adalah pekerjaan penting bernegara. Setiap individu sebaiknya melakukannya.
Berbicara tentang hakikat hidup berbangsa dan bernegara, ada beberapa isu mendasar yang perlu diperhatikan, yaitu faham kebangsaan, kemanusiaan, negara hukum atau negara kekuasaan, keadilan sosial, dan kedaulatan rakyat. Untuk memahami persoalan mendasar tersebut, kita acap membutuhkan tuntunan pemikiran dari para filosof. Kita kenal Plato dengan faham negara yang harus dipimpin oleli filosof, Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa wewenang negara hilang apabila bertindak menyalahi hukum kodrat. Selain itu, ada Hobbes yang mengharapkan keselamatan manusia dari negara dengan kekuasaan mutlak, Locke yang mengajarkan faham negara konstitusional, Hegel yang mendewakan negara, Marx yang mengkritik negara kelas, sampai pada Stuart Mill yang sadar akan bahaya diktatur massa dalam demokrasi modern.
Kedaulatan Rakyat
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
Aplikasi Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Perwakilan Rakyat dalam UUD'45
Secara substansial, UUD'45 mengandung kelemahan dalam menjelaskan dan mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat.[1] UUD'45 memang mencantumkan adanya kekuasaan tertinggi ditangan rakyat yang akan dilakukan sepenuhnya oleh sebuah Majelis Perwakilan Rakyat[2] (Pasal 1 ayat 2), namun terdapat ketidakjelasan mengenai:
a. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggota DPR; mewakili siapa atau mewakili aspirasi apa sesungguhnya anggota DPR yang dimaksuddalam pasal tersebut.
b. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggota Utusan Daerah dalamMPR
c. kriteria serta proses keanggotaan untuk anggotaUtusaGolongan dalam MPR
d. ketidakjelasan a,b, c tentang komposisi jumlah keanggotaan serta bentuk pertanggungjawabannya
Padahal sebagai lembaga yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ketidakjelasan ini tentu saja menguntungkan penguasa yang dapat mengintrerpretasikan kekurangan UUD'45 sesuai dengan keinginannya. Disinilah bangsa Indonesia berjudi. Pengejewantahan Kedaulatan rakyat di Indonesia tergantung terhadap moralitas penguasa dalam mengintepretasikan kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD'45.
Sejarah keberadaan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat baru dimulai sejak Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.' Sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, MPR belum pemah terbentuk karena kesibukan pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) atau karena UUD'45 tidak digunakan lagi sebagai konstitusi negara Indonesia (1949-1959). Sementara itu, pemahaman bagaimana mewujudkan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat seperti yang diamanatkan UUD'45 berbeda antara rezim yang satu dengan rezim yang lainnya. Berbeda pada periode Dernokrasi Terpimpin 1959-1965 dan periode Demokrasi Pancasila 1966-1998, dan berbeda pula pada paska Orde Baru.
Dalam periode demokrasi terpimpin, seluruh anggota MPR dipilih dan diangkat oleh Presiden. Pada masa ini, tidak ada pemilihan umum yang memang tidak disebutkan dalam UUD'45. Presiden dalam hal ini mengambil seluruh peran masyarakat dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Majelis perwakilan. Pemberian peran rakyat dalam memilih wakil-wakilnya melalui Pemilu baru diberikan pada masa demokrasi Pancasila dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Dari total 1000 anggota MPR, 400 anggota MPR dipilih rakyat dan 600 dipilih langsung oleh Presiden atau sebagai bagian penugasan dari eksekutif (Utusan Daerah) atau penugasan dari ABRI. Dalam Era Pasca Orde Baru, jumlah wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum ditingkatkan dari 400 menjadi 462 anggota DPR/MPR. Sementara itu, keberadaan TNI/POLRI di DPR masih dipertahankan walaupun jumlahnya dikurangi dari 75 menjadi 38 orang. Pemahaman mengenai Utusan Daerah dan Utusan Golongan masih juga mengalami perubahan. Pada era ini, Utusan Daerah dipilih oleh DPRD, tidak lagi melalui Muspida, dan Utusan Golongan dipilih oleh KPU (lembaga penyelenggara pemilihan umum dan bersifat ad hoc), tidak lagi ditunjuk dan dipilih langsung oleh Presiden.
Terlalu banyaknya penafsiran yang bisa dilakukan terhadap UUD'45 dengan gejolak sosial politik; yang selalu menyertainya, menyebabkan tekanan untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara Indonesia sesuatu yang tidak terhindarkan. Maka sejak, tahun 1999 melalui Sidang Umum MPR dilakukan amandemen pertama UUD'45 hingga amandemen keempat melalui Sidang Umum MPR tahun 2002. Amandemen kesatu hingga keempat tersebut membawa perubahan terhadap pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia.
MPR berdasarkan UUD'45 yang telah diamandemen masih memegang peranan yang sangat penting dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Walaupun fungsinya sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat telah digantikan oleh UUD (Pasal 1 ay at 2 UUD'45 yang telah diamandemen). Namun sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD (pasal 3 ayat 1 UU'45 yang diamandemen) secara tidak langsung, MPR masih berperan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, jaminan untuk dapat mendudukan wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat menyampaikan aspirasi rakyat sangatlah diperlukan.
MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum (pasal 2 ayat 1 UUD'45 yang diamandemen). Artinya tidak ada lagi anggota perwakilan rakyat yang tidak berasal dari proses pemilihan umum seperti selama ini terjadi. Begitu pula dengan Presiden yang selama ini dipilih melalui MPR juga secara langsung dipilih oleh rakyat. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan peran rakyat yang diberikan UUD'45 hasil amandemen dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di pemerintahan.
Namun adanya pemilihan umum belum lah menjamin rakyat dapat benar benar memilih wakil yang dipercayainya. Selarna ini, dalam proses pemilihan umum, kecuali pemilu 19§5, rakyat hanya memilih partai. Partai lah yang akan menentukan siapa yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini, seringkali menyebabkan rakyat tidak tahu siapa orang yang mewakilinya di lembaga perwakilan. Untuk itu, pemilihan umum seharusnya tidak membatasi rakyat hanya memilih partai namun sekaligus memilih orang yang akan mewakilinya.
Pengaturan sistem pemilihan umum diatur dalam UU pemilu. Saat ini, Panitia Kerja DPR sedang melakukan penyusunan UU Pemilu yang akan digunakaii dalam Pemilihan Umum 2004. Sistem Proporsional Tertutup (closed list) seperti yang selama ini dilakukan tetap menjadi pilihan bagi PDI-P. Sistem ini akan menguntungkan partai karena kekuasaan untuk memilih Orang yang akan duduk di DPR ada ditangan partai. Namun rakyat sebagai pemilih tentu akan dirugikan karena hanya mencoblos partai. Sementara itu, partai lainnya lebih mendukung Sistem Proporsional Terbuka (open list). Sistem ini akan memberikan peran kepada rakyat pemilih dalam memilih secara langsung orang-orang yang paling dipercayainya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat. Tentu saja diantara dua pilihan di atas, harapan lebih tertuju kepada Sistem Proportional Terbuka.
Pembatasan Kekuasaan (penyelenggara) Negara[3]
Apa yang dimaksud dengan pembatasan kekuasaan penyelenggara negara? Kenapa ini diperlukan? Bagaimana ini dilakukan? Terakhir, bagaimana negara kita menjawab ketiganya?
Jawaban untuk pertanyaan pertama dan kedua. Masih dalam faham kedaulatan rakyat, sekali lagi ditegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat. Negara hadir sebagai aksiden dari sebuah sebab efektif adanya rakyat yang berkehendak untuk bernegara. Bernegara dipilih sebagai suatu cara sadar untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyat. Untuk menjamin keefektifan (terpenuhinya kebutuhan rakyat), dimandatkanlah suatu otoritas kepada negara. Otoritas ini hanya lah otoritas tingkat kedua. Otoritas ini tidak boleh melebihi otoritas sumbernya. Disini lah awal lahirnya kekuasaan negara yang terbatas.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga. Konsep pembatasan kekuasaan negara yang sering dirujuk adalah konsep trios politika atau tiga pembagian kekuasaan, dari Charles Louis de Secondant Baron Montesquieu (1687-1755). Yaitu konsep pembagian kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislative adalah kekuasaan untuk membentuk undang-undang, eksekutif untuk menjalankannya, dan yudikatif kekuasaan untuk mengadili.
Menurut Montesquieu, pembagian tiga kamar kekuasaan ini dilakukan untuk menjamin adanya kemerdekaan. Dikatakannya:
”Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan...juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan eksekutif dan legislative. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kawula negara akan dikuasai oleh pengawasan sukahati, oleh sebab hakim, akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-gaianya apabila orang-orang yang itu juga, atau badan yang itu juga, yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu...[4]"
Demikian adalah landasan konseptual, tujuan, dan jenis pembagian kekuasaan sebagai upaya membatasi kekuasaan penyelenggara negara. Bagaimana (konsep ini dipraktikkan) di Indonesia?
Pada dasarnya, konsep pembatasan kekuasaan penyelenggara negara yang ada di Indonesia merupakan varian dari konsep trias politica. Pembagian kekuasaan ke lembaga-lembaga negara bertujuan untuk menjaga kesermbangan kekuasaan sehingga tidak ada lembaga yang paling kuat. Berikut akan diuraikan pembagian kekuasaan penyelenggara negara berdasarkan UUD'45 dan UUD'45 yang telah diamandemen.
Pembagian kekuasaan di UUD'45
Dalam UUD'45, kekuasaan legislatif dimiliki oleh DPR, kekuasaan eksekutif dilaksanakan dibawah pimpinan Presiden, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung (MA). Baik DPR, Presiden maupun Mahkamah Agung tennasuk dalam lembaga t±nggi negara yang ada di Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) yang bertugas memeriksa keuangan negara dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang merupakan badan penasihat bagi Presiden juga tennasuk ke dalam lembaga tinggi negara dan sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Adanya pembagian kekuasan, kesejajaran, dan hubungan di antara ke lima lembaga tinggi negara tersebut diharapkan dapat menciptakan keseimbangan pelaksanaan kekuasaan negara.
Namun di atas kelima lembaga tinggi negara tersebut terdapat lembaga tertinggi negara yang merupakan representasi sepenuhnya kedaulatan rakyat. Lembaga tertinggi negara tersebut yaitu MPR menjadi superbody dalam kehidupan bemegara di Indonesia. Presiden yang merupakan pimpinan lembaga eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh MPR. Sementara itu, seluruh anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Hal ini dapat menyebabkan kesejajaran yang ada di lembaga tinggi negara menjadi terganggu.
Pembagian kekuasaan di UUD'45 yang telah di Amandemen
Terjadi beberapa perubahan dalam pembagian kekuasaan penyelenggaraan negara setelah UUD'45 diamandemen hingga yang keempat kalinya. Perubahan pertama, tidak adanya lagi pasal yang menyebutkankan MPR sebagai pelaksana kedaulatan sepenuhnya rakyat (walaupun masih ada secara tersirat). Kedua, Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif dipilih langsung oleh rakyat sehingga bertanggung jawab secara langsung oleh rakyat dan hanya dapat diberhentikan apabila melanggar UUD '45. Ketiga, DPA dileburkan ke dalam wilayah kekuasaan eksekutif. Keempat, Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Kesimpulan
Pada dasarya, kedaulatan melekat (inherent) dengan pemegang kedaulatan. Maka, kedaulatan rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari rakyat Indonesia. Ada atau tidaknya sebuah konstitusi seharusnya tidak menambah atau mengurangi kedaulatan itu sendiri. Hanya saja oleh karena kompleksitas kehidupan bernegara, maka kedaulatan rakyat itu diusahakan untuk diatur dalam konstitusi negara. Konstitusi tersebut merupakan alat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat namun bukan sumber dari kedaulatan. Karenanya, tidak pernah ada istilah kedaulatan rakyat adalah salah oleh karena melanggar konstitusi.
Seperti telah diuraikan, UUD'45 yang tidak secara jelas mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat menyebabkan penguasa acap mempunyai kesempatan mengintrepertasikan kedaulatan rakyat menurut kepentingan penguasa. Akibatnya adalah timbulnya penindasan terhadap rakyat yang berakhir dengan gejolak sosial politik. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia mencatat beberapa kali kejatuhan penguasa setelah rakyatnya merasa tidak merasa cocok lagi dengan penguasa tersebut.
Dalam konteks kedaulatan rakyat, tidak ada salahnya penjatuhan penguasa secara paksa oleh rakyat tanpa melalui cara-cara konstitusional. Kedaulatan rakyat di atas konstitusi itu sendiri. Hanya saja, acap hal ini memerlukan biaya sosial politik yang cukup mahal. Karenanya, menyempurnakan UUD'45 menjadi hal yang tidak dapat ditolak. Dengan memperbaiki aturan main melalui konstitusi diharapkan aspirasi rakyat dapat terpenuhi tanpa harus menggunakan jalur-jalur "inkonstitusional".
Hanya sayangnya, masyarakat masih kurang dalam mengawal penyempurnaan UUD'45 melalui SU MPR yang telali dilakukan beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu mengandung resiko di mana upaya perbaikan konstitusi akan dikotori jual beli politik. Karena bagaimanapun, MPR yang melakukan penyempurnaan UUD'45 merupakan orang-orang yang dihasilkan dari sistem politik yang lama.
Kalau kita bandingkan, aksi-aksi masyarakat untuk menjatuhkan Presiden atau menuntut penuruhan harga BBM, tarif listrik dan telepon, seperti yang saat ini masih berlangsung, akan kelihatan lebih besar dan gagah dibandingkan dengan aksi-aksi dalam mengawal penyempurnaan UUD'45. Kalau saja, energi aksi untuk mengawal penyempurnaan UUD'45 sebesar dengan energi aksi dalam menjatuhkan presiden atau penuntutan penurunan harga BBM, tarif listrik, dan telepon, UUD'45 yang dihasilkan akan lebih baik dalam menjamin kedaulatan rakyat dibandingkan yang ada pada saat ini.
Begitu pula, terhadap pengawalan kinerja Panitia Kerja UU Pemilu DPR yang saat ini masih berlangsung. Padahal UU Pemilu ini akan mengatur sistem pemilihan, kriteria, dan komposisi wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga pemerintahan. Setidaknya UU ini akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2004.
Secara sadar kita harus mengakui, bahwa aksi-aksi demonstrasi acap bersifat reaksioner dan terjebak pada isu-isu populis seperti menuntut turunnya presiden dari jabatannya. Padahal seringkali sumber permasalahan tidak hanya ada pada penguasa namun terutama disebabkan oleh konstitusi yang sudah tidak dapat lagi menjamin terciptanya kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, penyempurnaan konstitusi ataupun penyusunan UU terutama yang akan berpengaruh terhadap kepentingan publik harus mendapat pengawalan ketat dari masyarakat. Disamping, tentunya, tetap mempertahankan gerakan dan himbauan moralitas.
Daftar Rujukan:
Hoffer, Eric (1951). The True Believer. Mentor Books, The New American Library of World Literature. New York, USA.
Kompas (1999). Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi Dominasi Negara. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta, Indonesia.
Noer, Deliar (1997). Pemikiran Politik di Negeri Barat. Mizan Media Utama. Bandung, Indonesia.
Ranadireksa, Hendarmin (2002). Amandemen UUD 45: Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat. Tim Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Indonesia.
Suseno, Franz Magnis (1992). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta, Indonesia.
[1]Menurut Salman Luthan (Kompas: 1999) ada empat kelemahan UUD 45 (sebelum amandemen). Pertama, terlalu menekankan pada pendekatan fungsional dalam penegakan hukum dan mengabaikan pendekatan sistemik dalam pembuatan peraturan. Pendekatan fungsional menekankan peran penyelenggara negara khususnya presiden, dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Sedangkan pendekatan sistemik lebih menonjolkan sistem ketatanegaraannya. Sikap UUD 45 yang demikian terlihat secara eksplisit dalam penjelasan UUD 45. Disebutkan bahwa yang penting dalam hal hidupnya negara adalah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Kedua, tidak memberikan batasan tegas terhadap kekuasaan presiden, khususnya pembalasan masa jabatan presiden. Ketentuan pasal 7 hanya menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketiga, terlalu mendelegasikan kepada badan pembentuk undang-undang untuk menetapkan substansi aturan pokok yang dirumuskan oleh UUD 45. Beberapa ketentuan yang substansinya dirumuskannya dalam undang-undang adalah, misalnya, susunan keanggotaan MPR (pasal 2 ayat 1), susunan keanggotaan DPR (pasal 19), susunan dan kekuasaan badan kehakiman (pasal 24), dan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran (pasal 28). Keerapat, materi pokok yang seharusnya diatur dalam UUD 45 ternyata tidak diatur lengkap. Sebagai contoh adalah materi tentang HAM dan ketentuan Indonesia sebagai negara hukum.
[2]MPR sendiri terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah anggota Utusan Daerah untuk menyampaikan aspirasi daerah dan anggota Utusan Golongan sebagai representasi golongan-golongan yang ada di Indonesia (pasal 2 ayat 1).
[3] Dalam tulisan ini pembatasan kekuasaan dibahas pada bagian Horizontal yaitu antar lembaga pemyelenggara negara. Sementara itu, pembatasan secara Vertikal yaitu antara pemerintah pusat dengan daerah tidak dibahas. Sebagai catatan, sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, maka di Indonesia telah pula berlaku pembagian kekuasaan vertikal tersebut, melalui desentralisasi kewenangan pemerintahan.
[4] De I’Esprit des Lois, bagian XI, bab ke 6-7, sebagaimana dikutip dalam Noer (1997: 136).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar