Minggu, 30 Januari 2011

FEODALISME MENUMBUHKAN MENTAL MISKIN

Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakatyang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor – sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai – nilai budaya yang dinut leh masyarakat. salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa – apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan. Soluisnya adalah dengan menanamkan budaya egaliter dan demkrasi secara utuh. Dengan hal itu akan memberi kesempatan setiap individu untuk dapat berkreasi dan tidak selalu terbelenggu oleh perintah atasan. Keyword: Kemiskinan dan Feodalisme



Latar belakang

Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya masalah – masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi hantu yang terus membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Tanah yang subur, tambang yang yang melimpah, serta berbagai hasil alam yang kaya menjadi kekuatan bangsa ini. Kekayaan yang dimiliki menjadi modal yang besar bagi bangsa ini untuk mencapai suatu kemakmuran dan kesejahteraan yang juga telah diamanahkan dalam UUD 1945. Berbagai hasil dari bumi Indonesia seharusnya menjadikan bangsa ini serta rakyat Indonesia menjadi kaya. Pengelolaan yang maksimal akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kaya dan terbebas dari kemiskinan.
Realitas yang ada pada bangsa ini ternyata tidak demikian. Bangsa ini justru menjadi bangsa yang tidak dapat keluar dari kemiskinan. Hal ini ditunjukan dengan masih banyaknya masyarakat yang berada dalam kemiskinan. Masyarakat Indonesia masih banyak yang kelaparan, tidak mendapat pendidikan, dan hidup dalam keterbatasan. Hal ini jelas menunjukan bahwa masyarakat mengalami suatu keadaan miskin
.
Berbagai faktor telah diteliti oleh berbagai pakar mengenai penyebab dari kemiskinan tersebut. Dimana faktor yang menyebabkan kemiskinan salah satunya adalah faktor kebudayaan. Faktor kebudayaan menjadi bagian yang cukup membawa pengaruh masyarakat hidup dalam kemiskinan. Hal ini memang dikarenakan kebudayaan menjadi suatu bagian yang penting dan melekat bagi masyarakat serta menjadi pedoman dalam kehidupannya. Sehingga apa yang ada dalam beudaya masyarakat itu selalu diikuti dan bahkan tidak dikritisi.
Salah satu faktor budaya yang menyebabkan kemiskinan adalah budaya feodalisme. Feodalisme ini merupakan suatu faham atau system yang selalu berorientasi ke atas. Sehingga apa yang dilakukan atau diperintahkan atasan selalu diikuti dan bahkan untuk mengatakan benar atau salah juga mengikuti atasan. Budaya feodalisme ini sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena memang merupakan warisan dari zaman kerajaan yang menganut system patron – klien.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas perumusan masalahnya antara lain:
a. Bagaimana feodalisme menyebabkan masalah kemiskinan?
b. Bagaimana solusi mengatasi maslah kemiskinan ?



PEMBAHASAN

Kemiskinan

Kemiskian menjadi isu yang sangat penting dalam dunia moder ini. Kemiskinan sendiri mempunyai pengertian yang luas. Menurut Parsudi Suparlan dalam Mustofa (2005: 43) kemiskinan secara singkat dpat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah tersebut Nampak langsung pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moran dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.
Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan penduduk miskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungan uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Kemisinan kultural menjadi jenis kemiskinan yang sangat sulit untuk cepat diperbaiki. Karena hal in terkait dengan msalah kebudayaan yang telah melekat dalam suatu masyarakat yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Kemiskinan cultural disebabkan oleh nilai – nilai yang ada dalam masyarakat yang menghambat msyarakat itu untuk berkembang dan maju. Dan kemiskinan ini masih banyak dijumpai di Indonesia.

Feodalisme Sebagai Penyebab Mental Miskin

Istilah feodalisme mengacu pada kalangan aristokrat atau keluarga kerajaan Inggris pada saat Negara ini menjadi Negara adi daya. Dalam konteks lokal Indonesia sering dikenal dengan ningrat atau priyayi terutama dalam kalangan masyarakat Jawa. Hal ini yang telah dijelaskan oleh Cliford Geertz dalam Santri, Abangan, Priyayi. Feodalisme telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat Jawa. Feodalisme ini mau tidak mau telah ada dan erat dengan masyarakat terlebih lagi pada masyarakat desa.
Feodalisme ini tercermin dengan nilai yang ada dalam masyarakat yang terlalu berorientasi pada atasan, pada senior dan ke orang – orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan yang tinggi, yang selalu diminta restunya setiap kali akan melakukan usaha atau kegiatan. Sehingga dalam hal ini masyarakat dalam melakukan sesuatu selalu bergantung pada atasannya.
Kungkungan budaya feodalisme (paternalisme) yang sejak dulu ada telah menggerogoti nilai-nilai egaliter dan demokrasi berbangsa dan bernegara. Sapaan bung dan saudara berganti menjadi bapak dan ibu. Orang masih muda kita panggil bapak karena pangkatnya lebih tinggi. Terhadap sesama teman sejawat kita rikuh menyebut saudara karena takut menyinggung perasaan. Termasuk, bangkitnya neofeodalisme berupa penelusuran identitas pribadi sebagai keturunan bangsawan, dianggap penting bagi seseorang untuk mengangkat harkat dan kewibawaan.
Praktek Feodalisme telah mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Feodalisme merupakan salah satu nilai yang dalam hal ini menyebabkan mental miskin. Karena dengan budaya feodalisme yang ada di dalam masyarakat mengakibatkan masyarakat menjadi selalu tersubordinasi oleh atasan, senior, ataupun orang yang dituakan. Sehingga daya juang dan daya saing masyarakat menjadi terkungkung oleh rasa segan, takut, dan rikuh. Masyarakat juga menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, senior, mereka akan mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam hal ini mental penjilat akan tumbuh subur dalam budaya feodalisme sehingga usaha sendiri untuk maju jarang dilakukan karena hanya berharap pada atasan.
Feodalisme juga menjadikan masyarakat sulit untuk mengembangkan kreatifitas dalam berusaha. Karena yang dilakukan selama ini hanya atas perintah atasan. Ini menjadikan masyarakat menjadi tertanan suatu mental miskin, yaitu mental yang tidak ingin maju, tidak suka bekerja keras, pemalas, dan suka menjilat. Feoadalisme juga manjadikan masyarakat mudah putus asa, menyerah pada keadaan karena mereka menganggap tidak dapat melakukan apa – apa, yang bisa hanya atasan, senior dll.
Praktek feodalisme masih banyak berkembang dalam masyarakat pedesaan. Dimana sebagian besar lebih memilih menjadi buruh yang “mengekor pada majikan”, karena mereka mengangap majikanlah yang paling berkuasa dan paling dihormati sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh dari pada melakukan usaha sendiri. Inilah yang mengakibatkan masyarakat desa selalu berada dalam keterbatasan karena tidak mau untuk melakukan yang lebih, dan hanya menurut pada atasan/majikan.


Solusi mengatasi kemiskina karena feodalisme

Feodalisme telah menjadi salah satu penyebab kemiskinan dan menjadi kendala bagi kemajuan masyarakat. Dari hal itu, ada hal yang dapat dilakukan agar feodalisme dapat dihilangkan yaitu: Menumbuhkan budaya egaliter. Masyarakat harus mulai meninggalkan feodalisme dan mengganti dengan budaya egaliter dimana setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama. Sehingga tidak ada lagi keharusan untuk selalu mengikuti atasan, dan dengan begitu ide, gagasan serta kreatifitas individu dapat terlihat tanpa harus takut, rikuh dengan atasan, senior atau penjabat. Masyarakat harus mulai berani menonjolkan diri tanpa rasa takut atau segan dengan atasan. Dengan hal itu maka kemampuan dari masing – masing individu dapat terlihat dengan maksimal. Selain menumbuhkan budaya egaliter, juga harus menumbuhkan rasa percaya diri. Masyarakat harus percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki tanpa harus merasa minder dengan senior, ataupun atasan.
Budaya egaliter yang ditawarkan juga harus diikuti dengan muai dikembangkannya masyarakat yang dekokratis secara utuh. Karena selama ini demokrasi yang di dengung – dengungkan masih belum secara utuh dilakukan, masih saja nilai – nilai feodal tumbuh dalam masyarakat. Dalam hal ini pemerintah harus membuka kesempatan kepa seluruh pihak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kemampuannya tanpa harus di takut – takuti dengan kekuasaan.
Dengan budaya egaliter serta demokrasi yang dilakukan secara konsisten maka feodalisme akan menghilang, dan kekebasab berkreasi dan berusaha akan terwujud sehingga secara langsung ataupun tidak akan mengurangi serta menghilangkan mental miskin yang cenderung senang diberi tanpa mau kerja keras.



SIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah budaya feodalisme karena feodalisme menjadikan masyarakat menjadi terkungkung oleh atasan. Sehingga kreatifitas individu menjadi tidak terlihat secara maksimal. Dengan begitu akan mulai tumbuh mental miskin yang tercermin dari sikapnya yang malas, tidak suka bekerja keras, dan senang menjadi “penjilat” penguasa. Solusi yang ditarkan adalah dengan budaya egaliter. Egalitarian akan membuat masyarakat akan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengakses seluruh bidang kehidupan. Dengan begitu maka secara perlahan masyarakat akan mulai terbuka dan tidak terkungkung oleh para atasan, senior, maupun penguasa.




DAFTAR PUSTAKA


Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Kebudayaan. Jakarta: PT. Gramedia
……………….1979. Manusia dan Kebudaayaan Indonesia.Jakarta: Jambatan.
Mustofa, M.S. 2005. Kemiskinan Masyarakat Petani Desa Di Jawa. Semarang: UNNES Press.