Selasa, 04 Mei 2010

MEMPERTEGAS SISTEM PRESIDENSIAL

Oleh: Janedjri M Gaffar

Salah satu diskursus publik yang mengemuka di era Reformasi, bahkan mewarnai konstelasi politik munculnya pasangan calon presiden dan wakil presiden, adalah mengenai sistem pemerintahan Indonesia.

Banyak pihak menyatakan bahwa terdapat ketidakjelasan sistem pemerintahan yang dianut dan dipraktikkan. Di satu sisi, sistem yang dikembangkan memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensial, tetapi di sisi lain jika dilihat dari sistem kepartaian yang multipartai, hal itu dianggap lebih dekat ke sistem parlementer.

DPR dipandang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan sering memasuki wilayah pemerintah. Pada saat MPR mulai melakukan pembahasan perubahan UUD 1945 pada 1999, salah satu kesepakatan dasar tentang arah perubahan adalah mempertegas sistem presidensial.
Mempertegas dalam hal ini juga meliputi penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan agar benar-benar memenuhi prinsip dasar sistem presidensial. Oleh karena itu diskursus publik yang mempertanyakan sistem pemerintahan yang kita anut sangat positif sebagai media evaluasi publik terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan serta sebagai landasan untuk menyempurnakan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan amanat UUD 1945.

Untuk itu, perlu ditelaah mengenai sistem pemerintahan, termasuk jenis-jenis dan dasar pembeda antara satu sistem dengan sistem lain.Telaah tersebut akan memberikan perspektif yang jelas tentang munculnya kritik terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan dan hubungannya dengan sistem kepartaian.

Sistem pemerintahan merupakan salah satu istilah utama dalam kajian ilmu politik dan ilmu hukum tata negara. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Faktor yang paling memengaruhi terjadinya pembedaan cara penyelenggaraan pemerintah adalah siapa atau lembaga apa yang memegang kekuasaan pemerintahan.

Dua sistem yang paling dikenal adalah sistem parlementer dan sistem presidensial. Selain kedua sistem tersebut,sebenarnya terdapat sistem lain, misalnya sistem campuran yang dipraktikkan di Prancis dan sistem kolektif seperti dipraktikkan di Swiss. Pembeda utama antara sistem parlementer dengan sistem presidensial adalah pemegang kekuasaan pemerintahan.

Dalam sistem parlementer yang memegang kekuasaan pemerintahan adalah parlemen. Perdana menteri dengan kabinet pemerintahan sesungguhnya adalah organ parlemen yang melaksanakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu seorang perdana menteri dan para menteri dapat merangkap, bahkan lazimnya, adalah anggota parlemen.

Dalam konstruksi demikian, wewenang pembentukan dan pembubaran pemerintahan sepenuhnya ada di tangan parlemen. Sistem parlementer tidak dapat dilepaskan dari pandangan supremasi parlemen sehingga dapat dipastikan bahwa negara yang menganut supremasi parlemen akan menganut sistem parlementer.

Salah satu konsekuensinya adalah tidak adanya pemisahan antara cabang kekuasaan legislatif dengan eksekutif. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan pemerintahan adalah presiden yang terpisah dengan kelembagaan parlemen.Pemisahan itu diperkuat dengan legitimasi politik yang sama antara presiden dengan parlemen, yaitu sama-sama dipilih oleh rakyat.

Dengan demikian dalam jabatan presiden juga terdapat unsur sebagai perwakilan rakyat, terutama untuk menjalankan pemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri yang sepenuhnya diangkat, diberhenti kan, dan bertanggung jawab kepada presiden karena pada prinsipnya semua jabatan-jabatan itu berada dalam satu organisasi,yaitu lembaga kepresidenan.

Sebagai lembaga penyelenggara pemerintahan yang terpisah dengan lembaga parlemen, semua jabatan dalam lembaga kepresidenan tidak dapat dirangkap oleh anggota parlemen. Oleh karena itu pada prinsipnya kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan presiden.

Peran DPR adalah pada wilayah pembentukan undang-undang, yang dilakukan bersama presiden, sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan itu serta aspek pengawasan. Segala urusan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari penentuan program pembangunan, alokasi anggaran, kebijakan pelaksanaan pemerintahan hingga pengangkatan pejabat-pejabat dalam lingkungan pemerintahan, merupakan wewenang presiden.

Namun, antara parlemen dan presiden atau dalam sistem presidensial lebih dikenal dengan istilah legislatif dan eksekutif tidak berarti tidak memiliki hubungan sama sekali. Sebaliknya, pemisahan kekuasaan antara keduanya sesungguhnya dibuat agar tercipta mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), tanpa mengganggu kedudukan presiden yang telah ditentukan secara pasti masa jabatannya (fix term), kecuali karena alasan pelanggaran hukum tertentu yang memenuhi syarat sebagai dasar impeachment sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Pertanyaan tentang sistem pemerintahan mengemuka pada saat kedudukan DPR semakin kuat. Presiden dinilai tidak sepenuhnya dapat menjalankan pemerintahan karena banyak hal yang ditentukan oleh DPR. Hal itu terjadi karena adanya beberapa ketentuan undang-undang yang mengharuskan adanya konfirmasi DPR untuk pengangkatan dan penerimaan jabatan pemerintahan tertentu seperti penerimaan duta dan konsul dari negara lain.

Selain itu, DPR juga dipandang terlalu dominan dalam penentuan kebijakan pemerintahan melalui mekanisme pembahasan RAPBN hingga satuan tiga serta melalui hak angket dan interpelasi untuk mengkritisi kebijakan tertentu.

Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa faktor melemahnya kedudukan presiden sehingga ada yang menilai seperti sistem parlementer adalah karena diterapkannya sistem multipartai. Sistem itu memungkinkan calon presiden dari partai yang tidak cukup kuat di DPR dapat terpilih. Konsekuensinya, presiden tidak cukup kuat pada saat harus berhadapan dengan DPR sehingga checks and balances tidak berjalan secara seimbang.

Untuk mempertegas penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial tentu diperlukan berbagai upaya, baik dari aspek hukum maupun aspek politik,sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam praktik pemerintahan. Upaya hukum adalah pada tingkat peraturan perundang- undangan yang mengatur kedudukan, wewenang, dan hubungan antara eksekutif dan legislatif.

Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan serta prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, perlu ditentukan batas wewenang dan hubungan antarkeduanya sesuai dengan semangat konstitusi. Hal yang merupakan wilayah pemerintah dikembalikan dan ditegaskan sebagai wewenang pemerintahan di bawah presiden, baik dalam hal perencanaan, penganggaran, penentuan kebijakan maupun pengangkatan jabatan-jabatan dalam lingkungan pemerintahan.

Demikian pula fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR harus tetap dapat menjamin terciptanya checks and balances tanpa mengganggu wewenang yang dimiliki oleh presiden, terutama dalam menjalankan pemerintahan. Terkait dengan sistem kepartaian, yang lebih terpengaruh kuat oleh sistem multipartai sesungguhnya adalah sistem parlementer.

Semakin banyak partai politik yang memiliki kursi di parlemen, akan semakin mudah terjadi pergantian pemerintahan sesuai dengan konstelasi politik di tubuh parlemen. Hal itu berbeda dengan sistem presidensial di mana pembentukan dan masa jabatan presiden tidak ditentukan oleh kekuatan dalam lembaga legislatif. Presiden mendapatkan mandat dan legitimasi dari rakyat melalui pemilu, bukan dari partai politik yang mengusungnya.

Legitimasi presiden bukan dari suara yang diperoleh partai politik pengusul pada saat pemilu legislatif, melainkan diperoleh dari suara rakyat pada saat pemilu presiden dan wakil presiden. Namun, dalam praktik politik dan penyelenggaraan pemerintahan tentu terdapat kaitan antara sistem kepartaian dengan sistem presidensial yang dijalankan.

Tidak dapat dimungkiri bahwa semakin besar partai pendukung presiden di DPR, hal itu akan memperkuat kedudukan presiden dan mempertegas sistem presidensial.Apabila tidak terlalu banyak partai politik, apalagi jika menganut sistem dua partai, kemungkinan dukungan terhadap presiden akan semakin besar.

Untuk menyederhanakan sistem kepartaian tentu tidak dapat dilakukan dengan menentukan secara rigid jumlah partai yang dibolehkan karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berserikat. Bahkan, di negara-negara yang selama ini dikenal dengan sistem dua partai pun sesungguhnya terdapat banyak partai politik, tetapi hanya dua partai yang memiliki kekuatan mayoritas (major party).

Penyederhanaan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum seperti persyaratan pendirian, persyaratan mengikuti pemilu, persyaratan untuk memperoleh kursi di DPR (parliamentary threshold) ataupun persyaratan perolehan suara untuk mengikuti pemilu selanjutnya (electoral threshold).

Instrumen itu harus dibuat untuk tujuan jangka panjang dan dilaksanakan secara konsisten dan tidak mudah diubah berdasarkan kepentingan sesaat. Penyederhanaan juga dapat dilakukan secara alami dengan mendorong terwujudnya koalisi jangka panjang antarpartai politik. Hal inilah yang terjadi di negara-negara demokrasi modern.

Di Amerika Serikat dan Inggris terdapat banyak partai politik, tetapi mereka telah membangun koalisi yang kuat dan mengutub pada dua partai besar. Di Malaysia,Barisan Nasional adalah koalisi dari banyak partai politik. Munculnya koalisi permanen jangka panjang tentu akan berjalan seiring dengan pendewasaan para tokoh politik dan modernisasi organisasi partai politik itu sendiri.

Penulis: Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Selasa 14 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar