Senin, 31 Mei 2010
Revolusi Permanen - Leon Trotsky
Revolusi Permanen - Leon Trotsky
Pertama kali sebuah buku karya Leon Trotsky, Permanent Revolution (Revolusi Permanen) terbit dalam bahasa Indonesia. Trotsky menulis buku itu tahun 1928 saat dia diasingkan oleh Stalin karena dianggap membahayakan kekuasaannya. Trotsky mengeritik kebijakan Stalin yang menjalankan revolusi demokratik dan menunda revolusi sosialis. Stalin lantas membungkam aktivitas Trotsky, melakukan propaganda anti Trotsky, memburu semua pengikutnya, dan melarang peredaran bukunya. Pengikut Trotsky ketika itu dimusuhi oleh semua gerakan kiri pengikut garis politik Stalin.
Ted Sprague yang berkedudukan di Montreal-Kanada menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Dia merasa perlu menerjemahkan buku itu untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan yang kerap dilakukan terhadap gagasan Revolusi Permanennya Trotsky.
“Saya melihat cukup banyak aktivis di Indonesia yang menentang ide revolusi permanen tanpa tahu apa ide revolusi permanen itu sebenarnya. Atau bahkan orang-orang yang mengaku tahu ide revolusi permanen, tetapi tidak pernah membacanya langsung dari karya Trotsky ini,” ujar Ted melalui wawancara jarak jauh. Dia berharap penerjemahan karya monumental ini melengkapi persenjataan ideologi gerakan di Indonesia, di mana ide Revolusi Permanen dapat memainkan peran yang penting di dalam gerakan Indonesia.
“Tetapi sumbangan Trotsky yang paling penting adalah usahanya untuk mempertahankan tradisi Revolusi Oktober dan ide Marxisme, walaupun ini berarti hilangnya nyawa dia dan keluarganya,” kata Ted.
Di Malang, peluncuran buku itu dihadiri oleh lebih dari 50 orang. Mereka terdiri dari mahasiswa dan buruh. Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) mempelopori peluncuran buku ini dengan menghadirkan dua narasumber; Jesus Syaiful Anam sebagai koordinator Hands off Venezuela dan Romo Robertus Wijanarko, dosen universitas Brawijaya. Diskusi berlangsung di Gedung IKA Brawijaya pada 3 Maret lalu.
Acara itu juga sekaligus meluncurkan Hands off Venezuela-Malang. Ini adalah sebuah perkumpulan anak muda yang simpati terhadap revolusi yang berlangsung di Venezuela. Mereka menggalang solidaritas di lebih dari 30 negara dengan cara menyebarluaskan fakta revolusi di Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez yang didukung segenap rakyatnya. Mereka berupaya menjadi media penyeimbang atas informasi yang dikuasai oleh media pendukung Amerika Serikat dan sekutunya yang tidak menginginkan revolusi Venezuela. Hands off Venezuela Indonesia sudah berkembang di Bandung dan Malang.
“Sosialisme di Venezuela tidak akan kokoh tanpa dukungan internasional,” kata Jesus Saiful Anam. Presiden Venezuela, Hugo Chavez juga menyerukan agar mempelajari Trotsky untuk jalan menuju sosialisme.
Robertus Wijanarko mengatakan, revolusi permanen Trotsky adalah cita-cita revolusi lintas negara.
“Kita sudah dikepung oleh jargon-jargon neoliberalisme melalui media massa dan lain-lain,” katanya. Wijanarko menilai buku itu layak dipelajari. Buku itu menyebarluaskan sosialisme yang berakar dari pemikiran Karl Marx yang diteruskan dan diterjemahkan oleh Lenin dan Trotsky.
Bagaimana pendapat Ted Sprague soal gerakan sosial di Indonesia dihubungkan dengan pemikiran Trotsky?
Menurut Ted, pada saat periode revolusiner 1960-an di Indonesia, teori Revolusi Permanen sangatlah konstektual. Pertama-tama yang harus selalu kita ingat adalah kaum imperialis dengan konco-konco lokalnya (Soeharto dan kroni) bertanggung jawab atas pembunuhan lebih dari satu juta rakyat Indonesia. Tetapi, itu hanya satu sisi saja. Sisi lainnya yang harus kita jawab adalah mengapa Partai Komunis Indonesia yang sangat besar itu bisa luluh lantak, mengapa rakyat pekerja dan petani di bawah kepemimpinan PKI tidak mengambil kekuasaan bila mereka sedemikian kuat. Ini karena kepemimpinan PKI saat itu menganut kebijakan dua-tahapnya Stalin, yakni bahwa tahapan revolusi Indonesia saat itu adalah revolusi demokratik dan ini harus dilakukan bersama dengan kaum borjuis nasional. Maka dari itu sosialisme tidak ada di agenda. Rakyat pekerja tidak boleh mengambil kekuasaan, petani tidak boleh merebut tanah mereka dari kaum tuan tanah. Revolusi demokratik ini tidak boleh menyentuh kepemilikan kaum borjuis nasional.
Kontradiksi-kontradiksi inilah yang akhirnya memberikan peluang bagi Soeharto dan kroni-kroninya untuk merebut kekuasaan dan menghancurkan PKI dan gerakan rakyat. Jadi, dalam konteks pemikiran Trotsky, teori Revolusi Permanen adalah anti-thesis dari teori dua-tahap. [end]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar