Gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (Maramis, 2005). Suatu kondisi sehat yang dihubungkan dengan kebahagiaan, kepuasaan, pencapaian, optimisme dan harapan. Klien dengan gangguan jiwa saat ini telah cukup tinggi yaitu 450 juta dari total populasi dunia teridentifikasi gangguan jiwa dengan berbagai spesifikasi dari mulai gangguan ringan sampai berat. Artinya 1 dari 4 orang mengalami gangguan jiwa dan diperkirakan 20 % individu akan mengalami gangguan jiwa. Dilaporkan juga bahwa hampir 340 juta orang didunia telah teridentifikasi depresi, 45 juta orang terdiagnosa Skizofrenia, dan 29 juta orang dementia. Gangguan mental mempunyai proporsi yang tinggi sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya. Hal ini akan semakin bertambah dari hari kehari (Data WHO, 2001).
Banyak masalah yang dihadapi oleh para pasien dg gangguan jiwa atau mantan pasien jiwa. Mereka harus menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungan dan masyarakat, baik dinegara maju atau dinegara berkembang. Stigma yang dihadapi oleh orang dengan gangguan mental dimanifestasikan dengan prasangka buruk, ketakutan, merasa bersalah, marah, ditolak dan dijauhi. Pelanggaran terhadap HAM dan kebebasan untuk menolak secara politik, ekonomi, sosial dan budaya merupakan issue penting diseluruh dunia, baik diinstitusi maupun komunitas. Kekerasan fisik, sexual dan psikososial adalah bagian hidup sehari-hari yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Selain itu hal lain adalah mereka sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil ketika bekerja/melamar/mendapatkan pekerjaan, kesulitan dalam mengakses pelayanan umum, asuransi kesehatan dan kebijakan tertentu. Banyak dari kejadian tersebut tidak terlaporkan karena adanya rasa bersalah dan kengganan (Arbaleda Flores, 2001). Oleh karena itu tidak mengherankan bila Federasi Kesehatan Dunia berkali-kali menghimbau banyak pihak terutama keterlibatan pemerintah untuk membuat prioritas terhadap maslah ini.
Pada Hari kesehatan Jiwa dunia yang diperingati pada tanggal 10 Oktober yang lalu disampaikan bahwa advokasi tentang kesehatan jiwa sudah dimulai dari tahun 1800 –an. Advokasi ini masih mencakup peningkatan kesadaran seseorang tentang pentingnya kesehatan jiwa. Hal ini dilatarbelakangi oleh belum jelasnnya pengaturan segala hal terkait dengan kesehatan jiwa diseluruh dunia terutama dinegara-negara berkembang. Data menunjukan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) dinegara-negara berkembang dimana kasus gangguan jiwa relative tinggi.Data lain adalah banyak hambatan yang ditemukan dalam pengenbangan program kesehatan jiwa, sehingga mengganggu kemajuan advocacy bagi pasien jiwa. Legislasi menawarkan suatu mekanisme penting untuk meyakinkan, merawat, melindungi HAM yang sesuai dan adekuat bagi orang-orang dengan gangguan mental dan meningkatkan kesehatan mental banyak orang. Tujuan legislasi kesehatan mental ini yaitu melindungi, meningkatkan, memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan mental warga negara tetapi justru legislasi kesehatan mental telah menghasilkan kekerasan. Hal ini terlihat dari tidak sedikit orang dengan gangguan mental dapat menjadi bagian dari kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban dari aturan/perundangan itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak legislasi tersebut hanya dalam bentuk draf yang tujuan sebagai panduan keselamatan bagi public dari bahaya akibat tindakan pasien-pasien jiwa, dan bahan-bahan untuk pembenaran bagi masyarakat untuk mengisolasi pasien-pasien jiwa. Peraturan lain bahkan menjadi alat pembenar untuk melakukan “Custrodial care” pada pasien dengan gangguan mental yang bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya, tetapi tidak melindungi para pasien itu sendiri. Ironisnya dibeberapa negara juga bagian ini/hukum terkait dg kesehatan mental tidak/belum ada dan belum memperbarui undang-undang selama bertahun-tahun..
Tercatat bahwa hampir 75 % negara didunia yang mempunyai peraturan kesehatan jiwa, hanya 51 % diantaranya baru punya setelah tahun 1990, 15% sebelum 1960, secara umum perundangan dibanyak negara menunjukan, legislasi kesehatan jiwa telah kedaluarsa dan tidak melindungi hak-hak pasien jiwa
Hukum kesehatan jiwa mempresentasikan arti penting dari penegakan tujuan dan arah kebijakan. Bila dilakukan secara komprehensif dan diterima secara baik, kebijakan kesehatan mental akan mencakup issue-issue kritis yaitu penegakan /pengaturan kualitas pelayanan dan fasillitas kesehatan mental, akses perawatan kesehatan jiwa yang berkualitas, perlindungan hak asasi manusia, treatment hak-hak asasi manusia, pengembangan secara tegas/kuat prosedur proteksi, terintegrasinya pasien dengan gangguan mental kedalam masyarakat dan promosi/peningkatan kesehatan mental melalui masyarakat
Undang-undang sesuai tujuan Piagam Charter, bahwa dasar dari kesehatan jiwa adalah HAM. Ada beberapa prinsip kunci terkait dengan HAM yaitu persamaan dan non diskriminasi, privacy dan otonomy individu, kebebasan dari tindakan yang tidak manusiawi, bebas dari lingkungan yang terisolasi dan hak untuk berpartisipasi dan mendapat informasi. UU kesehatan jiwa adalah alat yang paling tepat untuk mengatur dan konsolidasi nilai dan prinsip dasar ini. Itulah mengapa UU keswa diperlukan dengan perhatian khusus untuk perlindungan HAM dan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan
Selasa, 27 April 2010
Minggu, 25 April 2010
Misteri Kalender Maya dan Ramalan Kiamat 2012
Dalam kalender bangsa Maya, diramalkan bahwa pada periode 1992-2012 bumi akan dimurnikan, selanjutnya peradaban manusia sekarang ini akan berakhir dan mulai memasuki peradaban baru.
Dalam sejarah peradaban kuno dunia, bangsa Maya bagaikan turun dari langit, mengalami zaman yang cemerlang, kemudian lenyap secara misterius. Mereka menguasai pengetahuan tentang ilmu falak yang khusus dan mendalam, sistem penanggalan yang sempurna, penghitungan perbintangan yang rumit serta metode pemikiran abstrak yang tinggi. Kesempurnaan dan akurasi dari pada penanggalannya membuat orang takjub!
Sekelompok masyarakat yang misterius ini tinggal di wilayah selatan Mexico sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras. Banyak sekali pyramid, kuil dan bangunan-bangunan kuno yang dibangun oleh Maya yang masih dapat ditemui di sana. Banyak juga batu-batu pahatan dan tulisan-tulisan misterius pada meja-meja yang ditinggalkan mereka. Para arkeolog percaya bahwa Maya mempunyai peradaban yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku-bukunya, meja-meja batu dan cerita-cerita yang bersifat mistik. Tetapi sayang sekali buku-buku mereka di perpustakaan Mayan semuanya sudah dibakar oleh tentara Spanyol ketika menyerang sesudah tahun 1517. Hanya beberapa tulisan pada meja-meja dan beberapa system kalender yang membingungkan tersisa sampai sekarang.
Seorang sejarahwan Amerika, Dr. Jose Arguelles mengabdikan dirinya untuk meneliti peradaban bangsa ini. Ia mendalami ramalan Maya yang dibangun di atas fondasi kalender yang dibuat bangsa itu, dimana prediksi semacam ini persis seperti cara penghitungan Tiongkok, ala Zhou Yi. Kalendernya, secara garis besar menggambarkan siklus hukum benda langit dan hubungannya dengan perubahan manusia. Dalam karya Arguelles, The Mayan Factor: Path Beyong Technology yang diterbitkan oleh Bear & Company pada 1973, disebutkan dalam penanggalan Maya tercatat bahwa sistim galaksi tata surya kita sedang mengalami ‘The Great Cycle’ (siklus besar) yang berjangka lima ribu dua ratus tahun lebih. Waktunya dari 3113 SM sampai 2012 M. Dalam siklus besar ini, tata surya dan bumi sedang bergerak melintasi sebuah sinar galaksi (Galatic Beam) yang berasal dari inti galaksi. Diameter sinar secara horizontal ini ialah 5125 tahun bumi. Dengan kata lain, kalau bumi melintasi sinar ini akan memakan waktu 5125 tahun lamanya.
Orang Maya percaya bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total, orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi (Galatic Synchronization). Siklus besar ini dibagi menjadi 13 tahap, setiap tahap evolusi pun mempunyai catatan yang sangat mendetail. Arguelles dalam bukunya itu menggunakan banyak sekali diagram-diagram untuk menceritakan kondisi evolusi pada setiap tahap. Kemudian setiap tahap itu dibagi lagi menjadi 20 masa evolusi. Setiap masa itu akan memakan waktu 20 tahun lamanya.
Dari masa 20 tahun antara tahun 1992-2012 itu, bumi kita telah memasuki tahap terakhir dari fase Siklus Besar, bangsa Maya menganggap ini adalah periode penting sebelum masa pra-Galatic Synchronization, mereka menamakannya: The Earth Generetion Priod (Periode Regenerasi Bumi). Selama periode ini bumi akan mencapai pemurnian total. Setelah itu, bumi kita akan meninggalkan jangkauan sinar galaksi dan memasuki tahap baru: penyelarasan galaksi.
Pada 31 Desember 2012 akan menjadi hari berakhirnya peradaban umat manusia kali ini, dalam perhitungan kalender Maya. Sesudah itu, umat manusia akan memasuki peradaban baru total yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang. Pada hari itu, tepatnya musim dingin tiba, matahari akan bergabung lagi dengan titik silang yang terbentuk akibat ekliptika (jalan matahari) dengan ekuator secara total. Saat itulah, matahari tepat berada di tengah-tengah sela sistem galaksi, atau dengan kata lain galaksi terletak di atas bumi, bagaikan membuka sebuah “Pintu Langit” saja bagi umat manusia.
Dalam perhitungannya, bangsa Maya tidak menyinggung tentang apa penyebab peradaban kali ini berakhir. Ada sedikit yang kelihatannya jelas, bahwa berakhirnya ‘hari itu’ sama sekali bukan berarti malapetaka apa yang datang menghampiri, melainkan mengisyaratkan kepada seluruh umat manusia akan adanya transisi dalam kesadaran dan spiritual kosmis, selanjutnya masuk ke peradaban baru. Tahun 755 Masehi, seorang rahib Maya pernah meramal, setelah tahun 1991 kemudian, akan ada dua peristiwa penting terjadi pada manusia yaitu kebangkitan kesadaran, dan pemurnian bumi serta regenerasinya.
Mulai 1992, bumi memasuki apa yang oleh bangsa Maya disebut ‘Periode Regenerasi Bumi”. Pada periode ini, Bumi dimurnikan, termasuk juga hati manusia, (ini hampir mirip ramalan orang Indian Amerika-Utara terhadap orang sekarang ini), subtansi yang tidak baik akan disingkirkan, dan substansi yang baik dan benar akan dipertahankan, akhirnya selaras dengan galaksi (alam semesta), ini adalah singkapan misteri dari gerakan sistem galaksi kita yang diperlihatkan oleh bangsa Maya.
Dari titik pandang ilmu pengetahuan umat manusia sekarang, hal itu benar-benar tidak dapat dipercaya. Mungkin saja bangsa Maya sedang membicarakan tentang galaksi Bima Sakti (Milky Way), yang mana ilmu pengetahuan dan teknologi kita belum juga sampai ke solar sistim, seperti pepatah orang Tionghoa mengatakan “Serangan musim panas tidak dapat menjelaskan es di musim dingin”. Fenomena kosmik yang diperlihatkan oleh kalender Maya adalah benar-benar berharga dari suatu penyelidikan yang serius oleh umat manusia sekarang ini.
ARAH RAMALAN ITU
Sejak tahun 1992 sampai 2012 nanti, bagaimana terjadi “pemurnian” dan bagaimana pula terjadi “regenerasi” pada bumi kita ini, tidak disebutkan secara detail oleh bangsa Maya. Dalam ramalan mereka pun tidak menyinggung tentang apa hal konkret yang memberikan semangat manusia untuk bangkit dari kesadaran dan bagaimana bumi mengalami permurnian, yang ditinggalkan oleh mereka kepada anak cucunya (barangkali tidak tercatat). Lantas, fenomena baru apa yang sudah bisa kita lihat sejak tahun 1992 sampai sekarang yang bisa kita kaitkan dengan ramalan bangsa Maya yang beradab itu?
Mengamati peristiwa besar 10 tahun belakangan ini (1992-2002), kelihatannya karakter alam semesta, ‘Zhen, Shan, Ren,’ (sejati, baik, sabar) yang diajarkan oleh Master Li Hongzhi, sebagai efek yang sedang ‘memurnikan’ hati manusia dan bumi ini. Kami menemukan dua bilangan yang bermakna, pada 1992 adalah persis tahun pertama kalinya Li Hongzhi mengenalkan ajarannya secara terbuka kepada masyarakat, ditengah-tengah kemrosotan moral umat manusia yang parah.. Dari tahun 1992-1999, dalam waktu yang singkat ini, pengikut latihan kultivasi jiwa dan raga ini sudah mencapai hampir 100 juta orang di daratan China. Kini, latihan ini bahkan sudah menyebar kelebih 60 negara. Melalui kultivasi yang terus-menerus, latihan ini dapat mencapai tujuan mengganti sel-sel manusia dengan materi energi tinggi dan meningkatkan moral manusia sesuai karakter alam semesta serta kembali ke jati diri yang asli.
Mungkin sudah diatur, bahwa kalender Maya tidak hilang dan sejarah manusia, dan harus diuraikan dengan kode oleh manusia sekarang. Namun ia tetap saja harus dilihat, apakah umat manusia yang terpesona oleh konsepsinya yang trerbentuk sesudah kelahiran dapat menembus batas-batas untuk mengingatkan dan memahami kebenaran yang melampoi sistim pengetahuan kita.
Artikel Terkait : Ramalan Kiamat Tahun 2012 Karena Badai Matahari
Kita sebagai manusia dilengkapi akal budi dan segala sesuatu yang bisa membuat kita mengerti dan memahami apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana semua ini dapat terjadi.
selaim itu kita juga dibekali oleh sang pencipta Al Quran untuk panduan hidup sampai akhir jaman (kiamat).
Kiamat pasti ada, tapi dalam pandangan kita sebagai penganut agama islam, kapan hari kiamat itu datang merupakan rahasia Nya.
Tak bisa dipastikan oleh umat yang saat ini ada karena sudah tertulis didalan Quran.
jadi kalaupun ada berbagai pendapat yang menyatakan kiamat akan datang pada tahun 2012, jangan terlalu di percaya. Yang Jelas mulai saat ini kita harus mempersiapkan diri dengan amaan dan perbuatan baik sebagai bekal bagi kita nantinya di alam perhitungan.
Artikel diatas hanya saduran dari artikel yang ada bukan dalam Quran. sekali lagi percaya pada Allah dan ikuti panduannya Quran dan Hadist.
Amin
Dalam sejarah peradaban kuno dunia, bangsa Maya bagaikan turun dari langit, mengalami zaman yang cemerlang, kemudian lenyap secara misterius. Mereka menguasai pengetahuan tentang ilmu falak yang khusus dan mendalam, sistem penanggalan yang sempurna, penghitungan perbintangan yang rumit serta metode pemikiran abstrak yang tinggi. Kesempurnaan dan akurasi dari pada penanggalannya membuat orang takjub!
Sekelompok masyarakat yang misterius ini tinggal di wilayah selatan Mexico sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras. Banyak sekali pyramid, kuil dan bangunan-bangunan kuno yang dibangun oleh Maya yang masih dapat ditemui di sana. Banyak juga batu-batu pahatan dan tulisan-tulisan misterius pada meja-meja yang ditinggalkan mereka. Para arkeolog percaya bahwa Maya mempunyai peradaban yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku-bukunya, meja-meja batu dan cerita-cerita yang bersifat mistik. Tetapi sayang sekali buku-buku mereka di perpustakaan Mayan semuanya sudah dibakar oleh tentara Spanyol ketika menyerang sesudah tahun 1517. Hanya beberapa tulisan pada meja-meja dan beberapa system kalender yang membingungkan tersisa sampai sekarang.
Seorang sejarahwan Amerika, Dr. Jose Arguelles mengabdikan dirinya untuk meneliti peradaban bangsa ini. Ia mendalami ramalan Maya yang dibangun di atas fondasi kalender yang dibuat bangsa itu, dimana prediksi semacam ini persis seperti cara penghitungan Tiongkok, ala Zhou Yi. Kalendernya, secara garis besar menggambarkan siklus hukum benda langit dan hubungannya dengan perubahan manusia. Dalam karya Arguelles, The Mayan Factor: Path Beyong Technology yang diterbitkan oleh Bear & Company pada 1973, disebutkan dalam penanggalan Maya tercatat bahwa sistim galaksi tata surya kita sedang mengalami ‘The Great Cycle’ (siklus besar) yang berjangka lima ribu dua ratus tahun lebih. Waktunya dari 3113 SM sampai 2012 M. Dalam siklus besar ini, tata surya dan bumi sedang bergerak melintasi sebuah sinar galaksi (Galatic Beam) yang berasal dari inti galaksi. Diameter sinar secara horizontal ini ialah 5125 tahun bumi. Dengan kata lain, kalau bumi melintasi sinar ini akan memakan waktu 5125 tahun lamanya.
Orang Maya percaya bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total, orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi (Galatic Synchronization). Siklus besar ini dibagi menjadi 13 tahap, setiap tahap evolusi pun mempunyai catatan yang sangat mendetail. Arguelles dalam bukunya itu menggunakan banyak sekali diagram-diagram untuk menceritakan kondisi evolusi pada setiap tahap. Kemudian setiap tahap itu dibagi lagi menjadi 20 masa evolusi. Setiap masa itu akan memakan waktu 20 tahun lamanya.
Dari masa 20 tahun antara tahun 1992-2012 itu, bumi kita telah memasuki tahap terakhir dari fase Siklus Besar, bangsa Maya menganggap ini adalah periode penting sebelum masa pra-Galatic Synchronization, mereka menamakannya: The Earth Generetion Priod (Periode Regenerasi Bumi). Selama periode ini bumi akan mencapai pemurnian total. Setelah itu, bumi kita akan meninggalkan jangkauan sinar galaksi dan memasuki tahap baru: penyelarasan galaksi.
Pada 31 Desember 2012 akan menjadi hari berakhirnya peradaban umat manusia kali ini, dalam perhitungan kalender Maya. Sesudah itu, umat manusia akan memasuki peradaban baru total yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang. Pada hari itu, tepatnya musim dingin tiba, matahari akan bergabung lagi dengan titik silang yang terbentuk akibat ekliptika (jalan matahari) dengan ekuator secara total. Saat itulah, matahari tepat berada di tengah-tengah sela sistem galaksi, atau dengan kata lain galaksi terletak di atas bumi, bagaikan membuka sebuah “Pintu Langit” saja bagi umat manusia.
Dalam perhitungannya, bangsa Maya tidak menyinggung tentang apa penyebab peradaban kali ini berakhir. Ada sedikit yang kelihatannya jelas, bahwa berakhirnya ‘hari itu’ sama sekali bukan berarti malapetaka apa yang datang menghampiri, melainkan mengisyaratkan kepada seluruh umat manusia akan adanya transisi dalam kesadaran dan spiritual kosmis, selanjutnya masuk ke peradaban baru. Tahun 755 Masehi, seorang rahib Maya pernah meramal, setelah tahun 1991 kemudian, akan ada dua peristiwa penting terjadi pada manusia yaitu kebangkitan kesadaran, dan pemurnian bumi serta regenerasinya.
Mulai 1992, bumi memasuki apa yang oleh bangsa Maya disebut ‘Periode Regenerasi Bumi”. Pada periode ini, Bumi dimurnikan, termasuk juga hati manusia, (ini hampir mirip ramalan orang Indian Amerika-Utara terhadap orang sekarang ini), subtansi yang tidak baik akan disingkirkan, dan substansi yang baik dan benar akan dipertahankan, akhirnya selaras dengan galaksi (alam semesta), ini adalah singkapan misteri dari gerakan sistem galaksi kita yang diperlihatkan oleh bangsa Maya.
Dari titik pandang ilmu pengetahuan umat manusia sekarang, hal itu benar-benar tidak dapat dipercaya. Mungkin saja bangsa Maya sedang membicarakan tentang galaksi Bima Sakti (Milky Way), yang mana ilmu pengetahuan dan teknologi kita belum juga sampai ke solar sistim, seperti pepatah orang Tionghoa mengatakan “Serangan musim panas tidak dapat menjelaskan es di musim dingin”. Fenomena kosmik yang diperlihatkan oleh kalender Maya adalah benar-benar berharga dari suatu penyelidikan yang serius oleh umat manusia sekarang ini.
ARAH RAMALAN ITU
Sejak tahun 1992 sampai 2012 nanti, bagaimana terjadi “pemurnian” dan bagaimana pula terjadi “regenerasi” pada bumi kita ini, tidak disebutkan secara detail oleh bangsa Maya. Dalam ramalan mereka pun tidak menyinggung tentang apa hal konkret yang memberikan semangat manusia untuk bangkit dari kesadaran dan bagaimana bumi mengalami permurnian, yang ditinggalkan oleh mereka kepada anak cucunya (barangkali tidak tercatat). Lantas, fenomena baru apa yang sudah bisa kita lihat sejak tahun 1992 sampai sekarang yang bisa kita kaitkan dengan ramalan bangsa Maya yang beradab itu?
Mengamati peristiwa besar 10 tahun belakangan ini (1992-2002), kelihatannya karakter alam semesta, ‘Zhen, Shan, Ren,’ (sejati, baik, sabar) yang diajarkan oleh Master Li Hongzhi, sebagai efek yang sedang ‘memurnikan’ hati manusia dan bumi ini. Kami menemukan dua bilangan yang bermakna, pada 1992 adalah persis tahun pertama kalinya Li Hongzhi mengenalkan ajarannya secara terbuka kepada masyarakat, ditengah-tengah kemrosotan moral umat manusia yang parah.. Dari tahun 1992-1999, dalam waktu yang singkat ini, pengikut latihan kultivasi jiwa dan raga ini sudah mencapai hampir 100 juta orang di daratan China. Kini, latihan ini bahkan sudah menyebar kelebih 60 negara. Melalui kultivasi yang terus-menerus, latihan ini dapat mencapai tujuan mengganti sel-sel manusia dengan materi energi tinggi dan meningkatkan moral manusia sesuai karakter alam semesta serta kembali ke jati diri yang asli.
Mungkin sudah diatur, bahwa kalender Maya tidak hilang dan sejarah manusia, dan harus diuraikan dengan kode oleh manusia sekarang. Namun ia tetap saja harus dilihat, apakah umat manusia yang terpesona oleh konsepsinya yang trerbentuk sesudah kelahiran dapat menembus batas-batas untuk mengingatkan dan memahami kebenaran yang melampoi sistim pengetahuan kita.
Artikel Terkait : Ramalan Kiamat Tahun 2012 Karena Badai Matahari
Kita sebagai manusia dilengkapi akal budi dan segala sesuatu yang bisa membuat kita mengerti dan memahami apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana semua ini dapat terjadi.
selaim itu kita juga dibekali oleh sang pencipta Al Quran untuk panduan hidup sampai akhir jaman (kiamat).
Kiamat pasti ada, tapi dalam pandangan kita sebagai penganut agama islam, kapan hari kiamat itu datang merupakan rahasia Nya.
Tak bisa dipastikan oleh umat yang saat ini ada karena sudah tertulis didalan Quran.
jadi kalaupun ada berbagai pendapat yang menyatakan kiamat akan datang pada tahun 2012, jangan terlalu di percaya. Yang Jelas mulai saat ini kita harus mempersiapkan diri dengan amaan dan perbuatan baik sebagai bekal bagi kita nantinya di alam perhitungan.
Artikel diatas hanya saduran dari artikel yang ada bukan dalam Quran. sekali lagi percaya pada Allah dan ikuti panduannya Quran dan Hadist.
Amin
Kamis, 22 April 2010
TEORI ELITE
PARTISIPASI POLITIK DI INDONESIA SUATU TINJAUAN DARI TEORI ELIT
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang (Developing Country) berusaha mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju dengan konsep pembangunan. Di negara berkembang upaya pemerintah dalam mengembangkan sektor kehidupan masyarakat seringkali menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala pemerintah dalam menerapkan konsep pembangunan adalah masalah partisipasi atau keterlibatan warga negara. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga keterlibatan setiap warga negara menjadi syarat mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, artinya tanpa adanya partisipasi politik warga negara maka tujuan nasional yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan.
Fenomena partai politik dewasa ini berkorelasi dengan Pemilu 2009. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting guna mengukur posisi elite partai yang akan maju. Atau elite di luar parpol yang dijagokan oleh parpol. Walau demikian, elite di luar parpol juga termasuk elite dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat liberalis kapitalis.
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya. Menurut Sanit (1985:203) bahwa anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat elit atau pusat tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Terlebih lagi bahwa posisi kaum perempuan kurang diuntungkan secara politis karena jarang sekali terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan perempuan itu sendiri.
Anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite. Anis Baswedan (2006) mengklasifikasikannya menjadi elite intelektual, militer, aktivis, dan partai politik.
Gender dalam politik, masih berkutat tentang masalah kuota 30% wanita dalam parpol serta keterlibatan kepemimpinan wanita dalam organisasi parpol dan kepemimpinnan publik/politik.
Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Dengan adanya Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 No. 12 Pasal 65 yang mengatur tentang kuota 30% sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik.
Kaum lelaki sebenarnya welcome terhadap isu kesetaraan gender. Tetapi, tidak tergambar dalam keterwakilan kaum hawa ini dalam kepengurusan parpol dan keterwakilannya dalam lembaga-lembaga publik. Keterwakilan kuota 30% perempuan dalam Pemilu 2009 hanya bersifat pemenuhan "jatah kursi" saja. Tanpa memenuhi persyaratan penyeleksian yang ketat dan penyaringan kualitas yang baik.
B. Integrasi Elite sebagai Faktor Krusial dalam Nation- and State-Building
Salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah berpecah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (MOSCA,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Sampai taraf tertentu, seandainya universitas-universitas berikut ini tidak merosot menjadi sekedar universitas lokal, peranan membangun korps elite nasional tersebut dapat dimainkan oleh Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya. Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan committed pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
Namun jalur universitas saja kelihatannya belum dirasakan memadai. Dalam tahun 1965 Presiden Soekarno sudah merintis gagasan ke arah terbentuknya suatu lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan suatu korps elite nasional yang akan memimpin pemerintahan, sebagai representasi serta pengambil keputusan tentang masalah penting kenegaraan. Lembaga itu adalah Lembaga Pertahanan Nasional [sekarang Lembaga Ketahanan Nasional]. Banyak sedikitnya lembaga ini sudah memberi hasil, dengan menyumbangkan dua doktrin dasar nasional, yaitu Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara. Di samping itu, lembaga ini telah mendidik calon pejabat eselon 1, baik sipil maupun militer.
Namun mengingat kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin lama semakin runyam, dan gerakan separatis semakin lama semakin banyak, rasanya perlu diadakan evaluasi menyeluruh terhadap disain, struktur, kebijakan, program, dan kinerja lembaga ini.
Secara pribadi penulis menengarai bahwa visi persatuan dan kesatuan nasional yang dianut lembaga ini adalah dalam istilah seorang pakar integrasi nasional ethnic blind, buta etnik. Hal itu mungkin merupakan refleksi dari semboyannya: Tan Hana Dharma Mangrva, dengan melupakan sesanti yang tercantum dalam lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika. Demikianlah masalah kajian etnik yang secara historis dan konseptual mempunyai peranan besar dalam natio-and state-bulding di Indonesia, tidak memperoleh perhatian yang memadai dari lembaga ini. Terdapat kesan kuat, bahwa perhatian lembaga ini lebih memusatkan perhatian pada pengembangan karir pejabat eksekutif dari pada perumusan saran untuk lebih mendinamisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Juga secara pribadi penulis berpendapat bahwa Lembaga Ketahanan Nasional ini harus kembali ke khittah-nya dalam tahun 1965, yaitu sebagai lembaga pengkajian ketahanan nasional serta pendidikan calon kepemimpinan nasional. Menciutkan kegiatan pada masalah pendidikan karir pejabat sipil dan militer belaka yang disisipi di sana sini oleh peserta dari partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga legislatif rasanya belum memenuhi rancangan semula untuk lembaga ini.
Lembaga ini perlu membuka diri lebih luas, baik dengan membahas aspirasi, kepentingan, serta grundelan berbagai etnik yang ada di Indonesia, maupun dengan memberi fasilitas pendidikan dan orientasi singkat kebangsaan bagi kader kepemimpinan semua kalangan, termasuk kader-kader kepemimpinan etnik dari daerah. Dengan cara itu secara lambat laun akan timbul suatu korps kepemimpinan nasional di segala tingkat, yang bukan saja sama kerangka referensi yang diperlukan untuk kelancaran komunikasi, tetapi juga saling mengenal secara pribadi.
C. ELIT DALAM BANGUNAN TEORI SOSIOLOGIS
Studi tentang elit menjadi studi Sosiologis yang menarik untuk dikaji sebagai istilah yang menunjuk pada minoritas-minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab.
Teori elit dibangun di atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat.
Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan yang lebih baru, elit dipandang sebagai suatu kelompok yang menghimpun para petinggi pemerintahan. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin atau pembuat keputusan (Kuper dalam Arsal, 2004:6).
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller (1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni : (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan, (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, (4) perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom.
Huky (dalam Arsal, 2004:7) membagi elit ke dalam tiga kategori :
1. Elit karena kekayaan. Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya.
2. Elit karena eksekutif. Group ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, ia memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabat-pejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis.
3. Elit komunitas. Orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain.
Sementara itu, Baswedan (2006) membedakan 3 macam tipe elit yakni: Pertama, elit intelektual merupakan elit yang didasarkan atas ukuran tingkat pendidikan. Kedua, elit aktivis merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang mengkaitkan diri dengan dunia politik, dan ketiga, elit militer merupakan aktor-aktor yang menginstitusikan dirinya dalam dunia militer.
Simandjuntak (dalam Arsal, 2004:7) mengemukakan bahwa dalam masyarakat terdapat enam golongan elit, yaitu : (1) elit politik yang bertindak sebagai legitimizer dari politik pembangunan yang hendak dilaksanakan. (2) elit administrasi yang bertugas menterjemahkan keinginan politik menjadi rencana pembangunan. (3) elit cendekiawan yang bertugas mengembangkan teori yang dapat diterapkan dalam pembangunan serta membawa ide pembaharuan. (4) elit usahawan yang bertugas menunjang politik pembangunan yang telah digariskan melalui penanaman modal. (5) elit militer yang bertugas sebagai pelopor peningkatan kedisiplinan kerja, sumber
resources (penghasilan) dalam lapangan tenaga kerja, dan penengah timbulnya konflik di antara kelompok masyarakat. (6) elit mass media yang bertugas menyalurkan informasi serta pembentukan pendapat umum.
Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.
Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
D. KONSEPTUALISASI PARTISIPASI POLITIK
Dalam negara berkembang masalah partisipasi adalah masalah yang cukup rumit. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri (Berger dalam Surbakti, 1992:140). Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.
Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan yang lebih mengenai partisipasi politiik. Khamisi (dalam Ruslan 2000:46) memberikan pengertian yang luas mengenai partisipasi politik bahwa partisipasi politik adalah hasrat seorang individu untuk mempunyai peran dalam kehidupan politik melalui keterlibatan administratif untuk menggunakan hak bersuara, melibatkan dirinya di berbagai organisasi, mendiskusikan berbagai persoalan politik dengan pihak lain, ikut serta melakukan berbagai aksi dan gerakan, bergabung dengan partai-partai atau organisasi-oraganisasi independent, ikut serta dalam kampanye penyadaran, memberikan penyadaran, memberikan pelayanan terhadap lingkungan dengan kemampuannya sendiri.
Sementara menurut Huntington dan Nelson (1994:9) partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi yang di maksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Dari konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson (dalam Kamarudin, 2003:94), disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane (dalam Rush dan Althoff, 2000:181) menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu :
b. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
c. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
d. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
e. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
E. PENDEKATAN TEORITIS MENGGUNAKAN TEORI ELIT
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Elite. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan.
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi. Schumpeter sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah.
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
F. KESIMPULAN
Partisipasi politik elit politik masyarakat di Indonesia berdasarkan intensitasnya terbagi dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktivis. Masyarakat sebagai pengamat ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara. Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik.
Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Banna, Hasan. 2000. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia
Arsal, Thriwaty. 2004. Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. Usul Penelitian. FIS Unnes.
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Gaffar, Affan. 1990. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta
International IDEA Conference Report 2002, Strengthening Women’s Political Participation In Indonesia, Part 1
Kamaruddin. 2003. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elite, Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lexy J. Moelong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Maran, Raga, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta
M. Darwin, Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana
Rasyid Ridha, Muhammad. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih; Hakikat, Martabat, dan Partisipasinya di Ruang Publik. Bandung: Penerbit Hikmah
Ruslan, Ustman Abdul Muiz. 2000. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Solo: Era Intermedia
Rush, Michael dan Althoff, Philip. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanit, Arbi 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Shafiyyah, Amatullah dan Soeripno, Haryati. 2003. Kiprah Politik Muslimah. Jakarta: Gema Insani Press
Suparlan dan Suyatno, Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat, dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo
Takariawan, Cahyadi. 2002. Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama
Ulfaizah. 2006. Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Tengguli Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Semarang : FIS Unnes
Verayanti, Lany et al. 2003. Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang: LP2M
Widyani Soetjipto, Ani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang (Developing Country) berusaha mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju dengan konsep pembangunan. Di negara berkembang upaya pemerintah dalam mengembangkan sektor kehidupan masyarakat seringkali menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala pemerintah dalam menerapkan konsep pembangunan adalah masalah partisipasi atau keterlibatan warga negara. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga keterlibatan setiap warga negara menjadi syarat mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, artinya tanpa adanya partisipasi politik warga negara maka tujuan nasional yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan.
Fenomena partai politik dewasa ini berkorelasi dengan Pemilu 2009. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting guna mengukur posisi elite partai yang akan maju. Atau elite di luar parpol yang dijagokan oleh parpol. Walau demikian, elite di luar parpol juga termasuk elite dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat liberalis kapitalis.
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya. Menurut Sanit (1985:203) bahwa anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat elit atau pusat tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Terlebih lagi bahwa posisi kaum perempuan kurang diuntungkan secara politis karena jarang sekali terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan perempuan itu sendiri.
Anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite. Anis Baswedan (2006) mengklasifikasikannya menjadi elite intelektual, militer, aktivis, dan partai politik.
Gender dalam politik, masih berkutat tentang masalah kuota 30% wanita dalam parpol serta keterlibatan kepemimpinan wanita dalam organisasi parpol dan kepemimpinnan publik/politik.
Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Dengan adanya Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 No. 12 Pasal 65 yang mengatur tentang kuota 30% sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik.
Kaum lelaki sebenarnya welcome terhadap isu kesetaraan gender. Tetapi, tidak tergambar dalam keterwakilan kaum hawa ini dalam kepengurusan parpol dan keterwakilannya dalam lembaga-lembaga publik. Keterwakilan kuota 30% perempuan dalam Pemilu 2009 hanya bersifat pemenuhan "jatah kursi" saja. Tanpa memenuhi persyaratan penyeleksian yang ketat dan penyaringan kualitas yang baik.
B. Integrasi Elite sebagai Faktor Krusial dalam Nation- and State-Building
Salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah berpecah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (MOSCA,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Sampai taraf tertentu, seandainya universitas-universitas berikut ini tidak merosot menjadi sekedar universitas lokal, peranan membangun korps elite nasional tersebut dapat dimainkan oleh Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya. Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan committed pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
Namun jalur universitas saja kelihatannya belum dirasakan memadai. Dalam tahun 1965 Presiden Soekarno sudah merintis gagasan ke arah terbentuknya suatu lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan suatu korps elite nasional yang akan memimpin pemerintahan, sebagai representasi serta pengambil keputusan tentang masalah penting kenegaraan. Lembaga itu adalah Lembaga Pertahanan Nasional [sekarang Lembaga Ketahanan Nasional]. Banyak sedikitnya lembaga ini sudah memberi hasil, dengan menyumbangkan dua doktrin dasar nasional, yaitu Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara. Di samping itu, lembaga ini telah mendidik calon pejabat eselon 1, baik sipil maupun militer.
Namun mengingat kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin lama semakin runyam, dan gerakan separatis semakin lama semakin banyak, rasanya perlu diadakan evaluasi menyeluruh terhadap disain, struktur, kebijakan, program, dan kinerja lembaga ini.
Secara pribadi penulis menengarai bahwa visi persatuan dan kesatuan nasional yang dianut lembaga ini adalah dalam istilah seorang pakar integrasi nasional ethnic blind, buta etnik. Hal itu mungkin merupakan refleksi dari semboyannya: Tan Hana Dharma Mangrva, dengan melupakan sesanti yang tercantum dalam lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika. Demikianlah masalah kajian etnik yang secara historis dan konseptual mempunyai peranan besar dalam natio-and state-bulding di Indonesia, tidak memperoleh perhatian yang memadai dari lembaga ini. Terdapat kesan kuat, bahwa perhatian lembaga ini lebih memusatkan perhatian pada pengembangan karir pejabat eksekutif dari pada perumusan saran untuk lebih mendinamisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Juga secara pribadi penulis berpendapat bahwa Lembaga Ketahanan Nasional ini harus kembali ke khittah-nya dalam tahun 1965, yaitu sebagai lembaga pengkajian ketahanan nasional serta pendidikan calon kepemimpinan nasional. Menciutkan kegiatan pada masalah pendidikan karir pejabat sipil dan militer belaka yang disisipi di sana sini oleh peserta dari partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga legislatif rasanya belum memenuhi rancangan semula untuk lembaga ini.
Lembaga ini perlu membuka diri lebih luas, baik dengan membahas aspirasi, kepentingan, serta grundelan berbagai etnik yang ada di Indonesia, maupun dengan memberi fasilitas pendidikan dan orientasi singkat kebangsaan bagi kader kepemimpinan semua kalangan, termasuk kader-kader kepemimpinan etnik dari daerah. Dengan cara itu secara lambat laun akan timbul suatu korps kepemimpinan nasional di segala tingkat, yang bukan saja sama kerangka referensi yang diperlukan untuk kelancaran komunikasi, tetapi juga saling mengenal secara pribadi.
C. ELIT DALAM BANGUNAN TEORI SOSIOLOGIS
Studi tentang elit menjadi studi Sosiologis yang menarik untuk dikaji sebagai istilah yang menunjuk pada minoritas-minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab.
Teori elit dibangun di atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat.
Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan yang lebih baru, elit dipandang sebagai suatu kelompok yang menghimpun para petinggi pemerintahan. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin atau pembuat keputusan (Kuper dalam Arsal, 2004:6).
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller (1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni : (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan, (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, (4) perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom.
Huky (dalam Arsal, 2004:7) membagi elit ke dalam tiga kategori :
1. Elit karena kekayaan. Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya.
2. Elit karena eksekutif. Group ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, ia memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabat-pejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis.
3. Elit komunitas. Orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain.
Sementara itu, Baswedan (2006) membedakan 3 macam tipe elit yakni: Pertama, elit intelektual merupakan elit yang didasarkan atas ukuran tingkat pendidikan. Kedua, elit aktivis merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang mengkaitkan diri dengan dunia politik, dan ketiga, elit militer merupakan aktor-aktor yang menginstitusikan dirinya dalam dunia militer.
Simandjuntak (dalam Arsal, 2004:7) mengemukakan bahwa dalam masyarakat terdapat enam golongan elit, yaitu : (1) elit politik yang bertindak sebagai legitimizer dari politik pembangunan yang hendak dilaksanakan. (2) elit administrasi yang bertugas menterjemahkan keinginan politik menjadi rencana pembangunan. (3) elit cendekiawan yang bertugas mengembangkan teori yang dapat diterapkan dalam pembangunan serta membawa ide pembaharuan. (4) elit usahawan yang bertugas menunjang politik pembangunan yang telah digariskan melalui penanaman modal. (5) elit militer yang bertugas sebagai pelopor peningkatan kedisiplinan kerja, sumber
resources (penghasilan) dalam lapangan tenaga kerja, dan penengah timbulnya konflik di antara kelompok masyarakat. (6) elit mass media yang bertugas menyalurkan informasi serta pembentukan pendapat umum.
Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.
Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
D. KONSEPTUALISASI PARTISIPASI POLITIK
Dalam negara berkembang masalah partisipasi adalah masalah yang cukup rumit. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri (Berger dalam Surbakti, 1992:140). Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.
Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan yang lebih mengenai partisipasi politiik. Khamisi (dalam Ruslan 2000:46) memberikan pengertian yang luas mengenai partisipasi politik bahwa partisipasi politik adalah hasrat seorang individu untuk mempunyai peran dalam kehidupan politik melalui keterlibatan administratif untuk menggunakan hak bersuara, melibatkan dirinya di berbagai organisasi, mendiskusikan berbagai persoalan politik dengan pihak lain, ikut serta melakukan berbagai aksi dan gerakan, bergabung dengan partai-partai atau organisasi-oraganisasi independent, ikut serta dalam kampanye penyadaran, memberikan penyadaran, memberikan pelayanan terhadap lingkungan dengan kemampuannya sendiri.
Sementara menurut Huntington dan Nelson (1994:9) partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi yang di maksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Dari konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson (dalam Kamarudin, 2003:94), disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane (dalam Rush dan Althoff, 2000:181) menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu :
b. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
c. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
d. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
e. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
E. PENDEKATAN TEORITIS MENGGUNAKAN TEORI ELIT
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Elite. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan.
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi. Schumpeter sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah.
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
F. KESIMPULAN
Partisipasi politik elit politik masyarakat di Indonesia berdasarkan intensitasnya terbagi dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktivis. Masyarakat sebagai pengamat ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara. Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik.
Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Banna, Hasan. 2000. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia
Arsal, Thriwaty. 2004. Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. Usul Penelitian. FIS Unnes.
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Gaffar, Affan. 1990. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta
International IDEA Conference Report 2002, Strengthening Women’s Political Participation In Indonesia, Part 1
Kamaruddin. 2003. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elite, Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lexy J. Moelong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Maran, Raga, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta
M. Darwin, Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana
Rasyid Ridha, Muhammad. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih; Hakikat, Martabat, dan Partisipasinya di Ruang Publik. Bandung: Penerbit Hikmah
Ruslan, Ustman Abdul Muiz. 2000. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Solo: Era Intermedia
Rush, Michael dan Althoff, Philip. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanit, Arbi 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Shafiyyah, Amatullah dan Soeripno, Haryati. 2003. Kiprah Politik Muslimah. Jakarta: Gema Insani Press
Suparlan dan Suyatno, Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat, dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo
Takariawan, Cahyadi. 2002. Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama
Ulfaizah. 2006. Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Tengguli Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Semarang : FIS Unnes
Verayanti, Lany et al. 2003. Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang: LP2M
Widyani Soetjipto, Ani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas
TEORI BUDAYA POLITIK
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
Pendahuluan
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kehidupan suatu negara tidak terlepas dari kegiatan politik. Kegiatan politik yang identik dengan kekuasaan dalam kehidupan bernegara dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan dan pemahaman politik masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik di wujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan perkembangan lingkungan yang ada.
Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Partisipasi politik masyarakat angatmembantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara.
A. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, dan terintegrasi.
Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli :
1. Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.
2. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan (macht) oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Pokoknya selalu ada kekuatan/kekuasaan.
3. Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Budaya politik (kebudayaan politik) menurut Almond dan Verba merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang.
Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu :
(1) Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)
(2) Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
(3) Budaya politik partisipatif (aktif)
Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
(1) Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri)
Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada :
(1) Orientasi kognitif, yang merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah
(2) Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
(3) Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yan gsecara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.
B. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI DALAM MASAYARAKAT INDONESIA
Menurut Aristoteles (384 – 322 M) manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk mememnuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu terutama hak pilih aktif
2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :
a. menerima sebagaimana adanya
b. menolak dengan alas an tertentu atau
c. ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa
3. Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya
4. Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.
Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melaui beberapa dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :
(1) Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negaranya
(2) Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
(3) Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah
(4) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara.
Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :
(1) Budaya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan/pemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
(2) Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menerima atau menolak.
(3) Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kondisi masyarakat yang hetorogen selain dapat memberkaya berkembangnya budaya politik yang beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan bangsa. Untuk menghindari terjadi disintegrasi bangsa, perlu kiranya menanamkan nilai-nilai dasar yang dapat mengikatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, seperti toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat, gotong royong, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Yang terpenting dalam hal ini adalah bukan membicarkan perbedaan yang ada tetapi bagaimana menyatukan pendangan yang lebih menekankan pada kepentingan nasional.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
(1) Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.
(2) Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi, namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai dasarnya.
(3) Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah). Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar
Dalam perkembangannya tipe-tipe budaya politik dalam masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkemabngan sistem politik yang berlaku. Oleh karena itu tipe-tipe dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu :
I. Masa Orde Lama
Pemilu nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan secara bertingkat, tanggal 29 September 1955 Pemilu untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar). Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah 260 orang untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan pada UU No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon independent yang terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan wilayah provinsi yang ada pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah WNI, keturuanan Arab, Cina dan Erapa, serta anggota tentara dan polisi.
Pada masa ini budaya politik yang berkembang berada dibawah pengaruh dominasi agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari masyarakat Indonesia. Namun demikiran, menurut Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara politis sering terlibat kontroversi teoritis dan ideologis, baik dengan pihak nasionalis sekuler maupun antarsesama umat Islam sendiri. Perpecahan komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik. Dengan pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi dua, yaitu yang menganut asas politik agama, seperti Partai keagamaaseperti Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam Indonesia, dan Angkatan Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang menganut asas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Namun kenyataannya partai partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga menimbulkan banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
II. Masa Orde Baru
Pemilu pertama padaMasa Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971 yang didasarkan pada UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Pemilu pada tahun 1971 lahir sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orde Lama yang dianggap telah melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 berdasarkan UU Pemilu No. 4 Tahun 1975 dengan sistem proporsional di daerah pemilihan. Pada masa Orde Baru, partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa, walaupun masih dengan pola multi partai. Pelaksanaan Pemilu pada tahun 1977 terjadi penyederhanaan partai politik peserta pemilu berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar yaitu sebagai berikut :
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam, dan Perti.
b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba
c. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kumpulan dari berbagai golongan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi.
Kedua partai politik dan satu golongan ini tetap bertahan sejak pelaksanaan Pemilu tahun 1982 berdasarkan UU Pemilu No. 2 Tahun 1980, 1987 berdasarkan UU Pemilu No. 1 Tahun 1985 dan terus dipakai sampai pelaksanaan Pemilu tahun 1992.
Perolehan suara mulai tahun 1977 selalu didominasi oleh Golkar. Dalam perkembangannya, ternyata Orde Baru pun masih melakukan penyimpanganpenyimpangan yang hampir sama dengan pemerintahan Orde Lama, bahkan dalam kaitannya dengan masalah rasial terjadi kesalahan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena budaya politik yang berkembang pada masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup. Pemerintahan Orde Baru dianggap telah gagal dalam melakukan koreksi terhadap apa yang telah terjadi pada pemerintahan yang lalu.
III. Masa Reformasi
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah Presiden Suharto lengser yang merupakan babak baru yang dikenal dengan reformasi. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu No. 3 tahun 1999 yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan B.J. Habiebie yang diikui oleh 48 partai politik. Awal terjadinya reformasi di Indonesia dipicu dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi lahir di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan perubahan terhadap kekeliruan-kekeliruan politik yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia dan berupaya merubah tatanan kehidupan budaya politik yang kondusif, transparan dan inklusif. Dengan tetap mempertahankan pola multi partai, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan partai politik pada masa Orde Baru, pada pelaksanaan Pemilu pada tahun 1997 diikuti oleh 48 partai politik
Dalam pelaksanannya reformasi malah melahirkan euphoria politik yang kebablasan sehingga melahirkan perubahan perilaku politik yang anarkis, peranan legislatif yang lebih dominan dan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk lebih menyadari akan pentingnya nilai-nilai kesatuan, karena dengan adanya berbagai kepentingan yang berbeda sangat memungkinkan lahirnya berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Perilaku politik yang dijalankan harus sesuai dengan tata aturan yang berlaku, termasuk pendayagunaan lembaga-lembaga negara yang ada sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing, sehingga diharapkan dapat melahirkan budaya politik yang diharapkan.
C. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada. Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama. Ada dua hal yang harus diperhatikan dengan baik dalam melakukan sosialisasi politik :
a. Semakin homogen suatu masyarakat dan semakin lama ia bertahan menurut waktu, semakin memungkinkan proses sosialisasinya menjadi didefiniskan secara jelas dan relatif dipersatukan, dan tampaknya berlangsung dampak yang sama dalam masyarakat-masyarakat yang berusaha terang-terangan untuk mengontrol proses sosialisasinya.
b. Semakin heterogen suatu masyarakat dan terjadi perubahan radikal berkali-kali, proses sosialisasinya menjadi terpenggal-penggal dan dapat diterapkan pada bermacam-macam kelompok dalam masyarakat, tidak kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada satu masa menurut waktunya, adalah mungkin untuk menetapkan satu kebudayaan politik tertentu bagi suatu masyarakat, yang dapat didefinisikan sebagai nilai yang relevan secara poltik dan sebagai sikap-sikap dari masyarakatnya. Hubungan antara kebudayan politik dan sosialisasi politik menjadi penting karena dengan bantuan proses yang terakhir ini, nilai-nilai dan sikap-sikap yang relevan secara politis tadi disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembagai legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, masyarakat hendaknya memberikan respon positif terhadap perkembangan-perkembangan budaya politik di Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Mengerti dan mampu malaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara
b. Berpartisipasi aktif dalam pelaknaan pemilu
c. Malaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan berbagai masalah
d. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat
e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
f. Menjunjung tinggi hukum yang berlaku
g. Mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi penerus bangsa
Perkembangan budaya politik yang ada di wujudkan dengan terciptanya partaipartai politik. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan, bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi :
1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat tempat tinggalnya.
3. Sebagai sarana rekuitmen politik, yaitu untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota politik (political recruitment) dan untuk melakukan pengkaderan terhadap generasi muda melalui pendidikan politik.
4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) artinya apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat maka partai politik berusaha untuk mengatasi konflik tersebut.
D. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Manusia sebagai insan politik memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas politik dalam kehidupan bernegara, baik sebagai aktor utama maupun sebagai obyek tujuan politik. Setiap insan politik harus dapat menunjukkan partisipasinya dalam kegiatan yang berhubungan dengan warga negara secara pribadi (private citizen) yang bertujuan untuk ikut mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Kegiatan manusia sebagai insan politik terbentuk dalam partasipasi politik sebagai berikut :
1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
2. Lahirnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
3. Pelaksanaan Pemilu sebagai bentuk partisipasi nyata masyarakat sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan hak dipilih dan ikut serta dalam kegiatan kampanye.
4. Lahirnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui kegiatan demonstrasi, unjuk rasa, petisi, protes, dan sebagainya yang sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. David F. Roth dan Frank L. Wilson dalam buku The Comparative Studi of Politics menggambarkan bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam bentuk piramida sebagai berikut :
Samuel Huntington dan Joan Nelson mengemukan tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, yaitu :
(1) Kegiatan pemilihan. Kegiatan pemilihan termasuk sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dan mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan
(2) Lobbying. Merupakan usaha-usaha perorangan atau kelompok untuk menghubungi penguasa-penguasa pemerintahan dan pemimpin-pemimpin politik dengan tujuan mempengarui hasil keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sebagian besar orang
(3) Kegiatan organisasi. Meliputi kegiatan organisasi dalam bentuk partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang memiliki tujuan utama untuk mempengaruhi pemerintah
(4) Mencari koneksi (contacting) Merupakan tindakan perorangan yang ditujukan kepada penguasa-penguasa pemerintah yang biasanya bertujuan untuk memperoleh manfaat hanya untuk orang-orang tertentu saja.
(5) Tindakan kekerasan (violence) Merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang diambil sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap manusia atau pun harta benda.
Partisipasi yang dikembangkan di negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dihindarkan dan dilaksanakan dalam partisipasi politik yang sesuai dengan norma-norma dan budaya bangsa Indonesia, yaitu :
1. Perilaku yang harus dihindarkan, seperti :
a. Bersikap angkuh
b. Egois
c. Ekstrim
d. Meremehkan orang lain
e. Individualis
f. Tidak menerima kritikan orang lain
2. Perilaku yang harus dilaksanakan, seperti :
a. Saling menghormati
b. Menghargai orang lain
c. Toleransi
d. Berperilaku demokratis
e. Mengembangkan sikap kekeluargaan
f. Musyawarah untuk mufakat
KESIMPULAN
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri.
Budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi perbedaan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat akan menimbulkan perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi.
Tipe-tipe budaya politik berkembang dipengaruhi oleh karakteristik yang ada dalam masyarakat. Tipe-tipe budaya politik ini dapat dibedakan dalam (1) Budaya Politik Parokil, (2) Budaya Politik Subjek dan (3) Budaya Politik Partisipan. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia menurut Clifford Geerts adalah (1) Budaya Politik Abangan, (2) Budaya Politik Santri, dan (3) Budaya Politik Priyayi.
Dalam perkembangannya tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem politik yang berlaku, sehingga di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok (1) Orde lama, (2) Orde Baru, dan (3) Reformasi, dengan melaksanakan multi partai yang berkembang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada, semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Sosialisasi politik memperhatikan aspek homogenitas dan heterogenitas. Di negara Indonesia fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembaga legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Bentuk partisipasi politik yang dikembangkan di negara Indonesia adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional dan di wujudkan dengan menampilkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict,
R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982
Pendahuluan
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kehidupan suatu negara tidak terlepas dari kegiatan politik. Kegiatan politik yang identik dengan kekuasaan dalam kehidupan bernegara dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan dan pemahaman politik masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik di wujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan perkembangan lingkungan yang ada.
Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Partisipasi politik masyarakat angatmembantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara.
A. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, dan terintegrasi.
Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli :
1. Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.
2. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan (macht) oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Pokoknya selalu ada kekuatan/kekuasaan.
3. Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Budaya politik (kebudayaan politik) menurut Almond dan Verba merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang.
Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu :
(1) Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)
(2) Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
(3) Budaya politik partisipatif (aktif)
Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
(1) Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri)
Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada :
(1) Orientasi kognitif, yang merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah
(2) Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
(3) Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yan gsecara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.
B. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI DALAM MASAYARAKAT INDONESIA
Menurut Aristoteles (384 – 322 M) manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk mememnuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu terutama hak pilih aktif
2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :
a. menerima sebagaimana adanya
b. menolak dengan alas an tertentu atau
c. ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa
3. Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya
4. Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.
Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melaui beberapa dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :
(1) Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negaranya
(2) Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
(3) Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah
(4) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara.
Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :
(1) Budaya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan/pemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
(2) Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menerima atau menolak.
(3) Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kondisi masyarakat yang hetorogen selain dapat memberkaya berkembangnya budaya politik yang beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan bangsa. Untuk menghindari terjadi disintegrasi bangsa, perlu kiranya menanamkan nilai-nilai dasar yang dapat mengikatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, seperti toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat, gotong royong, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Yang terpenting dalam hal ini adalah bukan membicarkan perbedaan yang ada tetapi bagaimana menyatukan pendangan yang lebih menekankan pada kepentingan nasional.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
(1) Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.
(2) Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi, namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai dasarnya.
(3) Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah). Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar
Dalam perkembangannya tipe-tipe budaya politik dalam masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkemabngan sistem politik yang berlaku. Oleh karena itu tipe-tipe dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu :
I. Masa Orde Lama
Pemilu nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan secara bertingkat, tanggal 29 September 1955 Pemilu untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar). Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah 260 orang untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan pada UU No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon independent yang terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan wilayah provinsi yang ada pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah WNI, keturuanan Arab, Cina dan Erapa, serta anggota tentara dan polisi.
Pada masa ini budaya politik yang berkembang berada dibawah pengaruh dominasi agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari masyarakat Indonesia. Namun demikiran, menurut Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara politis sering terlibat kontroversi teoritis dan ideologis, baik dengan pihak nasionalis sekuler maupun antarsesama umat Islam sendiri. Perpecahan komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik. Dengan pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi dua, yaitu yang menganut asas politik agama, seperti Partai keagamaaseperti Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam Indonesia, dan Angkatan Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang menganut asas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Namun kenyataannya partai partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga menimbulkan banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
II. Masa Orde Baru
Pemilu pertama padaMasa Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971 yang didasarkan pada UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Pemilu pada tahun 1971 lahir sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orde Lama yang dianggap telah melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 berdasarkan UU Pemilu No. 4 Tahun 1975 dengan sistem proporsional di daerah pemilihan. Pada masa Orde Baru, partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa, walaupun masih dengan pola multi partai. Pelaksanaan Pemilu pada tahun 1977 terjadi penyederhanaan partai politik peserta pemilu berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar yaitu sebagai berikut :
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam, dan Perti.
b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba
c. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kumpulan dari berbagai golongan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi.
Kedua partai politik dan satu golongan ini tetap bertahan sejak pelaksanaan Pemilu tahun 1982 berdasarkan UU Pemilu No. 2 Tahun 1980, 1987 berdasarkan UU Pemilu No. 1 Tahun 1985 dan terus dipakai sampai pelaksanaan Pemilu tahun 1992.
Perolehan suara mulai tahun 1977 selalu didominasi oleh Golkar. Dalam perkembangannya, ternyata Orde Baru pun masih melakukan penyimpanganpenyimpangan yang hampir sama dengan pemerintahan Orde Lama, bahkan dalam kaitannya dengan masalah rasial terjadi kesalahan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena budaya politik yang berkembang pada masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup. Pemerintahan Orde Baru dianggap telah gagal dalam melakukan koreksi terhadap apa yang telah terjadi pada pemerintahan yang lalu.
III. Masa Reformasi
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah Presiden Suharto lengser yang merupakan babak baru yang dikenal dengan reformasi. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu No. 3 tahun 1999 yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan B.J. Habiebie yang diikui oleh 48 partai politik. Awal terjadinya reformasi di Indonesia dipicu dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi lahir di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan perubahan terhadap kekeliruan-kekeliruan politik yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia dan berupaya merubah tatanan kehidupan budaya politik yang kondusif, transparan dan inklusif. Dengan tetap mempertahankan pola multi partai, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan partai politik pada masa Orde Baru, pada pelaksanaan Pemilu pada tahun 1997 diikuti oleh 48 partai politik
Dalam pelaksanannya reformasi malah melahirkan euphoria politik yang kebablasan sehingga melahirkan perubahan perilaku politik yang anarkis, peranan legislatif yang lebih dominan dan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk lebih menyadari akan pentingnya nilai-nilai kesatuan, karena dengan adanya berbagai kepentingan yang berbeda sangat memungkinkan lahirnya berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Perilaku politik yang dijalankan harus sesuai dengan tata aturan yang berlaku, termasuk pendayagunaan lembaga-lembaga negara yang ada sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing, sehingga diharapkan dapat melahirkan budaya politik yang diharapkan.
C. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada. Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama. Ada dua hal yang harus diperhatikan dengan baik dalam melakukan sosialisasi politik :
a. Semakin homogen suatu masyarakat dan semakin lama ia bertahan menurut waktu, semakin memungkinkan proses sosialisasinya menjadi didefiniskan secara jelas dan relatif dipersatukan, dan tampaknya berlangsung dampak yang sama dalam masyarakat-masyarakat yang berusaha terang-terangan untuk mengontrol proses sosialisasinya.
b. Semakin heterogen suatu masyarakat dan terjadi perubahan radikal berkali-kali, proses sosialisasinya menjadi terpenggal-penggal dan dapat diterapkan pada bermacam-macam kelompok dalam masyarakat, tidak kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada satu masa menurut waktunya, adalah mungkin untuk menetapkan satu kebudayaan politik tertentu bagi suatu masyarakat, yang dapat didefinisikan sebagai nilai yang relevan secara poltik dan sebagai sikap-sikap dari masyarakatnya. Hubungan antara kebudayan politik dan sosialisasi politik menjadi penting karena dengan bantuan proses yang terakhir ini, nilai-nilai dan sikap-sikap yang relevan secara politis tadi disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembagai legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, masyarakat hendaknya memberikan respon positif terhadap perkembangan-perkembangan budaya politik di Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Mengerti dan mampu malaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara
b. Berpartisipasi aktif dalam pelaknaan pemilu
c. Malaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan berbagai masalah
d. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat
e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
f. Menjunjung tinggi hukum yang berlaku
g. Mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi penerus bangsa
Perkembangan budaya politik yang ada di wujudkan dengan terciptanya partaipartai politik. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan, bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi :
1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat tempat tinggalnya.
3. Sebagai sarana rekuitmen politik, yaitu untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota politik (political recruitment) dan untuk melakukan pengkaderan terhadap generasi muda melalui pendidikan politik.
4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) artinya apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat maka partai politik berusaha untuk mengatasi konflik tersebut.
D. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Manusia sebagai insan politik memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas politik dalam kehidupan bernegara, baik sebagai aktor utama maupun sebagai obyek tujuan politik. Setiap insan politik harus dapat menunjukkan partisipasinya dalam kegiatan yang berhubungan dengan warga negara secara pribadi (private citizen) yang bertujuan untuk ikut mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Kegiatan manusia sebagai insan politik terbentuk dalam partasipasi politik sebagai berikut :
1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
2. Lahirnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
3. Pelaksanaan Pemilu sebagai bentuk partisipasi nyata masyarakat sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan hak dipilih dan ikut serta dalam kegiatan kampanye.
4. Lahirnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui kegiatan demonstrasi, unjuk rasa, petisi, protes, dan sebagainya yang sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. David F. Roth dan Frank L. Wilson dalam buku The Comparative Studi of Politics menggambarkan bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam bentuk piramida sebagai berikut :
Samuel Huntington dan Joan Nelson mengemukan tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, yaitu :
(1) Kegiatan pemilihan. Kegiatan pemilihan termasuk sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dan mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan
(2) Lobbying. Merupakan usaha-usaha perorangan atau kelompok untuk menghubungi penguasa-penguasa pemerintahan dan pemimpin-pemimpin politik dengan tujuan mempengarui hasil keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sebagian besar orang
(3) Kegiatan organisasi. Meliputi kegiatan organisasi dalam bentuk partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang memiliki tujuan utama untuk mempengaruhi pemerintah
(4) Mencari koneksi (contacting) Merupakan tindakan perorangan yang ditujukan kepada penguasa-penguasa pemerintah yang biasanya bertujuan untuk memperoleh manfaat hanya untuk orang-orang tertentu saja.
(5) Tindakan kekerasan (violence) Merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang diambil sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap manusia atau pun harta benda.
Partisipasi yang dikembangkan di negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dihindarkan dan dilaksanakan dalam partisipasi politik yang sesuai dengan norma-norma dan budaya bangsa Indonesia, yaitu :
1. Perilaku yang harus dihindarkan, seperti :
a. Bersikap angkuh
b. Egois
c. Ekstrim
d. Meremehkan orang lain
e. Individualis
f. Tidak menerima kritikan orang lain
2. Perilaku yang harus dilaksanakan, seperti :
a. Saling menghormati
b. Menghargai orang lain
c. Toleransi
d. Berperilaku demokratis
e. Mengembangkan sikap kekeluargaan
f. Musyawarah untuk mufakat
KESIMPULAN
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri.
Budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi perbedaan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat akan menimbulkan perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi.
Tipe-tipe budaya politik berkembang dipengaruhi oleh karakteristik yang ada dalam masyarakat. Tipe-tipe budaya politik ini dapat dibedakan dalam (1) Budaya Politik Parokil, (2) Budaya Politik Subjek dan (3) Budaya Politik Partisipan. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia menurut Clifford Geerts adalah (1) Budaya Politik Abangan, (2) Budaya Politik Santri, dan (3) Budaya Politik Priyayi.
Dalam perkembangannya tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem politik yang berlaku, sehingga di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok (1) Orde lama, (2) Orde Baru, dan (3) Reformasi, dengan melaksanakan multi partai yang berkembang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada, semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Sosialisasi politik memperhatikan aspek homogenitas dan heterogenitas. Di negara Indonesia fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembaga legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Bentuk partisipasi politik yang dikembangkan di negara Indonesia adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional dan di wujudkan dengan menampilkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Daftar Pustaka
Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict,
R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.
Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.
Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.
Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982
TEORI NEGARA
TEORI TERJADINYA NEGARA DAN TUJUAN NEGARA
PENDAHULUAN
Negara merupakan salah satu faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya (lihat: Bachriadi, 2001, Lucas, 1997a, Ruwiastuti, 1997, Fauzi, 1999, Stanley, 1999, Sakai, 2002 dan 2003, Afrizal, 2005 dan 2006). Namun pada umumnya analisis hubungan negara dengan konflik agraria tidak dibingkai dengan teori yang jelas, dan kalaupun ada pada umumnya mengguna -kan Teori Marxis, Teori Pluralisme Hukum dan Teori Kebijakan Publik yang mem-punyai kemampuan analisis terbatas. Argumentasi pokok ketiga teori tersebut sebagai berikut. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tan ah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis. Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pi -hak, terutama hukum adat dan hukum ne-gara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1999:6, Ruwiyastuti, 1997, Biezeveld, 2001). Teori Kebijakan Publik, yang juga banyak dipakai, menegaskan bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tetentu dari negara, seperti kebijakan pembangunan dan revolusi hijau.
Ketiga teori tersebut mempunyai penjelasan yang terbatas. Apabila menggunakan Teori Marxis, perhatian diberikan kepada konflik antar dua kelas, yaitu konflik antar kelas pemilik atau pengontrol tanah dengan kelas yang tidak memiliki tanah. Keterlibatan negara dalam konflik agraria dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi kapitalis di suatu masyarakat dimana negara berprilaku sebagai instrumen kapitalis. Teori Kebijakan Publik mengarahkan peneliti untuk menganalisis konsekuensi dari kebijakan negara dan inilah yang dilihat sebagai penyebab konflik agraria. Apabila menggunakan Teori Pluralisme Hukum maka akan terlihat konflik agraria akibat dari pertentangan hukum yang dibuat oleh negara dengan hukum adat, mengakibat-kan hukumnya menjadi sentral analisis (Afrizal, 20 05a:13-27). Ketiga teori ini tidak dapat dipakai untuk mengkaji konflik agraria akibat dari pengaruh negara yang makin kuat dalammasyarakat sipil yang disebabkan oleh negara modern yang penetratif. Dapat disimpulkan berdasarkan penelitian ini bahwa teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan negara sebagai penyebab konflik agraria dan penentu resolusinya adalah teori formasi negara.
TEORI TERJADINYA NEGARA
Menurut Plato negara tumbuh dibagi atas beberapa taraf yaitu:
1. Bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Untuk hidup manusia berkehendak akan bantuan mahluk lain.
2. Disebabkan manusia tidak bisa hidup sendiri maka berkumpullah mereka untuk memperundingkan cara memperoleh bahan – bahan primer ( makanan, tempat dan pakaian ). Lalu terjadilah pembagian pekerjaan dimana masing – masing harus menghasilkan lebih dari keperluannya sendiri untuk diprtukarkan dan dengan demikian berdirilah desa.
3. Antara desa dengan desa yang lain terjadi pula kerja sama dan terdirilah mayarakat negara. Antara negara – negara dengan negara terjadi juga kerja sama karena perlunya bantuan satu terhadap lainnya dan terjadilah hubungan internasional
Megenai asal usul terjadinya negara, Aritoteles berkata bahwa negara tumbuh secara “evolusi”. Jka sejumlah keluarga, disamping kerja sama mendapatkan bahan – bahan primer, bersatu juga untuk kepentingan – kepentingan lain misalnya ketertiban, maka tumbuhlah desa dan jika antara beberapa desa terjadi lagi kerjasama maka timbulah negara. Menurut Aristoteles, negara merupakan asosiasi yang setinggi – setingginya dan yang sempurna – sempurnanya yang dapat dicapai oleh manusia untuk keperluan hidup bersama.
Mengenai asal mula dan kejadian negara ada beberapa teori dan ada pula yang menerangkannya berdasarkan kejadian – kejadian yang nyata. Diantara teori – teori itu terdapat antara lain:
1. Teori ketuhanan.
2. Teori perjanjian.
3. Teori kekuasaan.
4. Teori kedaulatan.
Ad.1. menurut teori ketuhanan, negara terbentuk atas perkenaan Tuhan. Suatu negara tidak atau belum akan terjadi, jika Tuhan belum menghendakinya. Tanda-tanda dari pada paham ini dapat dilihat dari kalimat, “by the grace of god”, pada uud berbagai negara.
Maka dikatakanlah bahwa asal usul raja-raja yang memerintah adalah penjelmaan dewa-dewa, misalnya Raja Iskandar Dzulkarnaen dinyatakan sebagai putera Zeus Ammon, Mikado di jepang sebagai turunan dewa matahari. Maka dengan demikian diterima sajalah bahwa kekuasaan itu hanya dipindahkan oleh Tuhan atau Dewa-Dewa. Kepada manusia sehingga masalahnya tidak dapat dipecahkan secara ilmu pengetahuan oleh manusia biasa.
Terbukti teori diatas, mendapat kritikan. Misalnya teori keTuhanan (teori teokratis) seperti yang dianut oleh Friendrich julius stahl, dalam bukunya Die philosophie des recht, masih belum dapat dipertahankan seluruhnya dan menimbulkan pertentangan dan kesulitan dazlam praktek. Karena menurut teori itu kekuasaan itu hanya dipindahkan oleh Tuhan saja kepada seseorang atau golongan tertentu, dan ini harus diterima demikian saja, sehingga soalnya tidak terpecahkan secara ilmu pengetahuan. Dapat lagi menimbulkan pertanyaan, misalnya kalau terjadi perang antara dua kekuasaan dasn kalau sepihak kalah, maka kekuasaan manakah lagi yang diyakini sebagai kekuasaan atas kehendak Tuhan? Bagaimana pula kalau dalam suatu negara berdiri lebih dari satu pemegang kekuasaan?
Ad.2. menurut teori perjanjian, negara terbentuk karena antara sekelompok manusia, yang tadinya masing-masing hidup sendiri-sendiri, diadakan suatu perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kahidupan bersama.
Teori ini dikenal sebagai teori kontrak sosial (teori perjanjian masyarakat) pengemuka teori ini adalah: Thomas Hobbes, yang berpendapat bahwa negara yang dibuat berdasarkan perjanjian masyarakat ini harus berbentuk kerajaan (monarchie); dan Jean Jaques Rousseatu yang menghendaki organisasi negara itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial) pun mendapat kritikan dan tantangan, sarjana-sarjana yang menolak teori ini antara lain: David Hume, Kranenburg, Utrecht, Laski.
Beberapa pendapat tentang teori perjanjian
1. David Hume (1711-1776), sarjana abad 18. David Hume menolak doktrin social contract (perjanjian kemasyarakatan). Ia berkata “the state of nature is only a creation of the immagination”. Maksudnya: keadaan alam bebas itu adalah semata-mata kreasi imaginair (khayalan). Yang benar-benar menurut kenyataan demikian Hume adalah bahwa masyarakat itu didirikan oleh dorongan naluri seksuil. Pada taraf pertama, naluri seksuil dikendalikan oleh simpati sepontan: pada taraf kedua, naluri disokong oleh kebiasaan; sedang pada taraf ketiga, timbullah keinsyafanakan perlunya bermasyarakat. Menurut Hume dasar bagi terbentuknya masyarakat ialah “keluarga”. Lingkungan keluarga ini makin lama makin dan lalu perlu adanya suatu pemerintahan yang bisa mengekang egoisme anggota-anggotanya. Pemerintahan ini tidaklah terbentuk atas dasar perjanjian, tapi tumbuh dengan jalan kekerasan.
2. Utrecht, menulis tentang perjanjian: “kita sekarang tidak dapt menerima teori perjanjian negara tersebut. Anggapan, bahwa sesuatu saat anggota masyarakat menurut keyakinan atau keinsyafan dengan sengaja membentuk suatu organisasi yang dinamakannya “negara” tidak dapat dianut lagi.seperti dikatakan oleh Van Khan: kalau pada sesuatu saat tertentu kesadaran kemasyarakatan dan kekuasaasn kemasyarakatan sudah menjadi kuat, maka disitulah lahir negara. Negara terjai bukanlah suatu perjanjian yang dilakukan dengan sengaja pada suatu “rapat raksasa” pada suatu saat tertentu, tetapi karena suatu proses yang ada dalam suatu bangsa. Apabila dalam masyarakat bangsa ada ikatan sosial yang lebih kuat, maka dengan sendirinya masyarakat bangsa itu mengenal suatu organisasi negara.
3. prof. m. Nasrun SH, mengakui kebenaran kritik kranenburg terhadap teori perjanjian masyarakat ini, yaitu terlalu abstrak dan deduktif, dan bahwa teori itu lebih banyak menimbulkan kekacauan daripada kejernihan. Tetapi Nasrun mengakui pula adanya persamaan pendapatnya sendiri dengan teori: perjanjian masyarakat tadi. Yaitu bahwa asal mula negara itu adalah kemauan bersama dari orang-orang yang bersangkutan. Perbedaan pendapatnya dengan teori itu, ialah selain mengenai pangkal permulaan dan saatnya serta tempat lahirnya negara itu, juga bahwa Nasrun berpendapat asal mula negara itu tidaklah abstrak tetapi merupakan suatu kenyataan. Negara itu adalh hasil usaha manusia dalam menyusun dan menghadapi soal hidup dan pergaulan hidupnya. Dan sebagaimana tiap-tiap usaha manusia adalah berdasarkan kemauan manuia, dan kemauan inipun adalah konkrit pula dimana itu ada.
Ad. 3. teori kekuasaan. Kekuasaan itu adalah ciptaan mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa. Dalam suasana alam bebas (status naturalis) itu mereka yang paling kuat, berani dan berkemauan teguh telah memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Alam sendiri menunjukkan demikian kata kallikles bahwa bila orang-orang yang lebih baok telah memperoleh kekuasaan yang lebih besar dari pada yang kurang baik, maka disitulah keadilan, demikian juga orang yang lebih kuat terhadap orang yang lebih lemah. Sudah sering terbukti, bahwa yang demikian terdapat pada manusia maupun mahluk lain, bahkan pada negara-negara bahwa yang kuat memerintah (menguasai) yang lemah.
Voltaire, berkata: “raja yang pertama ialah pahlawan yang menang”. Marx mengajarkan, bahwa negara adalah hasil pertarungan antara kekuatan-kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah, dan negara itu akan lenyap kalau perbedaan kelas itu tidak ada lagi.
Laski berpendapat yang bersamaan dengan marx, yakni bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa (“coercive instrument”), demikian untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap, sebab kalau tidak demikian maka pergaulan hidup itu takkan dapat menjamin nafkahnya.
Plato dalam bukunya “politeia” dikemukakan pernyataan thrasymachos, bahwa keadilan itu adalah kepentingan sikuat yang menuntut penataan kepada kekuasaan yang ada, berarti bahwa hukum dan kepentingan yang berkuasa adalah satu.
Ad. 4. teori kedaulatan. Ada 4 teori kedaulatan yaitu:
1. Teori kedaulatan Tuhan
2. Teori kedaulatan hukum
3. Teori kedaulatan rakyat
4. Teori kedaulatan negara
1.1 menurut teori kedaulatan Tuhan, yang disebut juga teori teokrasi, kekuasaan tertinggi dalm negara adalah berasal dari Tuhan, jadi didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia barat tapi juga timur. Kalau pemerintah negara itu berbentuk kerajaan (monarchie) maka dinasty yang memerintah disana dianggap turunan dan mendapat kekuasan dari Tuhan.
1.2 Teori kedaulatan hukum, menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari kesadaran hukum manusia, dan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan. Kesadarn hukum inilah yang membedakan mana adil dan mana yang tidak adil. Kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapu terletak didalam manusia. Ditegaskan bahwa negara harus menaati tata tertib hukum, karena hukum itu terletak diatas negara. Negara menjadi organisasi sosial yang juga tunduk pada sesuatu yang derajatnya lebih tinggi, dan sesuatu itu biasa disebut hukum.
1.3 Teori kedaulatan rakyat, menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah.bila mana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “volonte generale” oleh j.j. Rousseau. Raja memerintah hanya sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.
1.4 Teori kedaulatan negara, menurut oaham ini, negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Dari itu negara (dalam arti gouvernment = pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty and property dari warganya.warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, bila perlu dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara.mereka taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena hukum itu adalh kehendak negara.
B. TEORI-TEORI TUJUAN NEGARA
Beberapa teori tujuan negara:
1. Teori Fasisme
Tujuan negara menurut teori fasisme adalah imperium dunia. Pemimpin bercita-cita untuk mempersatukan semua bangsa di dunia menjadi satu tenaga atau kekuatan bersama. Beberapa negara yang pernah menganut fasisme antara lain Italia ketika dipimpin oleh Benito Mussolini, Jerman ketika dipimpin Adolf Hitler, dan Jepang ketika dipimpin Tenno Heika.
2. Teori Individualisme
Teori individualisme berpendapat bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam urusan pribadi, ekonomi, dan agama bagi warga negaranya. Tujuan dibentuknya negara hanyalah berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban individu serta menjamin kebebasan seluas-luasnya dalam memperjuangkan kehidupannya.
3. Teori Sosialisme
Teori sosialisme berpendapat bahwa negara mempunyai hak campur tangan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal mi dilakukan agar tujuan negara dapat tercapai. Tujuan negara sosialis adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap anggota masyarakat.
4. Teori Integralistik
Teori integralistik berpendapat bahwa tujuan negara itu merupakan gabungan dan paham individualisme dan sosialisme. Paham integralistik ingin menggabungkan kemauan rakyat dengan penguasa (negara). Paham integralistik beranggapan bahwa negara didirikan bukan hanya untuk kepentingan perorangan atau golongan tertentu saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat negara yang bersangkutan.
Paham integralistik melihat negara sebagai susunan masyarakat yang integral, dan anggota-anggotanya saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan yang organis. Paham integralistik diperkenalkan oleh Prof. Dr. Supomo pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 30 Mei 1945. Paham Integralistik merupakan aliran pemikiran yang sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan tolong-menolong.
Pentingnya Pengakuan Suatu Negara oleh Negara Lain:
Tata hubungan intemasional menghendaki status negara merdeka sebagai syarat yang harus dipenuhi. Pengakuan dan negara lain juga merupakan modal bagi suatu negara untuk diakui sebagai negara yang merdeka. Pengakuan negara terhadap negara lain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengakuan secara de Facto dan de Jure.
Teori-teori tujuan negara menurut Lord Shang:
Menurut Lord Shang, didalam setiap nagara terdapat subyek yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu pemerintah dan rakyat. Kalau yang satu kuat yang lainnya tentu lemah. Yang sebaliknya pihak pemerintah yang lebih kuat daripada pihak rakyat, supaya jangan timbul kekacauan dan anarchis. Karena itu pemerintah harus selalu berusaha supaya ia lebih kuat daripada rakyat.
Menurut Lord Shang, kebudayaan adalah merugikan bagi negara. Jika dalam suatu negara terdapat hal-hal yang berikut:
1. rites (adat)
2. music (musik)
3. odes (nyanyian)
4. history (riwayat)
5. virtue (kebaikan)
6. moral culture (kesusilaan)
7. filial picty (hormat pada orang tua)
8. brotherly duty (kewajiban persaudaraan)
9. integrity (kejujuran)
10. sophistry (sofisme)
maka takkan dapatlah lagi raja mengerahkan tenaga rakyat dan bencanapun tak dapat lagi dihindarkan. Tapi kalau negara tidak terdapat “ten evils” yang disebut itu, tentu raja akan dapat mengendalikan rakyat dan negarapun kuat. Maka sebaliknya, korbankanlah “kebudayaan rakyat”, untuk kepentingan kebesaran negara. Penting adanya tentara yang unggul tapi tidak membiarkan rakyat tetap bodoh. Tujuan yang utama ialah suatu pemerintah yang berkuasa penuh terhadap rakyat.
Teori-teori tujuan negara menurut Niccolo Macchiavelli:
Menurut Macchiavelli, pemerintah harus selalu berusaha agar tetap berada diatas segala aliran-aliran yang ada dan bagaimanapun lemahnya pemerintah, harus ia perlihatkan bahwa ia tetap lebih berkuasa. Kalau yang demikian tercapai banyak harapan akan terciptanya kemakmuran. Inilah tujuan utama bagi negara.
Macchiavelli berkata, bahwa pemerintah kadang-kadang harus bersikap sebagai singa terhadap rakyatnya supaya rakyat takut kepada pemerintah, dan sebaliknya kadang-kadang harus bersikap sebagai kancil yang cerdik untuk menguasai rakyat. Bila perlu, negara boleh mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain, asal saja tidak merugikan bagi kesejahteraan negara dan rakyat.
Teori-teori tujuan negara menurut kaum sosialis:
Bagi kaum sosialis, dasar ialah bahwa semua manusia dilahirkan dengan hak-hak yang sama dan berhak atas perlakuan yang sama. Karena itu tujuan bernegara bagi kaum sosialis ialah: memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap manusia. Kebahagiaan itu hanya dapat terwujud jikalau setiap manusia mempunyai mata pencarian yang memberi penghasilan yang layak, dan adanya jaminan-jaminan bahwa hak-hak azasi dan kebebasan manusia tidak dilanggar. Oleh karena manusia itu bersifat egois, maka pemberian rezeki yang layak dan jaminan-jaminan atas hak dan kebebasan itu tidak akan terwujud dengan sendirinya didalam masyarakat, jika tidak diusahakan dan diatur dalam undang-undang. Karena itu dalam ketatanegaraan harus diwujudkan sistem perekonomian yang memungkinkan pembagian rezeki yang merata dikalangan rakyat itu dapat berakibat mengurangi hak-hak azasi seorang atas hartanya yang berlebih-lebihan dan yang menghalangi pembagian rezeki jauh merata itu.
Teori-teori tujuan negara menurut kaum kapitalis:
Bagi kaum kapitalis, dasar ialah bahwa tiap-tiap orang lebih berbakti kepada masyarakat jika masing-masing mencoba mencapai tujuannya sendiri-sendiri. Kebahagian untuk semua orang hanya tercapai, kalau setiap orang mencoba mencapai kebahagiannya sendiri-sendiri, sesuai dengan filsafah itu, kaum kapitalis memperjuangkan gerak hidup yang bebas (liberal) dengan persaingan yang bebas pula, dan sesuatu itu dalam rangka tatasusila yang beradap dan undang-undang.
Dunia perekonomian menurut pandangan kaum kapitalis ialah seakan mahluk hidup yang maju atau mundur mencari keseimbangannya sendiri. Yang mendorong perkembangan dilapangan produksi ialah kepentingan diri manusia sendiri, keinginan yang sewajarnya untuk memperbaiki keadaannya. Perekonomian yang bebas menimbulkan terbukanya sumber-sumber mata pencarian dan dengan demikian terjadi pembagian pekrjaan dalam mayarakat dan ini menyebabkan bertambahnya kekayaan masyarakat itu.
TEORI FORMASI NEGARA
Konsep formasi negara yang dipakai dalam artikel ini mengacu kepada perkembangan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya serta perluasan jangkauannya terhadap masyarakat sipil. Schiller (1996) memakai konsep ini untuk menjelaskan makin kuat dan makin berpengaruhnya negara dalam urusan masyarakat sipil di Jepara sebagai konsekuensi dari perluasan peran pemerintah kabupaten setempat.
Hal -hal yang dulu diluar dari jangkauan negara, kemudian telah berada dibawah intervensi negara, hal -hal yang dulu tidak diatur oleh negara menjadi diatur oleh negara. Sama dengan Schiller, Lounela (2002:51 -78) dan Agrawal (2001) menggunakan konsep ini untuk mengetahui betapa negara semakin besar pengaruhnya dalam mengatur wilayah yang biasanya menjadi urusan masyarakat lokal.
Dalam kajiannya mengenai hutan, mereka mengungkapkan bahwa hutan yang dulu dikelola oleh rakyat, sekarang diintervensi oleh negara dan telah diurus oleh lembaga negara dengan mengesampingkan pengelolaan oleh komunitas adat. Formasi negara dengan demikian mengacu: kepada aktivitas -aktivitas negara yang berakibat terhadap formalisasi dan sistematisasi tindak an sosial dan dengan demikian mempertegas pembagian kerja antara negara dan masyarakat. Hal ini meliputi (a) penciptaan peraturan baru untuk mempertegas batasan apa yang diper -bolehkan oleh negara dan apa yang tidak, (b) institusi untuk menjalankan aturan tersebut. Pejabat negara menjadi interpreter dan pemaksa (Agrawal, 2001:12-13).
NEGARA PENETRATIF
Negara modern adalah aktor pengatur utama dan mengatur banyak hal kehidupan sosial (Torpey, 1998:242-23). Dalam hal ini, memakai konsepnya Schiller (2003:5 ), negara modern merupakan negara penentu daya (powerhouse state). Umpamanya, negara memainkan peranan penting bagi berjalannya pasar dan transformasi per -tanian (Petras & Veltmeyer, 2002:43). Sejalan dengan itu, Giddens (1987) mengungkapkan bahwa negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas sosial. Rakyat tidak boleh melakukan sesuatu, sedangkan negara diperbolehkan oleh negara itu sendiri. Sebagai contoh, katanya, penggunaan kekerasan oleh negara merupakan tindakan yang sah men urut negara, sedangkan penggunaan kekerasan oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum oleh negara.
Mengapa negara makin masuk ke dalam kehidupan masyarakat sipil? Salah satu pandangan adalah masuknya negara untuk mengurus kehidupan masyarakat sipil mer upakan tendensi umum dalam masyarakat moderen disebabkan oleh kebutuhan negara itu sendiri. Pertama, aparatur negara merangkul dan mengontrol masyarakat sipil untuk tujuan -tujuan politis. Negara perlu mengurus masyarakat sipil guna mengontrol berbagai elem en dalam masyarakat sipil yang membahayakan kekuasaan rezim yang berkuasa seperti kejadian selama rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia (Hadiwinata, 2003:55; Masoe’d ,1989:166; dan Boileau, 1983:7). Kedua, negara mengintervensi kehidupan masyarakat madani untuk kepentingan ekonomis aparatur negara itu sendiri. Dalam kajiannya mengenai hubungan negara dengan masyarakat sipil di Jepara, Schiller (1996:266-267) menunjukkan bahwa makin banyaknya program –program pembangunan yang berhasil diraih oleh pemerintah s etempat dari pemerintah pusat untuk mereka lakukan sendiri di kabupaten Jepara telah mendatangkan keuntungan ekonomis bagi pejabat - pejabat setempat. Ketiga, negara juga perlu mengintervensi masyarakat sipil untuk menyukseskan program-program pembangunannya untuk meraih sumber pendapatan baginya (Lindblom, 1977:170-188 dan Torpey, 1998: 244).
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masya-rakat Indonesia Kontemporer (Padang: Andalas University Press, 2006).
_______, “The Nagari Community, Business and the State: The Origin and the Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumate ra, Indonesia,” Disertasi (Flinders: Asia Centre of Faculty of Social Sciences Flinders University, 2005).
Bachriadi, D., “Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer,” dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmura n Rakyat (Yogyakarta: Lepera Pustaka Utama, 2001).
Benda-Beckmann, Von, F.& Von K. Benda -Beckmann, “Social Security, Natural Resources Management And Legal Complexity,” makalah dalam Seminar on Legal Complexity, Natural Resources Management and Social Security, Padang, 6 -9 November 1999.
Biezeveld, R., “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumater a Barat, “ dalam Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Giddens, A., The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of Historical Materialism (Berkeley: University of California Press, 1987).
Linblom, Ch., E., Politics and Market: The World’s Political -Economic Systems (New York: Basic Books, 1977).
Lucas, A., “Land Disputes, the Bureaucracy, and Local Resistance in Indonesia,” dalam Imaging Indonesia: Cultural Politics and Political Culture (Ohio: Centre For International Studies, 1997a)
Sakai, M., “The Privatisation of Padang Cement: Regional Identity and Economic Hegemony in the Era of De-centralisation,” dalam Local Power And Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2003).
Schiller, J., Developing Jepara: State and Society in Ne w Order Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996).
Torpey, J., ‘Coming and Going on the State Monopolization of the Legitimate ‘Means of Movement,” Sociological Theory: A Journal of the American Sociological Association , XVI, No. 3, 1998.
PENDAHULUAN
Negara merupakan salah satu faktor penting penyebab konflik agraria, sementara solusi konflik itu sangat tergantung pula kepadanya (lihat: Bachriadi, 2001, Lucas, 1997a, Ruwiastuti, 1997, Fauzi, 1999, Stanley, 1999, Sakai, 2002 dan 2003, Afrizal, 2005 dan 2006). Namun pada umumnya analisis hubungan negara dengan konflik agraria tidak dibingkai dengan teori yang jelas, dan kalaupun ada pada umumnya mengguna -kan Teori Marxis, Teori Pluralisme Hukum dan Teori Kebijakan Publik yang mem-punyai kemampuan analisis terbatas. Argumentasi pokok ketiga teori tersebut sebagai berikut. Teori Marxis menyatakan bahwa konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya (tesis ploretarisasi). Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tan ah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis. Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pi -hak, terutama hukum adat dan hukum ne-gara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka (Benda-Beckmann & Benda-Beckmann, 1999:6, Ruwiyastuti, 1997, Biezeveld, 2001). Teori Kebijakan Publik, yang juga banyak dipakai, menegaskan bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tetentu dari negara, seperti kebijakan pembangunan dan revolusi hijau.
Ketiga teori tersebut mempunyai penjelasan yang terbatas. Apabila menggunakan Teori Marxis, perhatian diberikan kepada konflik antar dua kelas, yaitu konflik antar kelas pemilik atau pengontrol tanah dengan kelas yang tidak memiliki tanah. Keterlibatan negara dalam konflik agraria dilihat sebagai konsekuensi dari perkembangan ekonomi kapitalis di suatu masyarakat dimana negara berprilaku sebagai instrumen kapitalis. Teori Kebijakan Publik mengarahkan peneliti untuk menganalisis konsekuensi dari kebijakan negara dan inilah yang dilihat sebagai penyebab konflik agraria. Apabila menggunakan Teori Pluralisme Hukum maka akan terlihat konflik agraria akibat dari pertentangan hukum yang dibuat oleh negara dengan hukum adat, mengakibat-kan hukumnya menjadi sentral analisis (Afrizal, 20 05a:13-27). Ketiga teori ini tidak dapat dipakai untuk mengkaji konflik agraria akibat dari pengaruh negara yang makin kuat dalammasyarakat sipil yang disebabkan oleh negara modern yang penetratif. Dapat disimpulkan berdasarkan penelitian ini bahwa teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan negara sebagai penyebab konflik agraria dan penentu resolusinya adalah teori formasi negara.
TEORI TERJADINYA NEGARA
Menurut Plato negara tumbuh dibagi atas beberapa taraf yaitu:
1. Bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Untuk hidup manusia berkehendak akan bantuan mahluk lain.
2. Disebabkan manusia tidak bisa hidup sendiri maka berkumpullah mereka untuk memperundingkan cara memperoleh bahan – bahan primer ( makanan, tempat dan pakaian ). Lalu terjadilah pembagian pekerjaan dimana masing – masing harus menghasilkan lebih dari keperluannya sendiri untuk diprtukarkan dan dengan demikian berdirilah desa.
3. Antara desa dengan desa yang lain terjadi pula kerja sama dan terdirilah mayarakat negara. Antara negara – negara dengan negara terjadi juga kerja sama karena perlunya bantuan satu terhadap lainnya dan terjadilah hubungan internasional
Megenai asal usul terjadinya negara, Aritoteles berkata bahwa negara tumbuh secara “evolusi”. Jka sejumlah keluarga, disamping kerja sama mendapatkan bahan – bahan primer, bersatu juga untuk kepentingan – kepentingan lain misalnya ketertiban, maka tumbuhlah desa dan jika antara beberapa desa terjadi lagi kerjasama maka timbulah negara. Menurut Aristoteles, negara merupakan asosiasi yang setinggi – setingginya dan yang sempurna – sempurnanya yang dapat dicapai oleh manusia untuk keperluan hidup bersama.
Mengenai asal mula dan kejadian negara ada beberapa teori dan ada pula yang menerangkannya berdasarkan kejadian – kejadian yang nyata. Diantara teori – teori itu terdapat antara lain:
1. Teori ketuhanan.
2. Teori perjanjian.
3. Teori kekuasaan.
4. Teori kedaulatan.
Ad.1. menurut teori ketuhanan, negara terbentuk atas perkenaan Tuhan. Suatu negara tidak atau belum akan terjadi, jika Tuhan belum menghendakinya. Tanda-tanda dari pada paham ini dapat dilihat dari kalimat, “by the grace of god”, pada uud berbagai negara.
Maka dikatakanlah bahwa asal usul raja-raja yang memerintah adalah penjelmaan dewa-dewa, misalnya Raja Iskandar Dzulkarnaen dinyatakan sebagai putera Zeus Ammon, Mikado di jepang sebagai turunan dewa matahari. Maka dengan demikian diterima sajalah bahwa kekuasaan itu hanya dipindahkan oleh Tuhan atau Dewa-Dewa. Kepada manusia sehingga masalahnya tidak dapat dipecahkan secara ilmu pengetahuan oleh manusia biasa.
Terbukti teori diatas, mendapat kritikan. Misalnya teori keTuhanan (teori teokratis) seperti yang dianut oleh Friendrich julius stahl, dalam bukunya Die philosophie des recht, masih belum dapat dipertahankan seluruhnya dan menimbulkan pertentangan dan kesulitan dazlam praktek. Karena menurut teori itu kekuasaan itu hanya dipindahkan oleh Tuhan saja kepada seseorang atau golongan tertentu, dan ini harus diterima demikian saja, sehingga soalnya tidak terpecahkan secara ilmu pengetahuan. Dapat lagi menimbulkan pertanyaan, misalnya kalau terjadi perang antara dua kekuasaan dasn kalau sepihak kalah, maka kekuasaan manakah lagi yang diyakini sebagai kekuasaan atas kehendak Tuhan? Bagaimana pula kalau dalam suatu negara berdiri lebih dari satu pemegang kekuasaan?
Ad.2. menurut teori perjanjian, negara terbentuk karena antara sekelompok manusia, yang tadinya masing-masing hidup sendiri-sendiri, diadakan suatu perjanjian untuk mengadakan suatu organisasi yang dapat menyelenggarakan kahidupan bersama.
Teori ini dikenal sebagai teori kontrak sosial (teori perjanjian masyarakat) pengemuka teori ini adalah: Thomas Hobbes, yang berpendapat bahwa negara yang dibuat berdasarkan perjanjian masyarakat ini harus berbentuk kerajaan (monarchie); dan Jean Jaques Rousseatu yang menghendaki organisasi negara itu berdasarkan kedaulatan rakyat.
Teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial) pun mendapat kritikan dan tantangan, sarjana-sarjana yang menolak teori ini antara lain: David Hume, Kranenburg, Utrecht, Laski.
Beberapa pendapat tentang teori perjanjian
1. David Hume (1711-1776), sarjana abad 18. David Hume menolak doktrin social contract (perjanjian kemasyarakatan). Ia berkata “the state of nature is only a creation of the immagination”. Maksudnya: keadaan alam bebas itu adalah semata-mata kreasi imaginair (khayalan). Yang benar-benar menurut kenyataan demikian Hume adalah bahwa masyarakat itu didirikan oleh dorongan naluri seksuil. Pada taraf pertama, naluri seksuil dikendalikan oleh simpati sepontan: pada taraf kedua, naluri disokong oleh kebiasaan; sedang pada taraf ketiga, timbullah keinsyafanakan perlunya bermasyarakat. Menurut Hume dasar bagi terbentuknya masyarakat ialah “keluarga”. Lingkungan keluarga ini makin lama makin dan lalu perlu adanya suatu pemerintahan yang bisa mengekang egoisme anggota-anggotanya. Pemerintahan ini tidaklah terbentuk atas dasar perjanjian, tapi tumbuh dengan jalan kekerasan.
2. Utrecht, menulis tentang perjanjian: “kita sekarang tidak dapt menerima teori perjanjian negara tersebut. Anggapan, bahwa sesuatu saat anggota masyarakat menurut keyakinan atau keinsyafan dengan sengaja membentuk suatu organisasi yang dinamakannya “negara” tidak dapat dianut lagi.seperti dikatakan oleh Van Khan: kalau pada sesuatu saat tertentu kesadaran kemasyarakatan dan kekuasaasn kemasyarakatan sudah menjadi kuat, maka disitulah lahir negara. Negara terjai bukanlah suatu perjanjian yang dilakukan dengan sengaja pada suatu “rapat raksasa” pada suatu saat tertentu, tetapi karena suatu proses yang ada dalam suatu bangsa. Apabila dalam masyarakat bangsa ada ikatan sosial yang lebih kuat, maka dengan sendirinya masyarakat bangsa itu mengenal suatu organisasi negara.
3. prof. m. Nasrun SH, mengakui kebenaran kritik kranenburg terhadap teori perjanjian masyarakat ini, yaitu terlalu abstrak dan deduktif, dan bahwa teori itu lebih banyak menimbulkan kekacauan daripada kejernihan. Tetapi Nasrun mengakui pula adanya persamaan pendapatnya sendiri dengan teori: perjanjian masyarakat tadi. Yaitu bahwa asal mula negara itu adalah kemauan bersama dari orang-orang yang bersangkutan. Perbedaan pendapatnya dengan teori itu, ialah selain mengenai pangkal permulaan dan saatnya serta tempat lahirnya negara itu, juga bahwa Nasrun berpendapat asal mula negara itu tidaklah abstrak tetapi merupakan suatu kenyataan. Negara itu adalh hasil usaha manusia dalam menyusun dan menghadapi soal hidup dan pergaulan hidupnya. Dan sebagaimana tiap-tiap usaha manusia adalah berdasarkan kemauan manuia, dan kemauan inipun adalah konkrit pula dimana itu ada.
Ad. 3. teori kekuasaan. Kekuasaan itu adalah ciptaan mereka-mereka yang paling kuat dan berkuasa. Dalam suasana alam bebas (status naturalis) itu mereka yang paling kuat, berani dan berkemauan teguh telah memaksakan kemauannya kepada pihak yang lemah. Alam sendiri menunjukkan demikian kata kallikles bahwa bila orang-orang yang lebih baok telah memperoleh kekuasaan yang lebih besar dari pada yang kurang baik, maka disitulah keadilan, demikian juga orang yang lebih kuat terhadap orang yang lebih lemah. Sudah sering terbukti, bahwa yang demikian terdapat pada manusia maupun mahluk lain, bahkan pada negara-negara bahwa yang kuat memerintah (menguasai) yang lemah.
Voltaire, berkata: “raja yang pertama ialah pahlawan yang menang”. Marx mengajarkan, bahwa negara adalah hasil pertarungan antara kekuatan-kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah, dan negara itu akan lenyap kalau perbedaan kelas itu tidak ada lagi.
Laski berpendapat yang bersamaan dengan marx, yakni bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa (“coercive instrument”), demikian untuk menjamin kelanjutan hubungan produksi yang tetap, sebab kalau tidak demikian maka pergaulan hidup itu takkan dapat menjamin nafkahnya.
Plato dalam bukunya “politeia” dikemukakan pernyataan thrasymachos, bahwa keadilan itu adalah kepentingan sikuat yang menuntut penataan kepada kekuasaan yang ada, berarti bahwa hukum dan kepentingan yang berkuasa adalah satu.
Ad. 4. teori kedaulatan. Ada 4 teori kedaulatan yaitu:
1. Teori kedaulatan Tuhan
2. Teori kedaulatan hukum
3. Teori kedaulatan rakyat
4. Teori kedaulatan negara
1.1 menurut teori kedaulatan Tuhan, yang disebut juga teori teokrasi, kekuasaan tertinggi dalm negara adalah berasal dari Tuhan, jadi didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia barat tapi juga timur. Kalau pemerintah negara itu berbentuk kerajaan (monarchie) maka dinasty yang memerintah disana dianggap turunan dan mendapat kekuasan dari Tuhan.
1.2 Teori kedaulatan hukum, menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari kesadaran hukum manusia, dan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan. Kesadarn hukum inilah yang membedakan mana adil dan mana yang tidak adil. Kekuasaan hukum itu tidak terletak diluar manusia tetapu terletak didalam manusia. Ditegaskan bahwa negara harus menaati tata tertib hukum, karena hukum itu terletak diatas negara. Negara menjadi organisasi sosial yang juga tunduk pada sesuatu yang derajatnya lebih tinggi, dan sesuatu itu biasa disebut hukum.
1.3 Teori kedaulatan rakyat, menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakili kekuasaannya kepada suatu badan yaitu pemerintah.bila mana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “volonte generale” oleh j.j. Rousseau. Raja memerintah hanya sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.
1.4 Teori kedaulatan negara, menurut oaham ini, negaralah sumber kedaulatan dalam negara. Dari itu negara (dalam arti gouvernment = pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty and property dari warganya.warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, bila perlu dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara.mereka taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena hukum itu adalh kehendak negara.
B. TEORI-TEORI TUJUAN NEGARA
Beberapa teori tujuan negara:
1. Teori Fasisme
Tujuan negara menurut teori fasisme adalah imperium dunia. Pemimpin bercita-cita untuk mempersatukan semua bangsa di dunia menjadi satu tenaga atau kekuatan bersama. Beberapa negara yang pernah menganut fasisme antara lain Italia ketika dipimpin oleh Benito Mussolini, Jerman ketika dipimpin Adolf Hitler, dan Jepang ketika dipimpin Tenno Heika.
2. Teori Individualisme
Teori individualisme berpendapat bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam urusan pribadi, ekonomi, dan agama bagi warga negaranya. Tujuan dibentuknya negara hanyalah berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban individu serta menjamin kebebasan seluas-luasnya dalam memperjuangkan kehidupannya.
3. Teori Sosialisme
Teori sosialisme berpendapat bahwa negara mempunyai hak campur tangan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal mi dilakukan agar tujuan negara dapat tercapai. Tujuan negara sosialis adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap anggota masyarakat.
4. Teori Integralistik
Teori integralistik berpendapat bahwa tujuan negara itu merupakan gabungan dan paham individualisme dan sosialisme. Paham integralistik ingin menggabungkan kemauan rakyat dengan penguasa (negara). Paham integralistik beranggapan bahwa negara didirikan bukan hanya untuk kepentingan perorangan atau golongan tertentu saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat negara yang bersangkutan.
Paham integralistik melihat negara sebagai susunan masyarakat yang integral, dan anggota-anggotanya saling terkait sehingga membentuk satu kesatuan yang organis. Paham integralistik diperkenalkan oleh Prof. Dr. Supomo pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 30 Mei 1945. Paham Integralistik merupakan aliran pemikiran yang sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan tolong-menolong.
Pentingnya Pengakuan Suatu Negara oleh Negara Lain:
Tata hubungan intemasional menghendaki status negara merdeka sebagai syarat yang harus dipenuhi. Pengakuan dan negara lain juga merupakan modal bagi suatu negara untuk diakui sebagai negara yang merdeka. Pengakuan negara terhadap negara lain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengakuan secara de Facto dan de Jure.
Teori-teori tujuan negara menurut Lord Shang:
Menurut Lord Shang, didalam setiap nagara terdapat subyek yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu pemerintah dan rakyat. Kalau yang satu kuat yang lainnya tentu lemah. Yang sebaliknya pihak pemerintah yang lebih kuat daripada pihak rakyat, supaya jangan timbul kekacauan dan anarchis. Karena itu pemerintah harus selalu berusaha supaya ia lebih kuat daripada rakyat.
Menurut Lord Shang, kebudayaan adalah merugikan bagi negara. Jika dalam suatu negara terdapat hal-hal yang berikut:
1. rites (adat)
2. music (musik)
3. odes (nyanyian)
4. history (riwayat)
5. virtue (kebaikan)
6. moral culture (kesusilaan)
7. filial picty (hormat pada orang tua)
8. brotherly duty (kewajiban persaudaraan)
9. integrity (kejujuran)
10. sophistry (sofisme)
maka takkan dapatlah lagi raja mengerahkan tenaga rakyat dan bencanapun tak dapat lagi dihindarkan. Tapi kalau negara tidak terdapat “ten evils” yang disebut itu, tentu raja akan dapat mengendalikan rakyat dan negarapun kuat. Maka sebaliknya, korbankanlah “kebudayaan rakyat”, untuk kepentingan kebesaran negara. Penting adanya tentara yang unggul tapi tidak membiarkan rakyat tetap bodoh. Tujuan yang utama ialah suatu pemerintah yang berkuasa penuh terhadap rakyat.
Teori-teori tujuan negara menurut Niccolo Macchiavelli:
Menurut Macchiavelli, pemerintah harus selalu berusaha agar tetap berada diatas segala aliran-aliran yang ada dan bagaimanapun lemahnya pemerintah, harus ia perlihatkan bahwa ia tetap lebih berkuasa. Kalau yang demikian tercapai banyak harapan akan terciptanya kemakmuran. Inilah tujuan utama bagi negara.
Macchiavelli berkata, bahwa pemerintah kadang-kadang harus bersikap sebagai singa terhadap rakyatnya supaya rakyat takut kepada pemerintah, dan sebaliknya kadang-kadang harus bersikap sebagai kancil yang cerdik untuk menguasai rakyat. Bila perlu, negara boleh mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain, asal saja tidak merugikan bagi kesejahteraan negara dan rakyat.
Teori-teori tujuan negara menurut kaum sosialis:
Bagi kaum sosialis, dasar ialah bahwa semua manusia dilahirkan dengan hak-hak yang sama dan berhak atas perlakuan yang sama. Karena itu tujuan bernegara bagi kaum sosialis ialah: memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap manusia. Kebahagiaan itu hanya dapat terwujud jikalau setiap manusia mempunyai mata pencarian yang memberi penghasilan yang layak, dan adanya jaminan-jaminan bahwa hak-hak azasi dan kebebasan manusia tidak dilanggar. Oleh karena manusia itu bersifat egois, maka pemberian rezeki yang layak dan jaminan-jaminan atas hak dan kebebasan itu tidak akan terwujud dengan sendirinya didalam masyarakat, jika tidak diusahakan dan diatur dalam undang-undang. Karena itu dalam ketatanegaraan harus diwujudkan sistem perekonomian yang memungkinkan pembagian rezeki yang merata dikalangan rakyat itu dapat berakibat mengurangi hak-hak azasi seorang atas hartanya yang berlebih-lebihan dan yang menghalangi pembagian rezeki jauh merata itu.
Teori-teori tujuan negara menurut kaum kapitalis:
Bagi kaum kapitalis, dasar ialah bahwa tiap-tiap orang lebih berbakti kepada masyarakat jika masing-masing mencoba mencapai tujuannya sendiri-sendiri. Kebahagian untuk semua orang hanya tercapai, kalau setiap orang mencoba mencapai kebahagiannya sendiri-sendiri, sesuai dengan filsafah itu, kaum kapitalis memperjuangkan gerak hidup yang bebas (liberal) dengan persaingan yang bebas pula, dan sesuatu itu dalam rangka tatasusila yang beradap dan undang-undang.
Dunia perekonomian menurut pandangan kaum kapitalis ialah seakan mahluk hidup yang maju atau mundur mencari keseimbangannya sendiri. Yang mendorong perkembangan dilapangan produksi ialah kepentingan diri manusia sendiri, keinginan yang sewajarnya untuk memperbaiki keadaannya. Perekonomian yang bebas menimbulkan terbukanya sumber-sumber mata pencarian dan dengan demikian terjadi pembagian pekrjaan dalam mayarakat dan ini menyebabkan bertambahnya kekayaan masyarakat itu.
TEORI FORMASI NEGARA
Konsep formasi negara yang dipakai dalam artikel ini mengacu kepada perkembangan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya serta perluasan jangkauannya terhadap masyarakat sipil. Schiller (1996) memakai konsep ini untuk menjelaskan makin kuat dan makin berpengaruhnya negara dalam urusan masyarakat sipil di Jepara sebagai konsekuensi dari perluasan peran pemerintah kabupaten setempat.
Hal -hal yang dulu diluar dari jangkauan negara, kemudian telah berada dibawah intervensi negara, hal -hal yang dulu tidak diatur oleh negara menjadi diatur oleh negara. Sama dengan Schiller, Lounela (2002:51 -78) dan Agrawal (2001) menggunakan konsep ini untuk mengetahui betapa negara semakin besar pengaruhnya dalam mengatur wilayah yang biasanya menjadi urusan masyarakat lokal.
Dalam kajiannya mengenai hutan, mereka mengungkapkan bahwa hutan yang dulu dikelola oleh rakyat, sekarang diintervensi oleh negara dan telah diurus oleh lembaga negara dengan mengesampingkan pengelolaan oleh komunitas adat. Formasi negara dengan demikian mengacu: kepada aktivitas -aktivitas negara yang berakibat terhadap formalisasi dan sistematisasi tindak an sosial dan dengan demikian mempertegas pembagian kerja antara negara dan masyarakat. Hal ini meliputi (a) penciptaan peraturan baru untuk mempertegas batasan apa yang diper -bolehkan oleh negara dan apa yang tidak, (b) institusi untuk menjalankan aturan tersebut. Pejabat negara menjadi interpreter dan pemaksa (Agrawal, 2001:12-13).
NEGARA PENETRATIF
Negara modern adalah aktor pengatur utama dan mengatur banyak hal kehidupan sosial (Torpey, 1998:242-23). Dalam hal ini, memakai konsepnya Schiller (2003:5 ), negara modern merupakan negara penentu daya (powerhouse state). Umpamanya, negara memainkan peranan penting bagi berjalannya pasar dan transformasi per -tanian (Petras & Veltmeyer, 2002:43). Sejalan dengan itu, Giddens (1987) mengungkapkan bahwa negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas sosial. Rakyat tidak boleh melakukan sesuatu, sedangkan negara diperbolehkan oleh negara itu sendiri. Sebagai contoh, katanya, penggunaan kekerasan oleh negara merupakan tindakan yang sah men urut negara, sedangkan penggunaan kekerasan oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum oleh negara.
Mengapa negara makin masuk ke dalam kehidupan masyarakat sipil? Salah satu pandangan adalah masuknya negara untuk mengurus kehidupan masyarakat sipil mer upakan tendensi umum dalam masyarakat moderen disebabkan oleh kebutuhan negara itu sendiri. Pertama, aparatur negara merangkul dan mengontrol masyarakat sipil untuk tujuan -tujuan politis. Negara perlu mengurus masyarakat sipil guna mengontrol berbagai elem en dalam masyarakat sipil yang membahayakan kekuasaan rezim yang berkuasa seperti kejadian selama rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia (Hadiwinata, 2003:55; Masoe’d ,1989:166; dan Boileau, 1983:7). Kedua, negara mengintervensi kehidupan masyarakat madani untuk kepentingan ekonomis aparatur negara itu sendiri. Dalam kajiannya mengenai hubungan negara dengan masyarakat sipil di Jepara, Schiller (1996:266-267) menunjukkan bahwa makin banyaknya program –program pembangunan yang berhasil diraih oleh pemerintah s etempat dari pemerintah pusat untuk mereka lakukan sendiri di kabupaten Jepara telah mendatangkan keuntungan ekonomis bagi pejabat - pejabat setempat. Ketiga, negara juga perlu mengintervensi masyarakat sipil untuk menyukseskan program-program pembangunannya untuk meraih sumber pendapatan baginya (Lindblom, 1977:170-188 dan Torpey, 1998: 244).
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masya-rakat Indonesia Kontemporer (Padang: Andalas University Press, 2006).
_______, “The Nagari Community, Business and the State: The Origin and the Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumate ra, Indonesia,” Disertasi (Flinders: Asia Centre of Faculty of Social Sciences Flinders University, 2005).
Bachriadi, D., “Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer,” dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmura n Rakyat (Yogyakarta: Lepera Pustaka Utama, 2001).
Benda-Beckmann, Von, F.& Von K. Benda -Beckmann, “Social Security, Natural Resources Management And Legal Complexity,” makalah dalam Seminar on Legal Complexity, Natural Resources Management and Social Security, Padang, 6 -9 November 1999.
Biezeveld, R., “Nagari, Negara dan Tanah Komunal di Sumater a Barat, “ dalam Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Giddens, A., The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of Historical Materialism (Berkeley: University of California Press, 1987).
Linblom, Ch., E., Politics and Market: The World’s Political -Economic Systems (New York: Basic Books, 1977).
Lucas, A., “Land Disputes, the Bureaucracy, and Local Resistance in Indonesia,” dalam Imaging Indonesia: Cultural Politics and Political Culture (Ohio: Centre For International Studies, 1997a)
Sakai, M., “The Privatisation of Padang Cement: Regional Identity and Economic Hegemony in the Era of De-centralisation,” dalam Local Power And Politics in Indonesia: Decentralisation & Democratisation (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2003).
Schiller, J., Developing Jepara: State and Society in Ne w Order Indonesia (Clayton: Monash Asia Institute, 1996).
Torpey, J., ‘Coming and Going on the State Monopolization of the Legitimate ‘Means of Movement,” Sociological Theory: A Journal of the American Sociological Association , XVI, No. 3, 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)