Selasa, 27 April 2010

“HAK ASASI PASIEN GANGGUAN JIWA YANG TERABAIKAN”

Gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (Maramis, 2005). Suatu kondisi sehat yang dihubungkan dengan kebahagiaan, kepuasaan, pencapaian, optimisme dan harapan. Klien dengan gangguan jiwa saat ini telah cukup tinggi yaitu 450 juta dari total populasi dunia teridentifikasi gangguan jiwa dengan berbagai spesifikasi dari mulai gangguan ringan sampai berat. Artinya 1 dari 4 orang mengalami gangguan jiwa dan diperkirakan 20 % individu akan mengalami gangguan jiwa. Dilaporkan juga bahwa hampir 340 juta orang didunia telah teridentifikasi depresi, 45 juta orang terdiagnosa Skizofrenia, dan 29 juta orang dementia. Gangguan mental mempunyai proporsi yang tinggi sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya. Hal ini akan semakin bertambah dari hari kehari (Data WHO, 2001).

Banyak masalah yang dihadapi oleh para pasien dg gangguan jiwa atau mantan pasien jiwa. Mereka harus menghadapi stigma dan diskriminasi dari lingkungan dan masyarakat, baik dinegara maju atau dinegara berkembang. Stigma yang dihadapi oleh orang dengan gangguan mental dimanifestasikan dengan prasangka buruk, ketakutan, merasa bersalah, marah, ditolak dan dijauhi. Pelanggaran terhadap HAM dan kebebasan untuk menolak secara politik, ekonomi, sosial dan budaya merupakan issue penting diseluruh dunia, baik diinstitusi maupun komunitas. Kekerasan fisik, sexual dan psikososial adalah bagian hidup sehari-hari yang dialami oleh pasien gangguan jiwa. Selain itu hal lain adalah mereka sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil ketika bekerja/melamar/mendapatkan pekerjaan, kesulitan dalam mengakses pelayanan umum, asuransi kesehatan dan kebijakan tertentu. Banyak dari kejadian tersebut tidak terlaporkan karena adanya rasa bersalah dan kengganan (Arbaleda Flores, 2001). Oleh karena itu tidak mengherankan bila Federasi Kesehatan Dunia berkali-kali menghimbau banyak pihak terutama keterlibatan pemerintah untuk membuat prioritas terhadap maslah ini.



Pada Hari kesehatan Jiwa dunia yang diperingati pada tanggal 10 Oktober yang lalu disampaikan bahwa advokasi tentang kesehatan jiwa sudah dimulai dari tahun 1800 –an. Advokasi ini masih mencakup peningkatan kesadaran seseorang tentang pentingnya kesehatan jiwa. Hal ini dilatarbelakangi oleh belum jelasnnya pengaturan segala hal terkait dengan kesehatan jiwa diseluruh dunia terutama dinegara-negara berkembang. Data menunjukan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) dinegara-negara berkembang dimana kasus gangguan jiwa relative tinggi.Data lain adalah banyak hambatan yang ditemukan dalam pengenbangan program kesehatan jiwa, sehingga mengganggu kemajuan advocacy bagi pasien jiwa. Legislasi menawarkan suatu mekanisme penting untuk meyakinkan, merawat, melindungi HAM yang sesuai dan adekuat bagi orang-orang dengan gangguan mental dan meningkatkan kesehatan mental banyak orang. Tujuan legislasi kesehatan mental ini yaitu melindungi, meningkatkan, memperbaiki kehidupan dan kesejahteraan mental warga negara tetapi justru legislasi kesehatan mental telah menghasilkan kekerasan. Hal ini terlihat dari tidak sedikit orang dengan gangguan mental dapat menjadi bagian dari kekerasan baik sebagai pelaku maupun korban dari aturan/perundangan itu sendiri. Hal ini dikarenakan banyak legislasi tersebut hanya dalam bentuk draf yang tujuan sebagai panduan keselamatan bagi public dari bahaya akibat tindakan pasien-pasien jiwa, dan bahan-bahan untuk pembenaran bagi masyarakat untuk mengisolasi pasien-pasien jiwa. Peraturan lain bahkan menjadi alat pembenar untuk melakukan “Custrodial care” pada pasien dengan gangguan mental yang bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya, tetapi tidak melindungi para pasien itu sendiri. Ironisnya dibeberapa negara juga bagian ini/hukum terkait dg kesehatan mental tidak/belum ada dan belum memperbarui undang-undang selama bertahun-tahun..

Tercatat bahwa hampir 75 % negara didunia yang mempunyai peraturan kesehatan jiwa, hanya 51 % diantaranya baru punya setelah tahun 1990, 15% sebelum 1960, secara umum perundangan dibanyak negara menunjukan, legislasi kesehatan jiwa telah kedaluarsa dan tidak melindungi hak-hak pasien jiwa

Hukum kesehatan jiwa mempresentasikan arti penting dari penegakan tujuan dan arah kebijakan. Bila dilakukan secara komprehensif dan diterima secara baik, kebijakan kesehatan mental akan mencakup issue-issue kritis yaitu penegakan /pengaturan kualitas pelayanan dan fasillitas kesehatan mental, akses perawatan kesehatan jiwa yang berkualitas, perlindungan hak asasi manusia, treatment hak-hak asasi manusia, pengembangan secara tegas/kuat prosedur proteksi, terintegrasinya pasien dengan gangguan mental kedalam masyarakat dan promosi/peningkatan kesehatan mental melalui masyarakat

Undang-undang sesuai tujuan Piagam Charter, bahwa dasar dari kesehatan jiwa adalah HAM. Ada beberapa prinsip kunci terkait dengan HAM yaitu persamaan dan non diskriminasi, privacy dan otonomy individu, kebebasan dari tindakan yang tidak manusiawi, bebas dari lingkungan yang terisolasi dan hak untuk berpartisipasi dan mendapat informasi. UU kesehatan jiwa adalah alat yang paling tepat untuk mengatur dan konsolidasi nilai dan prinsip dasar ini. Itulah mengapa UU keswa diperlukan dengan perhatian khusus untuk perlindungan HAM dan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar