Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri dari Pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militan (Iswandi, 1998: 61). Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan "nyaris" sempurna pada masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar. Peran sosial-politik TNI ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan "dwi fungsi ABRI/TNI".
Konsep dwi fungsi TNI pertama kali dilontarkan oleh Abdul Haris Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang, dan istilah "dwi fungsi" diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi "pembina wilayah" atau pembina masyarakat (Nasution, 2001: 3). Nasution menganggap bahwa, "TNI bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya".
Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hampir semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil, sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika Kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya, sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.
Kompleksitas persoalan dan konflik politik saat itu, telah menyebabkan militer melakukan kudeta pada 17 Oktober 1952. Terdapat dua kelompok militer (AD) yang bertikai: yaitu kelompok yang setuju perubahan organisasi, dan kelompok yang tidak setuju perubahan. Rumor bahwa kelompok yang akan terkena demobilisasi adalah laskar-laskar rakyat telah mempertajam konflik, karena laskar rakyat merupakan underbouw partai-partai politik, seperti Masyumi, PNI, PKI, PSI dan Murba. Akibatnya konflik tersebut berubah menjadi konflik politik di parlemen. Partai-partai kiri seperti Partai Murba, Partai Buruh dan PKI menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang. Di sisi lain, partai-partai kanan seperti Masyumi dan Partai Katolik melakukan counter motion untuk mengakhiri penggunaan Misi Militer Belanda dan setuju untuk melanjutkan demobilisasi.
Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian sidang yang membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position di arena politik nasional. Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan "manuver" untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi dinamika hubungan segitiga kekuasaan tersebut. Sebagai misal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada Nopember 1962, dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuatan politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah Panglima daerah yang berani menentang Sukarno dengan isu-isu komunis (Feith, 2001: 136-137).
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dinggap berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan para perusuh (Feith, 2001: 138).
Kemudian, pada tahun 1965, terjadi peristiwa kontroversial "G-30-S", yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satu-satunya pemenang, dan segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, militer mendominasi hampir di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional.
Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut: (1) memasukkan dwi fungsi ABRI dalam GBHN tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan; (2) UU No. 20/1982 tentang Pokok-pokok Hankam Negara; (3) UU No. 2/1988; dan (4) UU No. 1/1989. Dua produk UU yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU sebelumnya.
Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi. Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya dirinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang menempati jabatan strategis di departemen-departemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah, pada tahun 1968, sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer, dan 92% pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59% bupati di Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang; sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89% jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian paska pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Kemudian, 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal di militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang (0,3% dari jumlah penduduk Indonesia) tetapi mendapatkan kursi 20% di parlemen (Cholisin, 2002 dan Pakpahan, 1994).
Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982, Fraksi ABRI terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI (Pakpahan, 1994: 159). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya "mengendalikan" kekuatan intelektual (baca: sipil) melalui sebuah lembaga. Hal ini bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu "bias Barat". Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi "bias Barat", tetapi lebih "bersahabat" dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk "memberi informasi" mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim militer Orde Baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996.
Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri seusai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas (Noorsalim, 2003).
Terdapat dua penjelasan mengapa militer banyak terlibat dalam kasus kekerasan di Indonesia. Pertama, karena pada dasarnya militer memang tidak dilatih untuk melindungi rakyat. Semua prajurit adalah dilatih untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Dalam pendidikan militer selalu ditekankan untuk merangsang insting kebuasannya. Begitu juga, teknologi yang dikembangkan oleh militer adalah lebih banyak untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Kedua, adalah doktrin pertahanan dan keamanan yang menekankan perang gerilya yang menggunakan rakyat sipil sebagai bumper. Dalam doktrin yang disebut Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta) tersebut tidak membedakan antara militer (combatans) dan penduduk sipil. Sehingga, penduduk sipil yang dianggap tidak membela militer dianggap musuh yang perlu dibunuh.
* * *
Setelah Soeharto turun dari jabatan presiden pada Mei 1998, telah terjadi tiga kali pergantian presiden di Indonesia, yaitu Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2002) dan Megawati (2002-kini). Masa yang oleh sebagian kalangan disebut masa reformasi ini "sempat" mendorong para pimpinan TNI untuk meninggalkan perannya di bidang politik. Menjelang 1998, tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional. Tuntutan terhadap TNI untuk meninggalkan arena politik tersebut nyaris saja terpenuhi. Namun, dorongan itu tidak terlalu kuat, sehingga lambat laun peranan militer dalam bidang politik kembali menguat.
Kembalinya militer dalam bidang politik dikarenakan kelompok sipil terlalu lemah dan cenderung inferior di hadapan militer. Selain itu, kelompok sipil cenderung menganggap dirinya paling benar dan paling berjasa atas turunnya Soeharto dan bergulirnya reformasi. Besarnya dukungan rakyat terhadap politisi sipil di DPR untuk menghilangkan peran politik TNI ditanggapi setengah hati. Hal tersebut nampak pada TAP MPR No. VII/2000 yang hanya memutuskan bahwa anggota TNI masih diperkenankan duduk di parlemen hingga 2009. Adapun bunyi TAP tersebut sebagai berikut: "…Keikutsertaan Tentara Nasional dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan tahun 2009."
Selain alasan di atas, ternyata TNI memang tidak menghendaki perannya di bidang politik berakhir. Oleh karena itu, TNI masih menyusun strategi-strategi untuk merebut kembali posisi politiknya yang "nyaris hilang". Pada awal reformasi 1998, kelompok militer politik nyaris kalah secara politik. Hal ini ditandai dengan digusurnya beberapa perwira militer dari jabatan strategis. Misalnya, bupati, gubernur, menteri pertahanan, dan jabatan-jabatan lain diusahakan untuk tidak dijabat oleh militer lagi. Selain itu, nampak pula kedudukan TNI/Polri dalam lembaga perwakilan rakyat juga mulai dibatasi.
Namun, hal ini tidak berlangsung lama, dalam waktu yang relatif singkat, kelompok militer politik telah melakukan konsolidasi, sehingga peranan politiknya menjadi lebih besar dari masa sebelumnya. Dalam setahun terakhir, beberapa langkah yang menguntungkan kelompok militer militer secara politis diambil. Misalnya, pendirian Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon. Selain itu jabatan-jabatan strategis kembali dipegang oleh militer, misalnya Menteri Dalam Negeri dijabat oleh Negeri Mayor Jenderal (Purn. AD) Hari Sabarno dan pencalonan kembali Mayor Jenderal (AD) Sutiyoso sebagai gubernur Jakarta.
Terdapat dua tataran strategi yang tengah didijalankan oleh kelompok militer politik. Pertama, tataran formal, yaitu usaha-usaha untuk memasukkan kepentingan politiknya melalui Undang-undang atau peraturan formal. Misalnya, memasukkan hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI/Polri dalam RUU Pemilu. Proses pada tataran ini memanfaatkan anggota militer yang berada dalam birkorasi dan parlemen, seperti mempengaruhi anggota DPR untuk mengakomodasi kepentingan politik militer. Adapun strategi yang dijalankan pada tataran ini adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi publik melalui media dan melakukan lobi-lobi dengan kekuatan politik yang ada di DPR.
Kedua, tataran non-formal adalah usaha-usaha untuk "mendekati" kelompok tertentu atau figur-figur tertentu yang secara politik mempunyai kekuasaan besar. Disebut non-formal karena pendekatan yang digunakan tidak melalui jalur politik yang formal. Tetapi menggunakan jaringan-jaringan tertentu, seperti pertemanan, jaringan bisnis, bahkan jaringan kriminal. Dalam strategi ini, seringkali terjadi "politik dagang sapi" dengan antara kelompok kepentingan. Sebagai misal, pengangkatan beberapa perwira militer pada jabatan-jabatan penting, pencalonan kembali gubernur Sutiyoso dan penghentian penyelidikan kasus korupsi di berbagai yayasan Angkatan Darat.
Jika dilihat dari sudut pandang strategi politik, beberapa kebijakan yang diambil yang berkaitan dengan kepentingan militer adalah serangkaian uji kasus untuk melihat sejauhmana resistensi masyarakat terhadap peranan politik militer. Strategi ini adalah cara untuk mengetahui peta politik nasional, terutama yang ada di DPR maupun masyarakat. Dengan demikian, kelompok militer politik akan lebih mudah untuk menjalankan strategi di mana militer harus bermain politik.
Seperti sebelumnya pernah dicoba, kebijakan mendirikan Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Ambon merupakan contoh dari strategi uji kasus ini. Kedua strategi tersebut relatif dianggap berhasil karena resistensi masyarakat tidak timbul secara mencolok. Beberapa contoh lain yang masih menjadi perdebatan dalam masyarakat adalah dibebaskannya para perwira militer yang terlibat kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan ditundanya pengadilan pada kasus penembakan beberapa mahasiswa dan kasus-kasus kekerasan lainnya.
Tujuan dari strategi-strategi yang dijalankan oleh kelompok militer politik di atas, adalah untuk mendapatkan akses kekuasaan politik yang lebih besar. Besarnya akses kekuasaan politik bagi kelompok militer ini secara lebih jauh akan berpengaruh pada besarnya akses ekonomi. Menurut informasi dari pejabat militer, alokasi dana untuk militer yang dianggarkan oleh pemerintah hanya mencukupi sekitar 30 persen dari kebutuhan-kebutuhan militer secara keseluruhan. Selebihnya, 70 persen lainnya militer harus mencari sumber pendaanaannya sendiri. Dengan semakin terbukanya akses informasi, maka militer tidak dapat lagi memakai cara-cara lama seperti praktek korupsi, mark up, backing bagi sindikat kriminal dan lain-lain, karena masyarakat akan mudah untuk mengetahui tindakan tersebut. Seiring dengan perubahan sosial dan politik, tentunya cara-cara seperti ini tentu akan dipertanyakan. Oleh karena itu, cara yang paling memungkinkan bagi militer adalah memperoleh legitimasi secara politik terlebih dahulu.
Nampak bahwa kelompok militer politik tidak ingin melewatkan kesempatan melemahnya kelompok sipil. Konflik yang terjadi diantara kelompok masyarakat sipil merupakan keuntungan tersendiri bagi kelompok militer untuk mengambil kembali kekuasaan politiknya yang nyaris hilang. Dalam konteks gerakan reformasi di Indonesia, ini adalah pertarungan antara kelompok yang menginginkan perubahan atau reformasi melawan kelompok status quo. Kelompok reformasi terdiri dari masyarakat, sebagian politisi dan birokrat sipil, sementara kelompok status quo terdiri dari jaringan lama bekas birokrasi sipil Orde Baru dan sebagian kelompok militer politik. Terdapat kemungkinan, jika masyarakat sipil tidak segara melakukan konsolidasi, dikhawatirkan demokrasi yang diidam-idamkan masyarakat tidak akan pernah tercapai.
Banyak cara yang dilakukan oleh militer untuk kembali berperan dalam bidang sosial politik. Salah satunya adalah memanfaatkan konflik dan kerusuhan yang melanda beberapa daerah, seperti di Aceh, Kalbar, Kalteng, Poso, Maluku dan Papua. Konflik yang terjadi nyaris serentak di beberapa daerah mau tidak mau harus melibatkan militer untuk menghentikannya. Namun, kerusuhan di beberapa daerah justeru makin meningkat dan lama tatkala militer hadir. Bahkan, di beberapa daerah, seperti Poso, Aceh, Ambon dan Papua, militer menjadi conflict enterpreneur, yang diuntungkan karena adanya konflik antar kelompok masyarakat. Menurut hasil penelitian Jamal Bake, Muhamad Abas dan Rinusu (tanpa tahun: ii) mengindikasikan bahwa: (1) aparat terkesan lamban sehingga menyebabkan meluasnya konflik antar etnik; (2) aparat memanfaatkan konflik antar etnik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya; dan (3) aparat keamanan membiarkan dan memelihara konflik.
Adapun tujuan militer untuk memelihara konflik adalah agar kehadirannya dibutuhkan di wilayah-wilayah yang terjadi kerusuhan tersebut. Semakin besar kerusuhan di suatu daerah, semakin besar pula peran militer yang dibutuhkan. Dengan besarnya peran TNI ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada bargaining position militer terhadap pemerintahan sipil. Peristiwa ini mirip dengan kerusuhan anti Cina di Jawa Barat pada Maret 1963 yang telah disinggung sebelumnya. Dan salah satu contoh keberhasilan militer yang sangat gemilang adalah diberlakukannya operasi militer di Aceh.
* * *
Dalam penelitiannya, Dewi Fortuna Anwar dkk. (2002: 202-228) telah membuat asumsi yang kemudian dibuktikan di lapangan, yang menyebutkan bahwa: (1) Militer tidak akan secara suka rela melepaskan kekuasaannya dan hak-hak istimewa yang selama ini dinikmatinya; (2) Militer tidak menginginkan adanya campur tangan sipil yang terlalu jauh di dalam urusan internal dan operasional militer; (3) Pihak TNI merasa khawatir jika masyarakat mengisolasi dirinya; (4) Dalam transisi demokrasi sangat dimungkinkan munculnya koalisi informal antara unsur sipil dengan militer yang bisa menjadi penghalang bagi proses demokrasi.
Hal di atas menunjukkan bahwa cita-cita demokrasi dan supremasi sipil masih sangat jauh. Karena, sesungguhnya pertarungan lama antara TNI (AD) dengan masyarakat sipil masih berlanjut hingga sekarang. Bedanya, jika pada masa rejim Sukarno antara TNI (AD) dengan PKI, pada masa sekarang adalah antara TNI (AD) dengan kelompok pro-demokrasi. Begitu juga, arena pertarungan dan bentuknya juga berbeda. Pada masa ini, militer tidak lagi terlibat secara terbuka dalam bidang politik, tetapi lebih bersifat "mempengaruhi" di arena politik nasional. Ini berarti bahwa militer tidak perlu lagi duduk di parlemen atau menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi, tetapi cukup membangun "hubungan yang dekat" dengan eksekutif dan para politisi pengambil keputusan.
Daftar Pustaka
Anwar, Dewi Fortuna, dkk., 2002, Gus Dur Versus Militer, Jakarta: Grasindo.
Bake, Jamal, M. Abas dan Rinusu, tanpa tahun, Netralitas yang Semu, Jakarta: PSPK.
Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Feith, Herbert, 2001, Soekarno dan Militer, dalam Demokrasi Terpimpin, cet. kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Iswandi, 1998, Bisnis Militer Orde Baru, Bandung: Rosda Karya.
Nasution, AH, 2001, Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik, Catatan dan Pemikiran Jenderal Besar A.H. Nasution, Jakarta: Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran.
Noorsalim, Mashudi, "Involvement of the Indonesian Military in Human Rights Violations", makalah dipresentasikan pada South East Asian Advanced Programme on Human Rights yang diselenggarakan oleh Office of Human Rights Studies and Social Development, Faculty of Graduate Studies, Mahidol University – Thailand, Maret 17-28, 2003.
Pakpahan, Muchtar, 1994, DPR RI Semasa Orde Baru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kutipan dari http://mashudi.blogdrive.com/archive/o-12.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar