FILSAFAT ILMU POLITIK
DAN PEMERINTAHAN[1]
Oleh Wayan Gede Suacana[2]
RATANUSON., M.SI (editing)
1. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu
Filsafat secara etimologis berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM) dan kemudian diikuti oleh kaum sophist dan juga Socrates (470-399 SM). Ada juga yang berpendapat bahwa filsafat mengandung arti kegandrungan mencari hikmah kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan.[3] Dengan begitu, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan dan mendambakan pengetahuan.
Menurut Mohammad Hatta[4], filsafat dapat meluaskan pandangan, mempertajam pikiran, serta merentangkan pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata. Sebab itu filsafat dapat disebut juga berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya. Filsafat meninjau dengan pertanyaan “apa itu”, “dari mana” dan “kemana”. Disini orang tidak mencari pengetahuan sebab akibat suatu masalah__seperti halnya penyelidikan ilmu__, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya ada pada barang atau masalah itu, dari mana asalnya dan kemana tujuannya.
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menunjukkan bagaimana upaya manusia yang tidak pernah menyerah untuk menentukan kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar dan integral. Karena itu dalam berfilsafat, proses yang dilalui adalah refleksi, kontemplasi, abstraksi, dialog, evaluasi, menuju suatu sintesis jawaban atas dasar pilihan keyakinan sendiri-sendiri, yang disana-sini tidak sama, berbeda, bahkan saling bertentangan, yang muncul dalam setiap tahap atau pun kurun waktu[5].
Fungsi filsafat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu[6]: pertama: secara teoritis orang belajar filsafat akan menambah ilmu pengetahuan diharapkan ia akan lebih pandai, sehingga di dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi akan bertindak secara hati-hati dan bijaksana, serta dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan lebih mendalam dan menyeluruh. Filsafat di sini berfungsi sebagai sumber, pemberi asas, metode, petunjuk, pemersatu perangka, penafsir dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Kedua, secara praktis filsafat berfungsi sebagai pendorong manusia untuk berpikir secara logis. Berpikir secara logis artinya berpikir secara teratur, runtut dan sistematis sehingga dapat menarik kesimpulan dengan benar berdasarkan hukum-hukum logika. Filsafat juga berfungsi sebagai pembangun hidup kemanusiaan, artinya manusia dengan belajar filsafat akan selalu menjaga keharmonisannya dalam hubungan antara dia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam lingkungannya dan dengan penciptanya. Sehingga manusia akan bertindak bijaksana dan selalu mematuhi norma-norma yang ada.
Masalah-masalah filsafat dapat digolongkan menjadi empat, yaitu[7]: pertama, masalah-masalah ilmu pengetahuan (epistemologi, logika, filsafat ilmu dan filsafat bahasa). Kedua, masalah-masalah realitas atau eksistensi (metafisika, ontologi, kosmologi). Ketiga, masalah-masalah nilai (aksiologi, estetika, etika, filsafat agama), dan keempat, masalah-masalah masyarakat (filsafat sosial, ekonomi dan politik). Masalah besar filsafat adalah bagaimana caranya mepersatukan semua bagian yang berbeda-beda itu menjadi keseluruhan yang komprehensif.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin maju maka muncullah ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen[8] , bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “knowledge is power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono[9], adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant[10] yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon[11] menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono[12] menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler, yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Filsafat ilmu adalah salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pun sesungguhnya dapat dibagi lagi menjadi sejumlah filsafat ilmu yang lebih khusus, seperti filsafat matematika, filsafat ilmu-ilmu fisika, filsafat biologi, filsafat linguistik, filsafat psikologi, filsafat ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu-ilmu lainnya
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie[13], filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Koento Wibisono S.[14] memberikan pengertian tentang filsafat ilmu (Philosopy of Science, Wissenchaftlehre, Wetenschapsleer) sebagai cabang dari ilmu filsafat itu sendiri. Menurtnya, kalau ilmu filsafat didefinisikan sebagai kegiatan berefleksi secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu adalah refleksi mendasar dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu merupakan penerusan dalam pengembangan filsafat pengetahuan, sebab ‘pengetahuan ilmiah’ tidak lain adalah a higher level dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, objek kedua cabang filsafat ini di sana-sini sering berhimpitan namun berada dalam aspek dan motif pembahasannya.
Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya.[15] Pernyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya.
Tujuan filsafat ilmu adalah memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia. Di samping itu filsafat ilmu juga memperluas wawasan ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung dengan begitu cepat, spektakuler, mendasar, yang secara intensif menyentuh semua segi dan sendi kehidupan dan secara intensif merombak budaya manusia.[16]
Filsafat ilmu dengan begitu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm[17] bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Lebih lanjut Koento Wibisono[18], mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo[19], dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Dalam perkembangan filsafat ilmu juga mengarahkan pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia[20]. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat.
Pemikiran Archie J. Bahm yang dimuat dalam artikelnya: “What is Science?”[21] bisa dimasukkan dalam alur perkembangan baru dalam filsafat ilmu. Uraian Bahm tentang komponen ilmu menunjukkan adanya pemahaman yang baru, bahwa ilmu pengetahuan, selalu memiliki keterkaitan dengan unsur kemanusiaan dan juga sosial. Hal ini sebenarnya merupakan upaya pendobrakan atas filsafat ilmu pengetahuan yang telah bercokol sebelumnya yakni logico-positivisme yang mengadopsi ajaran filsafat “Bapak Sosiologi” Auguste Comte.
Pemikiran seperti itu dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh filsafat ilmu baru seperti: Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter, Stephen Toulmin, dan Imre Lakatos. Satu ciri khas yang merupakan kesamaan mereka satu sama lain secara umum dan dengan begitu membedakan mereka dari filsafat ilmu yang hendak mereka dobrak adalah perhatian besar terhadap sejarah ilmu, serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi.
Perkembangan ilmu pengetahuan menurut Bahm mau tidak mau pada akhirnya berhadapan dengan berbagai pengaruh serta matra etis[22]. Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu terhadap__atau dalam__masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang yang hidup dalam dunia modern, yang mau tak mau secara mendalam dipengaruhi dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi modern.
Dampak perkembangan ilmu pengetahuan pada pada perkembangan manusia dan dunianya menimbulkan semacam kecenderungan yang khas dan tak bisa dipisahkan dari suatu ilmu yang sedang maju[23]. Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan untuk maju terus tanpa henti dan tanpa batas. Setelah suatu penemuan atau suatu perumusan tercapai, ketika itu juga tampaklah kemauan dan kemungkinan untuk maju selangkah lagi, entah itu menuju dasar yang lebih dalam ataupun ke arah cakramawala yang lebih luas. Kecenderungan kedua ialah hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia mikro maupun makro. Semakin suatu ilmu maju, semakin keinginan itu meningkat sampai memaksa, merajalela dan bahkan membabi buta. Ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.
Secara umum kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu terkait dengan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan objektivitas dan pertimbangan nilai (kemanusiaan). Pertimbangan objektivitas mengharuskan ilmu pengetahuan menetapkan kebenaran sebagai landasan dan pola dasarnya. Sedang pertimbangan nilai (kemanusiaan) menunut ilmu pengetahuan untuk bekerja dengan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan sekaligus pasca-ilmu, artinya perlu mempertimbangkan asumsi dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan tersebut.
Jika demikian, sebagai konsekuensi dari pertimbangan itu, para ilmuwan terpolarisasi menjadi dua, tak lain karena dua pertimbangan itu belum dapat berjalan seiring dan masih berat sebelah. Maka berdasarkan pertimbangan demikian, pandangan para ilmuwan dapat dibedakan menjadi 2 golongan[24].
Pertama, Para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan, yaitu nilai kebenaran dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai metafisika yang lain, seperti nilai etika, kesusilaan dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Prinsip tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galnya bagi seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penentuan tujuan bagi ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan ilmuwan yang berprinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai, misalnya Jacob Bronowski yang berpendapat bahwa tujuan pokok ilmu adalah mencari sesuatu yang benar tentang dunia. Aktivitas ilmu diarahkan untuk melihat kebenaran, dan hal ini dinilai dengan ukuran pembenaran fakta. Tujuan pokok ilmu bukan pada penerapan, tujuan ilmu ialah mencapai pemahaman-pemahaman terhadap sebab dan kaidah-kaidah tentang proses-proses ilmiah.
Para ilmuwan memang harus menaati ciri-ciri dan langkah-langkah dari metode ilmiahnya sehingga hasil dan tujuan yang ingin dicapainya juga tetap mencerminkan ciri-ciri pokoknya, yaitu bersifat empirik. Pada garis besarnya tujuan pokok ilmu pengetahuan adalah merupakan kaidah-kaidah baru atau penyempurnaan kaidah-kaidah lama tentang dunia kealaman. Peluang untuk memasukkan pertimbangan nilai-nilai lain di luar nilai kebenaran dalam kegiatan ilmiah memang tidak dimungkinkan. Saintisme macam ini adalah bentuk matang dari positivisme modern yang dirintis oleh Aguste Comte pada abad lalu, dan lingkungan Wina pada abad kita ini. Basis epistemologisnya adalah doktrin fenomenalisme, yaitu sebuah penegasan bahwa fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman inderawi, maka segala omongan mengenai sesuatu yang melampaui pengalaman adalah mustahil, misalnya diskusi etika, metafisika, dan agama tentang “Allah”, “Hakekat”, “Kebaikan”, dan seterusnya.[25]
Archie J. Bahm seakan mengkhawatirkan bahwa ilmu pengetahuan telah ‘ditarik-tarik’ sehingga dilepaskan dari keterhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan berdalih objektivitas[26]. Keprihatinan itu begitu tampak, dalam setiap komponen ilmu pengetahuan versinya. Dapat dilihat bagaimana ia menempatkan secara tidak terpisahkan komponen sikap ilmiah dan komponen pengaruh ilmu ke dalam enam komponen utama ilmu pengetahuan. Begitu juga sampai tampak jika dilihat pada komponen pertama (problem), bahwa sesuatu itu akan menjadi masalah jika ada perhatian kepadanya, selanjutnya masalah itu akan menjadi masalah ilmiah jika tentangnya ada kemampuan untuk berkomunikasi sebagai sikap dan metode ilmiah. Di sini menjadi jelas bahwa ‘masalah’ itu bukan sama sekali immune dari unsur-unsur subjektivitas ilmuwan.
Kedua, Para ilmuwan yang memandang sangat perlu memasukkan pertimbangan nilai-nilai etika, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran, yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus terkait dengan nilai. Tidak kurang dari seorang Francis Bacon berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Lebih lanjut dijelaskan mengenai tujuan ilmu bahwa tujuan yang sah dan senyatanya dari ilmu-ilmu adalah sumbangannya terhadap hidup manusia dengan ciptaan-ciptaan dan kekayaan baru. Sementara Daoed Joesoef[27] berpendapat, ilmu pengetahuan memang merupakan suatu kebenaran tersendiri, tetapi otonomi ini tidak dapat diartikan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas. Dengan kata lain beberapa ilmuwan berpegangan pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus terkait dengan nilai. Gunar Myrdal, misalnya berpendapat bahwa ilmu ekonomi telah menjadi terlalu matematis, steril, dan tidak realistik. Objektivitas ilmiah yang secara ketat nilainya hanya dipandang sebagai mitos, karena di balik teori-teori ekonomi tersebut terdapat nilai-nilai etika. Begitu pula Bacon berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial harus mempunyai komitmen pada usaha untuk membangun dunia dan merumuskan metode-metide yang cocok untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat yang mendesak.
Dengan demikian dapat diperoleh kejelasan bahwa hanya dengan menjaga jarak antara ilmu dan ideologi, maka pertimbangan etika bagi ilmu pengetahuan menjadi mungkin untuk dilaksanakan, yakni demi kepentingan masyarakat. Dalam lingkungan budaya dan kontelasi sosial politik tertentu, pertimbangan ilmu dapat saja berubah, tetapi tidak pada sistem ilmu itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa filsuf, termasuk Bahm sangat menaruh perhatian terhadap pentingnya pertimbangan nilai (kemanusiaan) bagi setiap kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu. Penjelasannya tentang setiap komponen ilmu, menunjukkan suatu konsistensi yang sangat tinggi dalam persoalan ini. Secara lebih eksplisit, terutama tampak pada komponen metode, yang memasukkan kesadaran akan adanya masalah sebagai langkah pertama yang berbeda dengan tradisi empiris—dimana observasi data sebagai langkah pertama yang memperlakukan fakta sebagai data yang ‘kering’ dari konteks nilai apapun. Pada komponen aktivitas yang menyadarkan bahwa aktivitas ilmu itu, kecuali ia merupakan kegiatan individu ilmuwan tertentu, tetapi juga merupakan kegiatan yang menyangkut masyarakat banyak, artinya ia merupakan usaha para komunitas ilmiah dan pihak-pihak lainnya. Begitu pula tampak pada pengaruh yang menjelaskan bahwa konsekuensi ilmu pengetahuan ada dua, yaitu berupa teknologi dan peradaban. Ilmu yang demikian inilah yang merupakan pengetahuan yang sebenarnya.
Memang harus diakui, perlu ada pembatasan, pada saat mana ilmu bebas nilai dan saat bagaimana terkait nilai. Pengembangan ilmu pengetahuan memerlukan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan dari segi ilmu yang statis dan segi ilmu yang dinamis. Segi statis ilmu adalah ciri sistem yang tercermin dalam metode ilmiah, sedangkan segi dinamisnya adalah semacam pedoman, asas-asas yang perlu diperhatikan oleh para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya. Metode ilmiah merupakan landasan tetap yang menjadi kerangka pokok atau pola dasarnya, sedangkan pertimbangan nilai-nilai menjadi latar belakang kegiatan ilmiah merupakan segi pertimbangan metafisika. Pertimbangan metafisika tersebut selain meliputi nilai kebenaran yang menjadi ukuran pokok dan bersifat tetap bagi ilmu pengetahuan, juga meliputi nilai kebaikan dan nilai keindahan kejiwaan.
Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah mapan dan tanpa mengandung persoalan. Perbedaan pandangan antara ‘tradisi’ empiris (Inggris) dan pragmatis (Amerika), membawa konsekuensi cukup besar terhadap ‘konstruksi’ suatu ilmu pengetahuan. Konsepsi tersebut dapat berbeda atau malah berlawanan dengan para ilmuwan yang lain, gejala yang oleh Thomas Kuhn dikatakan sebagai ‘anomali’ ilmu pengetahuan[28].
Dengan pegangan filsafat ilmu, para ilmuwan, akan mampu lebih mendalami bidang ilmunya sendiri. Begitu pula, para analis budaya akan jauh lebih memiliki kepercayaan diri akan pengetahuannya mengenai kajian budaya apabila filsafat ilmu yang terkait dengan kajian budaya itu sendiri dikuasainya secara baik dan benar. Lebih-lebih mereka yang sedang berada dalam tingkat pendidikan pasca sarjana. Penguasaan bidang ini menjadi makin penting karena pemegang atribut gelar magister dan doktor sudah pasti diyakini sebagai orang yang ahli dalam bidang yang dipelajarinya. Itulah sebabnya, tidak ada alasan bagi mahasiswa program pasca sarjana__apa pun bidang ilmu yang ditempuh__untuk tidak mempelajari filsafat ilmu. Hal ini berarti, sangat tepat apabila setiap program pendidikan pasca sarjana memasukkan mata kuliah filsafat ilmu ke dalam kurikulumnya untuk mengetahui hakekat ilmu, posisi ilmu dalam cakrawala pengetahuan manusia, serta peran ilmu bagi eksistensi manusia.
Kontekstualisasi filsafat ilmu dengan kondisi aktual yang sedang kita alami dewasa ini juga menjadi semakin dirasakan urgensinya. Hal itu seiring dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami dekadensi dalam berbagai bidang kehidupan. Tokoh humanis dengan alat perjuangan: ahimsa, satyagraha dan swadeshi di Negeri Bharatawarsa-India, Mohandas K. Gandhi[29] pernah melukiskan kondisi tersebut sebagai: “politics without principle, wealth without work, commerce without morality, pleasure without conscience, education without character, science without humanity, and worship without sacrifice”.[30]
Dengan demikian sebagai “ilmunya ilmu pengetahuan” dan juga sebagai “ibu/ induknya ilmu pengetahuan”, filsafat ilmu merupakan dasar dan arah setiap bidang ilmu. Setiap bidang ilmu harus senantiasa bertumpu pada filsafat ilmu, sebab kalau tidak, ia tidak akan punya dasar atau landasan yang kokoh dan bahkan akan kehilangan arah terutama dalam pengembangan keilmuan selanjutnya. Koento Wibisono Siswomihardjo[31] menegaskan bahwa bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jujun S. Suriasumantri[32] juga menyatakan secara substansial tiap jenis pengetahuan (knowledge) dibatasi dan dicirikan oleh hakekat apa yang dikaji, atau apa yang dicoba diketahuinya (“ontologi”), cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau bagaimana cara memeroses tubuh pengetahuan yang disusunnya (“epistemologi”) serta nilai kegunaan ilmu, atau nilai-nilai mana yang terkait dengan keberadaannya (“aksiologi”).
2. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Ontologi ilmu meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being, sein, het zijn). Faham monisme yang terpecah menjadi idealisme dan spiritualisme, materilaisme, dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan “keyakinan” kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari[33]. Ontologi meliputi tiga segi ilmu, yaitu menurut prioritasnya, menurut nivo pemikirannya dan menurut objeknya. Dalam kaitan ini, ketiga sebutan, yaitu: ‘filsafat pertama’, ‘metafisika umum’, dan ‘ontologi’ dapat dipergunakan indiscrimination (tanpa dibedakan), kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu.[34]
Epistemologi, atau filsafat pengetahuan, adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat atau skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[35] Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dnegan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal, pengalaman, intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologi seperti: rasionalisme, empirisisme, kritisme atau rasionalisme kritis, positivisme, dan fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologi beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, teori intersubjektif dan hermenetics.[36]
Aksiologi meliputi nilai-nilai (values)[37] yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.[38] Aksiologi mencakup nilai-nilai sebagaimana etika dan moral yang secara emperatif menjadi dasar dan arah pengalian, penelitian dan penerapan ilmu.
Dengan kata lain, ontologi membahas “apa” (what), epistemologi membahas “bagaimana” (how), dan aksiologi membahas “mengapa” (why). Apabila dihubungkan dengan konsep Bahm dalam artikelnya “What is ‘Science’ ?”[39] maka ontologi dari ilmu adalah problems, epistemologinya adalah methods, dan aksiologinya adalah attitudes. Bagan 1[40] berikut menunjukkan bahwa filsafat ilmu memang terdiri atas tiang-tiang penyangga, yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan “apa” (what), “bagaimana” (how), dan “mengapa” (why).
3. Politik dalam Perspektif Filsafat Ilmu dan Kajian Budaya
Politik sesungguhnya sangat dekat dengan kajian budaya, bahkan bisa jadi lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi kekuasaan sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran sekelompok orang yang meyakini bahwa bangun teori adalah sebuah praktek politik sehari hari-manusia[41] . Ilmu pengetahuan bagi kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, objektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang melingkari.
Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu politik[42]. Operasi kekuasaan dalam ilmu politik telah tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik (lembaga dan atau individu), kualitas lembaga kepresidenan,lembaga perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk kebijakan, dan lain-lain. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah yang sangat definitif.
Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik. Kebudayaan bermakna sebagai orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh warganegara. Dari sini tampak jelas bahwa kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given. Political culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan terkenal dari Universitas Chicago melakukan penelitian di lima negara (Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Karya yang terbit pada 1960-an dengan judul The Civic Culture sampai sekarang masih menjadi rujuan utama pembahasan kebudayaan politik[43].
Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda dengan ilmu politik mainstream ini. Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan seterusnya. Politik dan budaya menjadi hancur-lebur batasnya dalam kajian budaya. Suatu hal yang justru dipertahankan dalam ilmu politik[44].
Karakteristik ilmu politik mainstream yang demikian tidak bisa dlepaskan dari sejarah perkembangan disiplin sebelum perang dunia II[45]. Periode itu merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah disiplin keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu alam, pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat mengganggu dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis kala itu menjadi dasar interogasi disiplin ini terhadap keilmuan lainnya. Ilmu politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan ilmuwan sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya dengan alasan tiadanya subject matters yang jelas. Ilmu politik hanya memakai disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena kekuasaan.
Respons para pengusung ilmu politik kala itu adalah mengikuti logika keilmiahan saat itu. Jadilah politik sebuah ilmu dengan meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik sekaligus untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya terprediksi semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu. Tradisi ini dikenal sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai mazhab Chicago, tempat kajian dilakukan. Berbagai kritik terhadap tradisi ini muncul silih berganti. Kritik ini direspons dengan terus memperbaiki perangkat metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu politik sebagai ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah[46].
Kritik terhadap cara pandang ilmuwan politik yang melihat seperangkat nilai hanya sebatas produk adalah Antonio Gramsci[47]. Lewat konsepsi hegemoni, Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada operasi kekuasaan yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah kebudayaan politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada produk akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai menimbulkan wacana-wacana tandingan dalam bidang ini.
Sampai saat ini kajian politik di Indonesia masih didominasi oleh tradisi behavioralis/ logico-positivisme. Hal ini bisa dipahami dengan melihat kenyataan puluhan mahasiswa yang belajar di universitas-universitas bertradisi behavioralis di Amerika membawa pulang main set behavioralis setidaknya dalam tesis atau disertasi mereka. Akhirnya studi ilmu politik di kampus-kampus utama di Indonesia terwarnai habis-habisan oleh tradisi ini sampai sekarang. Kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik masih dalam makna politik dalam kerangka klasik untuk tidak menyebutnya kuno.
Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari target pendidikan untuk mahasiswa strata satu di negeri ini. Target bahwa mahasiswa dapat berpikir logis dan fokus pada bidang yang dikajinya membuat peluang melakukan perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan menjadi sangat minim. Kajian budaya dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan. Tujuan pendidikan seperti itu sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu politik di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama tidak bisa begitu saja direspons di dalam negeri sendiri, termasuk perkembangan fenomena politik yang sangat pesat ditandai dengan kemunculan studi-studi seperti feminimisme. Fenomena politik kontemporer ini bukan tidak dialami di negeri ini. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung cukup merata di tanah air. Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis, mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul sosial.
Pada saat yang sama karya monumental rezim Orde Baru yang otoritarian selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya membatasi partisipasi warga negara melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk ke tempat tidur karena program Keluarga Berencana yang mewajibkan berapa banyak anak yang boleh dimiliki oleh pasangan suami istri. Politik masuk dapur dan menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Fenomena keseharian seperti itu sekali lagi tidak memadai kalau masih mau dilihat dengan cara yang lama.
Kalau yang berlangsung di kampus sedemikian tertinggalnya, kajian ilmu politik lebih berwarna-warni di luar kampus. Karya-karya ahli Indonesia di luar negeri sejak lama telah melepaskan diri dari landasan-landasan lama. Salah satunya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh oleh Lembaga Studi Realino (LSR), yang dibukukan dalam seri penerbitannya. Karya-karya LSR menulis fenomena politik dengan cara yang segar dan cukup kontributif meramaikan wacana. Salah satu buku tersebut bermaksud menggugat peran dwi fungsi ABRI, sama dengan banyaknya karya penelitian lembaga penelitian nomor satu di Indonesia yakni LIPI. Cara kajian ini sangat khas, ia memanfaatkan kajian semiotika yang menarik dan jelas basis argumentasinya. Porsi sebagian besar perhatian tidak diberikan pada ABRI sebagai lembaga an sich yang sama kuatnya dengan negara Orde Baru, tapi pada pelacakan masyarakat melihat hal ini. Pada bagaimana siasat massa rakyat terhadap dominasi ini.
Studi politik Indonesia yang didominasi oleh kajian-kajian klasik politik tidak bisa dilepaskan dari hiruk-pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang dan laku sebagai komoditas untuk menebak-nebak susunan kabinet Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi bagaimana siasat massa rakyat NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia.
Dalam keterbatasan ini ilmu politik dapat bertemu dengan kajian budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna kekuasaan di luar pagar-pagar format kelembagaan. Di sisi lain kajian budaya bisa lebih berdamai akan keperluan praktis studi politik atas keperluan perangkat kerja yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya berpikir positivistik, melainkan demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi ini yang telah teruji. Dan tentu saja demi membuka selebar-lebarnya ruang pluralitas dalam pendekatan ilmu politik di negeri sendiri.
Keterkaitan politik dan kajian budaya tersebut dengan sendirinya juga memerlukan pemahaman hakekat masing-masing ilmu dan kajian tersebut. Poespoprodjo[48], menyatakan dengan filsafat ilmu akan dapat dipahami perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Hal itu berarti, dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan politik dan pengkaji budaya dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
4. Pemerintahan dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Sebagai sebuah ilmu yang multidimensional, pemerintahan__sebagaimana halnya politik__juga masih menyimpan aneka problema, terutama dalam upaya penentuan ontologis, epistemologis dan aksiologis keilmuannya.
Dari aspek ontologis ilmu pemerintahan, baik menyangkut definisi maupun objek material dan formal, belum dijumpai adanya kesepahaman. Meskipun demikian ada beberapa titik persamaan mendasar di kalangan ilmuwan pemerintahan, yaitu: Pertama, bahwa ilmu pemerintahan itu ada dan sedang berkembang ke arah kemandirian. Kedua, adanya berbagai paradigma pemerintahan merupakan tanda bahwa ilmu pemerintahan bersifat teoritik konseptual dan tidak semata-mata praktis profesional. Dengan demikian, pemerintahan bukanlah semata-mata keterampilan belaka.
Realitas yang ada sampai saat ini mengisyaratkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan di tanah air masih dalam proses pemantapan posisinya di dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial. Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lebih dulu berkembang, seperti psikologi, ekonomi dan sosiologi, pemerintahan masih butuh waktu panjang untuk bisa memantapkan dirinya menjadi “normal science” dalam terminologi Thomas Kuhn.
Ilmu pemerintahan disamping perlu mengembangkan konsep-konsep metodologi dan teori yang membedakannya dari cabang-cabang ilmu sosial lainnya, juga ditantang agar secara intensif menggarap berbagai unsur yang relevan dari ilmu-ilmu sosial untuk memperkaya bidang kajiannya. Munculnya istilah-istilah seperti: system analysis, check and balances, boundary maintenance, demand and support, input-output, black box, factor analysis, unit of analysis dan sejumlah istilah-istilah lainnya bisa jadi adalah manifestasi absorpsi oleh ilmu pemerintahan, di samping tentunya karena dampak behavioralisme.
Dari perspektif ini terlihat bahwa ilmu pemerintahan bisa dikategorikan sebagai suatu disiplin yang bersifat general atau multidimensional. Kenyataan ini menjadi sangat paralel dengan mainstream kajian budaya yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Kesamaan mainsteram ini terutama tampak dalam focus of interest ilmu pemerintahan, yang setidak-tidaknya juga harus mencakup dimensi-dimensi filsafat, hukum, politik, sosiologi, administrasi, sejarah, kebudayaan, ekonomi, kepemimpinan dan tentu kajian budaya sendiri. Penjabaran ke dalam dimensi-dimensi keilmuan yang merupakan inti dari kajian ilmu pemerintahan ke dalam kurikulum pengajaran, akan menghasilkan subjek-subjek pokok yang berkenaan dengan: Pengantar Ilmu Pemerintahan, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Filsafat Pemerintahan, Hukum Tata Pemerintahan, Politik Pemerintahan, Sosiologi Pemerintahan, Administrasi Pemerintahan, Sejarah Pemerintahan, Budaya Pemerintahan, Kepemimpinan dalam Pemerintahan dan Kajian budaya Pemerintahan.
Luasnya dimensi-dimensi yang tercakup dalam disiplin ilmu ini akhirnya banyak menimbulkan masalah kefilsafatilmuan, khususnya dalam upaya penentuan epistemologis dan aksiologisnya. Persoalan pertama berkaitan dengan penentuan batas-batas ilmu pemerintahan (termasuk fokus dan lokusnya). Sedangkan persoalan kedua lebih mengarah pada nilai guna atau segi kemanfatan keilmuan.
Fungsi ilmu setidaknya ada tiga, yaitu mendeskripsi, memprediksi serta mengatur gejala alam/ sosial. Supaya ketiga fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan metode yang tepat dan valid. Ada tiga metode keilmuan yang biasanya dipergunakan dalam khasanah perkembangan ilmu penegtahuan, yaitu metode rasional, metode empirik dan metode gabungan. Metode ilmu sangat bergantung pada objek material dan formal dari ilmu yang bersangkutan. Objek material ilmu pemerintahan adalah negara, sama seperti objek material ilmu politik atau ilmu administrasi negara. Sedangkan objek formal ilmu pemerintahan sampai dengan saat ini masih menjadi perbincangan.
Dalam laporan Temu Ilmiah Pengkajian Ilmu Pemerintahan (1985) dikemukakan beberapa pandangan mengenai objek formal ilmu pemerintahan. Soemendar Soerjosoedarmo berpendapat bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan kenegaraan dalam rangka memenuhi kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Sedangkan Syafiie[49] menyatakan bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan koordinasi dan kemampuan memimpin bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam hubungan Pusat dan Daerah antar lembaga serta antara yang memerintah dengan yang diperintah.
Namun, jauh sebelum itu, Mariun[50] sudah menyatakan bahwa pemerintahan menunjuk kepada kegiatan atau fungsi-fungsi negara. Pemerintahan dalam arti luas menunjuk kepada segala kegiatan yang dilakukan oleh badan-badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan menunjuk hanya kepada kegiatan eksekutif semata.
Dari bagan di atas, terlihat bahwa pemerintahan dalam arti luas adalah keseluruhan kegiatan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemerintahan dalam arti sempit hanya menunjuk kepada kegiatan eksekutif, dalam hal ini kegiatan presiden dan para menterinya. Dari bagan itu juga dapat dipahami bahwa sumber kegiatan presiden adalah program yang dibuat dalam kampanye, atau dalam sistem terdahulu GBHN yang merupakan cerminan dari aspirasi rakyat yang disampaikan melalui partai politik.
Tidak seperti ilmu-ilmu sosial yang lain, sampai dengan dekade 1990-an, ilmu pemerintahan di Indonesia masih mengalami krisis epistemologis dan identitas[52]. Namun begitu, sebagai satu solusi awal dari problema ini diajukan konstatasi bahwa objek formal dari ilmu pemerintahan adalah pemerintahan suatu negara. Pemerintahan hanya merupakan satu “field” atau bagian dari ilmu politik, seperti halnya ilmu administrasi negara, hubungan internasional dan yang lainnya.
Kenyataan ini tentu berbeda jauh dengan situasi sejak awal perkembangan ilmu pemerintahan di UGM yang sangat dipengaruhi oleh Mazhab Continental yang menyatakan bahwa ilmu pemerintahan berhubungan dengan: pertama, kegiatan yang menyangkut politik pengambilan keputusan dalam negara (the politics of policy making). Kedua, pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri (policy execution). Dengan kata lain, ilmu pemerintahan diidentikkan dengan ilmu politik. Pandangan ini sudah tentu tidak sesuai dengan realitas, karena ilmu pemerintahan hanyalah salah satu jurusan (field) yang dikembangkan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Dari pemahaman posisi itu, sasaran utama dan objek formal dari ilmu pemerintahan dengan sendirinya adalah pemerintahan Indonesia dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Dalam studi pemerintahan bisa dibahas masalah eksekutif, baik pada tingkat “presidency” maupun pada tingkat lokal. Demikian juga bisa dikaji persoalan “legislatures” terutama yang berkaitan dengan sejarah,kedudukan, fungsi serta peranan lembaga tersebut. Pemahaman terhadap lembaga MA, MPR, TNI, masalah kepartaian dan pemilu, perilaku politik, sosialisasi politik, politik pembuatan kebijakan, analisis dan implementasi serta evaluasi kebijakan yang ditempuh. Jadi, ruang lingkup ilmu pemerintahan adalah “hubungan antara pemerintah dan rakyat dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama”.
Dari berbagai pendapat serta pandangan sebagaimana diungkapkan di atas masih terlihat bahwa belum ada kesamaan pendapat mengenai objek formal ilmu pemerintahan yang memang sangat luas bidang cakupannya. Masalah ini tentu saja pada taraf tertentu akan mempengaruhi tidak saja proses pembuatan silabi dan kurikulum untuk pengajaran ilmu tersebut, tetapi juga perkembangan keilmuan secara keseluruhan.
Berkaitan dengan aksiologi atau nilai gunanya, ilmu pemerintahan memiliki nilai guna/ fungsi ganda yakni fungsi akademik (penemuan dan pengambangan keilmuan) dan fungsi non-akademik[53]. Penerapan fungsi yang pertama telah dimulai sejak akhir tahun 1940-an bersamaan dengan mulai diterapkannya pola UGM dalam pengajaran ilmu sosial dan politik. Pola UGM berbeda dengan pola UI. Pertama, studi hubungan internasional dislenggarakan oleh satu jurusan yang dinamakan Jurusan Hubungan Internasional yang merupakan salah satu dari enam jurusan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Pola UGM mempunyai jurusan Ilmu Pemerintahan yang sedikit berbeda dengan sub-departemen Politik dan Pemerintahan Indonesia pada Pola UI. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Jurusan Ilmu Pemerintahan juga menawarkan beberapa mata kuliah yang erat kaitannya dengan Ilmu Administrasi. Beberapa diantaranya adalah Teori Organisasi dan Manajemen Pemerintahan, Kebijakan Pemerintah, Analisis Kebijakan Pemerintah. Mata kuliah-mata kuliah seperti itu tidak ditawarkan oleh Departemen Ilmu Politik.
Masuknya beberapa mata kuliah yang biasanya disajikan oleh Jurusan Administrasi dalam pola UGM dapat dimengerti jika disadari tujuan sebenarnya dari pendirian jurusan Ilmu Pemerintahan pada awalnya yakni menghasilkan para pegawai negeri, pejabat urusan luar negeri dan penerangan yang sangat dibutuhkan pada periode awal awal kemerdekaan. Pola UGM itu selanjutnya diikuti oleh beberapa universitas di Jawa maupun luar di Jawa. Nama “ilmu politik” tidak digunakan baik untuk nama jurusan ataupun bagiannya. Begitu pula mata kuliah-mata kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Hubungan Internasional tidak mempunyai hubungan yang sangat erat, walaupun kenyataannya bahwa keduanya dapat digolongkan sebagai bidang (field) ilmu politik.
Data terakhir menunjukkan adanya upaya mengembangkan ilmu pemerintahan, baik melalui jalur akademik maupun jalur profesional. Jalur pertama dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga ilmuwan pada jenjang S1, S2, atau S3 dari universtas-universitas. Sedangkan jalur kedua dipersiapkan untuk menelorkan tenaga-tenaga profesional dari akademi dari Institut Ilmu Pemerintahan (sekarang Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Dengan demikian, dari fungsi akademik ilmu pemerintahan secara pelan tapi pasti akan bisa mengejar ketertinggalannya dari pesatnya pengembangan keilmuan dari ilmu-ilmu sosial yang lain.
Penerapan fungsi kedua, fungsi non-akademik bisa dilakukan dengan secara bersama-sama menanamkan nilai-nilai yang menyangkut kehidupan kenegaraan di Indonesia, seperti nilai demokrasi, nasionalisme dan nilai-nilai yang akan membuat insan anak didik mempunyai kapasitas dalam kemampuan politik yang lebih baik dari kebanyakan warga lainnya. Nilai demokrasi, misalnya merupakan sesuatu yang sangat utama dalam kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Seseorang yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pemerintahan, dengan demikian dituntut di samping memiliki jiwa dan semangat demokrasi juga harus bisa mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, salah satu tujuan penting ilmu pemerintahan__disamping tujuan pengembangan keilmuannya__juga menyangkut “civic mission” dari ilmu pemerintahan itu sendiri.
Apabila dalam dua dekade lalu, kajian pemerintahan masih memahami negara sebagai “wilayah dengan batas kedaulatan tertentu yang berhadapan dengan wilayah lain”, maka sekarang pemahaman negara sebagai “satu entitas yang bisa memiliki kepentingan yang berbeda-beda dengan warganya “ mulai mengedepan. Pergeseran pemahaman ini bersamaan dengan munculnya kajian tentang daily politics, seperti governance, interdependensi, trust, capacity building, deliberation bersandingan dengan kosa kata klasik ilmu ini seperti “negara”, “pemilu”, “pemerintah”, “otoritas”, “legitimasi”, “kedaulatan”, dan lain-lain[54]. Kemunculan kosa kata dan kajian baru ini kemudian dilembagakan dalam studi-studi kontemporer yang menjadi varian baru ilmu pemerintahan secara umum dan kajian demokrasi pada khususnya.
Konsep good governance misalnya, menjadi begitu populer seiring penggunaan istilah ini oleh badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai “manifesto politik” baru. Bank Dunia misalnya sangat percaya bahwa di negara-negara Dunia Ketiga, perilaku perburuan rente maupun korupsi kalangan elite justru dibanjiri oleh aliran utang luar negeri, yang menyebabkan memburuknya efektivitas pemerintahan. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program good governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam organisasi-oragnisasi sukarela. Program good governance itu memusatkan perhatian pada reduksi besaran organisasi birokrasi pemerintah; privatisasi badan-badan milik negara; dan perbaikan administrasi bantuan keuangan.
Selanjutnya UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik good governance, seperti: adanya partisipasi, transparansi, akuntabel, efektif dan efisien. Selain itu mengembangkan kepastian hukum (rule of law), responsif, consensus oriented, serta equity and inclusiveness. Karakteristik ini bisa ditambah lagi dengan yang diberikan oleh lembaga-lembaga lain yang berkompeten.
Namun relevansi pemaknaan good governance di Indonesia, sebagaimana diakui Pratikno[55] (2004) cenderung ultraliberal dengan mendegradasi peran negara secara signifikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Mengatasi hal itu paling tidak diperlukan peran dan kapasitas negara yang tepat untuk menjamin kesempatan yang setara, relasi yang berkeadilan, serta demokratis. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan democratic gavernance. Penerapan democratic governance diharapkan akan lebih mampu mengisi ruang-ruang kelemahan good governance sebelumnya dengan tidak hanya mengharap inisiatif aktor negara, melainkan juga mampu meningkatkan inisiatif publik dan terwujudnya partisipasi pada proses transisi demokrasi di Indonesia.
Dalam proses perkembangan kajian budaya politik/ pemerintahan yang pesat seperti itu, filsafat ilmu dengan komponen-komponen yang menjadi tiang-tiang penyangga eksistensi ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, akan dapat mengarahkan pada strategi pengembangan kajian budaya politik dan pemerintahan seperti tersebut di atas. Strategi tersebut tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan kajian budaya politik/ pemerintahan, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia[56].
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari kajian budaya politik/ pemerintahan, bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lainnya. Pada setiap perenungan yang mendasar tersebut, mau tidak mau akan mengantarkan kembali Sang ‘Anak’ kajian budaya politik/ pemerintahan untuk kembali menemui Sang ‘Ibu’ filsafat guna menanyakan berbagai hal mendasar agar mampu melaksanakan dan mengembangkan kaidah-kaidah keilmuannya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.
5. Kesimpulan
5.1 Filsafat ilmu memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan keilmuan. Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa melalui upaya filsafat ilmu, seseorang dapat meninjau dasar dan kedalaman ilmu hingga ke hakekatnya.
5.2 Bidang garapan filsafat ilmu terutama komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi juga dapat dipergunakan sebagai perspektif dalam melihat berbagai bidang ilmu.
5.4 Dalam bidang politik dan pemerintahan yang begitu pesat perkembangannya sekarang ini, filsafat ilmu dengan komponen-komponen ontologi, epistemologi dan aksiologinya, dapat ikut mengarahkan strategi pengembangannya. Strateginya tidak hanya menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan bidang politik dan pemerintahan, akan tetapi juga arti dan maknanya bagi kehidupan umat manusia.
6. Saran-saran
6.1 Pentingnya pemahaman filsafat ilmu perlu disosialisasikan sejak awal kepada mahasiswa ilmu politik dan pemerintahan agar mereka lebih terbuka wawasan ilmiahnya, bahwasanya filsafat, ilmu pengetahuan dan politik adalah saling terkait dan tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
6.2 Memasukkan mata kuliah filsafat ilmu ke dalam kurikulum sudah tepat dalam kerangka peningkatan mutu akademik. Hanya saja, cakupan materi filsafat ilmu yang sedemikian luas tidak cukup hanya ‘dihargai’ dengan 2 SKS. Penambahan SKS diperlukan (misalnya jadi 3 SKS) guna memberikan lebih banyak peluang bagi para mahasiswa mengetahui hakekat dan posisi ilmu politik dan pemerintahan dalam cakrawala pengetahuan manusia, serta peranannya bagi eksistensi manusia.
6.3 Untuk lebih menarik minat khalayak dalam mempelajari filsafat ilmu, serta untuk menghilangkan ‘trauma’ bahwa bidang ini adalah sesuatu yang sulit dipelajari, maka penulisan/ publikasi buku-buku tentang filsafat ilmu bisa diusahakan lebih populer serta bersifat elementer agar tidak terkesan ‘berat’ dan lebih mudah ‘dicerna’.
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A., dan Verba, Sidney, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, Jakarta
Bahm, Archie J., 1980. What is “Science”? dalam My Axiology: The Science of Values, 44-49 World Books, Albuquerque, New Mexico.
_____________, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Baker, Anton, 1992. Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Budiardjo, Miriam, 1991. Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit PT Gramedia, Jakarta
Fay, Brian (terj. M. Muhith), 2002, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta.
Frondizi, Risieri (terjemahan, Cuk Ananta Wijaya), 2001.Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakart
Gaffar, Afan, Dua Tradisi Keilmuan, 1990. Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
____________, 1991.“Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktobe
Gallagher, Kenneth T., (disadur P. Hardono Hadi), 1994, Epistemologis (Filsafat Pengetahuan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Gandhi, Mahatma, 1985. Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran (Penerj. Gedong Bagoes Oka), Kata Pengantar Profesor Dr. Syed Abid Husain, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
Hardiman, Budi, F.,2003. Melalui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Hatta, Mohammad, 1952. Alam Fikiran Yunani, Jilid I dan II, Tinta Mas Kramat 60, cetakan IV, Jakarta
Imawan, Riswandha, 1991.,“ Perkembangan dan Prospek Program Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktobe
Joesoef, Daoed., “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan” makalah kunci disampaikan dalam forum Seminar Nasional Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, 3-4 September 1986
Kleden, Ignas, 2002, “Konflik Etnis atau Konflik Politik ?” dalam Tempo Edisi Khsus 6 Januari 20
Koenig, Matthias, Democratic Governance in Multicultural Societies: Social Conditions for the Implementation of International Human Rights Through Multicultural Policies, Management of Social Transformations – MOST Discussion Paper No. 30 http://scout.cs.wisc.edu/report/socsci/current/index.html, 23 Februari 1999 Volume 2, Number 11
Kuhn, Thomas, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,1989 (penerj.Tjun Surjaman), Penerbit Remadja Karya CV, Bandun
Lasiyo dan Yuwono, 1985. Pengantar Filsafat, Penerbit Liberty, Yogyakarta
Mariun, 1978. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Badan Penerbitan Fisipol UGM, Yogyakart
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Peursen, C.A. Van, 1989, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Pratikno, “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance”, Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional Governance in Practices: Belajar dari Pengalaman di Indonesia, diselenggarakan oleh Panitia Dies Fisipol UGM ke 49, Yogyakarta, 25 September 200
Qadir, C.A. (Peny.), 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Kata Pengantar oleh Jujun S. Suriasumantri, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Savirani, Amalinda, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des.,[cited 2004 Nov.4]. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm
__________________, “Ilmu Pemerintahan Masa Depan: Mengadopsi Politik Pinggiran”, dalam Jurnal Transformasi Volume 1, Nomor 1, September 2003.
Simon, Roger, 2004. (penerj.Kamdani dan Himam Baihaqi), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sularto,ST., “’Ide-ide Menerobos’ Dr. M. Sastrapratedja”, dalam Kompas, Sabtu 15 Maret 2003.
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT Grasindo, Jakarta
Suriasumantri, Jujun S., 1985. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta.
The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta
Thoyibi, M. (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta
Verhaak, C. dan Imam, Hayono R., Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
Wibisono, S., Koento., 2004. “Hubungan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Budaya”, Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program S3 Kajian Budaya Unud, Denpasar.
__________________, Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu untuk Program Pasca Sarjana, Tahun Ajaran 2004/ 2005
__________________, 1999, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
__________________, “Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran serta Perkembangannya” dalam M. Thoyibi (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta
__________________,dkk.,1997., Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Klaten
____________________., 1996., Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
__________________, 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta
Yudha Triguna, IBG dan Inten Mayuni, AA, “Memahami Akar Intelektual Ilmu Sosial: Perspektif Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dalam Jurnal Sarathi Volume 9 Nomor 2 Juni 2002.
[1] Materi Kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Politik/ Pemerintahan pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa. Blog URL:http://ilmupemerintahan.wordpress.com.
[2] Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Warmadewa.
Blog URL:http://wgsuacana.wordpress.com.
[3] Lasiyo dan Yuwono, 1985. Pengantar Filsafat, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 1.
[4] Hatta, 1952. Alam Fikiran Yunani, Jilid I, Tinta Mas Kramat 60, cetakan IV, Jakarta, hlm. 3
[5] Wibisono, 2004 b, op.cit., hlm. 4-5.
[6] Lasiyo dan Yuwono, op.cit., hlm. 17-18. [6] Bahm, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 17.
[7] Bahm, 2003. Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 17.
[8] Peursen, 1989., Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, (penerj J.Drost), Penerbit PT Gramedia Jakarta, hlm. 4.
[9] Wibisono., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, hlm.3. Dalam Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, hlm. 6-7.
[10] Dalam Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, hlm. 6-7.
[11] Dalam The Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty Yogyakarta, hlm.29
[12] Wibisono S. dkk., 1997., op.cit., hlm 29
[13] The Liang Gie., 1999., op.cit.,hlm. 93.
[14] Wibisono, “Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran serta Perkembangannya” dalam M. Thoyibi (ed), 1998., Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, Muhammadyah University Press, Surakarta.hlm 16-25.
[15] Loc.cit.
[16] Wibisono, Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu untuk Program Pasca Sarjana, Tahun Ajaran 2004/ 2005
[17] Bahm., 1980., “What Is Science”, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, hlm.1
[18] Wibisono., 1984., op.cit. hlm. 14.
[19] Dalam loc.cit., hlm 16.
[20] Koento Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 13.
[21] Bahm., 1980., “What Is Science”, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, hlm 1-36.
[22] Bahm, loc.cit., hlm.30-34.
[23] Verhaak dan Imam, 1991. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[24] Pembahasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Peursen., 1989., op.cit, hlm.4-5
[25] Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 174.
[26] Bahm, op.cit., hlm. 1
[27] Joesoef, “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan” makalah kunci disampaikan dalam forum seminar nasional Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM, 3-4 September 1986.
[28] Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,1989 (penerj.Tjun Surjaman), Penerbit Remadja Karya CV, Bandung, hlm. 57.
[29] Kisah perjalanan hidup Sang Mahatma dituangkan dalam Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran (Penerj. Gedong Bagoes Oka), Kata Pengantar Profesor Dr. Syed Abid Husain, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1985
[30] Sastrapratedja dalam Wibisono, 2004 b, op.cit., hlm. 6.
[31] Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 12.
[32] Suriasumantri, op.cit., hlm. 63-229.
[33] Wibisono, op.cit., hlm. 12 atau Silabus Mata Kuliah Filsafat Ilmu, 2004.
[34] Baker, 1992. Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16-17.
[35] Gallagher (disadur P. Hardono Hadi), 1994, Epistemologis (Filsafat Pengetahuan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
[36] Wibisono op.cit, hlm. 12
[37] Nilai diyakini sebagai kualitas yang tidak riel. Karena kualitas tidak dapat ada melalui dirinya sendiri, maka nilai adalah milik semua objek yang oleh Huserl dikatakan “tidak independen”, yakni nilai tidak memiliki kesubstantivan_hal yang menjadi ciri khas dan tanda fundamental bagi nilai. Lihat Risieri Frondizi, (terjemahan, Cuk Ananta Wijaya), 2001.Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 7-11.
[38] Wibisono op.cit, hlm. 12
[39] Bahm., 1980. What is “Science”? dalam My Axiology: The Science of Values, World Books, Albuquerque, New Mexico. Mustansyir dan Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 46.
[40] Mustansyir dan Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 46.
[41] Barker, loc.cit.
[42] Dalam ilmu politik, politik diartikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Lihat Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT Grasindo, Jakarta, hlm. 10-11.
[43] Terjemahan Indonesianya, Almond dan Verba, 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bina Aksara, Jakarta.
[44] Savirani, Dari Negara ke Coca Cola:Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des.,[cited 2004 Nov.4]. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm.
[45] Sejarah perkembangan ilmu politik dapat dilihat dalam Budiardjo, 1991. Dasar-dasar Ilmu Politik, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, hlm. 1-3.
[46] Karakteristik dari mazhab positivisme dalam ilmu politik dapat dilihat dalam Gaffar, Dua Tradisi Keilmuan, Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
[47] Simon, 2004. (penerj.Kamdani dan Himam Baihaqi), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
[48] Op.cit., hlm 16.
[49] Syafiie, op.cit., hlm. 36.
[50] Mariun, 1978. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Badan Penerbitan Fisipol UGM, Yogyakarta.
[51] Imawan, “ Perkembangan dan Prospek Program Studi Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktober 1991.
[52] Gaffar, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Posisi Ilmu Pemerintahan dalam Sistem Pendidikan Nasional, IIP-Depdagri, Jakarta 20-21 Oktober 1991.
[53] Loc.cit.
[54] Savirani, “Ilmu Pemerintahan Masa Depan: Mengadopsi Politik Pinggiran”, dalam Jurnal Transformasi Volume 1, Nomor 1, September 2003, hlm. 62-76.
[55] Pratikno, “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance”, Paper dipresentasikan pada Seminar Nasional Governance in Practices: Belajar dari Pengalaman di Indonesia, diselenggarakan oleh Panitia Dies Fisipol UGM ke 49, Yogyakarta, 25 September 2004.
[56] Wibisono, 2004 a, op.cit., hlm 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar