Kamis, 22 April 2010

TEORI BUDAYA POLITIK

BUDAYA POLITIK DI INDONESIA

Pendahuluan
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Kehidupan suatu negara tidak terlepas dari kegiatan politik. Kegiatan politik yang identik dengan kekuasaan dalam kehidupan bernegara dilaksanakan untuk mencapai tujuan bersama.
Perkembangan politik dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan budaya yang ada dalam masyarakat negara tersebut. Pendidikan dan pemahaman politik masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya politik di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Perkembangan budaya politik di wujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Partai politik selalu berusaha untuk merebut simpati rakyat dalam kegiatan pemilu yang bertujuan untuk menempatkan orang-orang partainya dalam pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara dan UUD 1945. Untuk itu, agar masyarakat memiliki pandangan politik yang sesuai, sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi dan perkembangan lingkungan yang ada.
Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama, sehingga masyarakat yang memegang peranan penting dalam perkembangan budaya politik suatu negara mampu berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Partisipasi politik masyarakat angatmembantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara.

A. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi. Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, dan terintegrasi.
Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli :
1. Miriam Budiardjo, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari suatu sistem dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut.
2. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan (macht) oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Pokoknya selalu ada kekuatan/kekuasaan.
3. Joyce Mitchell, politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuat kebijakan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Budaya politik (kebudayaan politik) menurut Almond dan Verba merupakan dimensi psikologis dari sistem politik, maksudnya adalah budaya politik bukan lagi sebagai sebuah sistem normatif yang ada di luar masyarakat, melainkan kultur politik yang berkembang dan dipraktekkan oleh suatu masyarakat tertentu. Dalam setiap masyarakat terdapat budaya politik yang menggambarkan pandangan masyarakat tersebut mengenai proses politik yang berlangsung di lingkungannya. Tingkat kesadaran dan partisipasi mereka biasanya menjadi hal penting untuk mengukur kemajuan budaya politik yang berkembang.
Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu :
(1) Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)
(2) Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
(3) Budaya politik partisipatif (aktif)
Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
(1) Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat
(2) Tingkat ekonomi masyarakat, semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat maka partisipasi masyarakat pun semakin besar
(3) Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik)
(4) Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas)
(5) Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri)
Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada :
(1) Orientasi kognitif, yang merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah
(2) Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
(3) Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yan gsecara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.

B. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK YANG BERKEMBANG DI DALAM MASAYARAKAT INDONESIA

Menurut Aristoteles (384 – 322 M) manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk mememnuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciri-ciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut :
1. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu terutama hak pilih aktif
2. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap :
a. menerima sebagaimana adanya
b. menolak dengan alas an tertentu atau
c. ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa
3. Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya
4. Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.
Budaya politik yang berkembang di setiap negara sangat beragam, hal ini di pengaruhi oleh karakter budaya politiknya masing-masing. Untuk mengetahui karakter budaya politik suatu bangsa dapat diukur melaui beberapa dimensi yang berkembang dalam masyarakat, yaitu :
(1) Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki oleh masyarakat mengenai sistem politik negaranya, seperti pengetahuan tentang sejarah, letak geografis, dan konstitusi negaranya
(2) Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat suatu kebijakan
(3) Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi masukan opini dari masyarakat dan media massa kepada pemerintah
(4) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik dan bernegara, serta pemahmanya akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warga negara.
Perbedaan dimensi tersebut menurut Almond dan Verba melahirkan beberapa tipe budaya politik yang berkembang dalam negara, yaitu :
(1) Budaya Politik Parokial (parochial political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas sangat rendah. Tidak ada peran-peran politik masyarakat yang bersifat khusus, sehingga peranan politik, baik yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius sepenuhnya diserahkan kepada pengambil kebijakan/pemimpin yang biasanya dipegang oleh seorang kepada suku/adat, tokoh agama, ataupun tokoh masyarakat yang peranannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
(2) Budaya Politik Subjek (subject political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap dimensi pengetahuan dan pemahaman cukup tinggi, tetapi masih bersifat pasif, artinya masyarakat sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, namun mereka belum memiliki orientasi dimensi pemahaman mengenai penguatan kebijakan dan partisipasi dalam kegiatan politik, mereka tidak memiliki keinginan dan kemauan untuk mencoba menilai, menelaah, atau mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mereka menerima apa adanya, sehingga sikap masyarakat terhadap suatu kebijakan pemerintah terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menerima atau menolak.
(3) Budaya Politik Partisipan (participan political culture), dimana pada tingkat tersebut frekuensi orientasi masyarakat terhadap empat dimensi tersebut diatas lebih baik, masyarakat mulai bersifat aktif dalam peran-peran politik, meskipun perasaan dan evaluasi masyarakat terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kondisi masyarakat yang hetorogen selain dapat memberkaya berkembangnya budaya politik yang beragam, juga dapat menjadi suatu ancaman terhadap keutuhan bangsa. Untuk menghindari terjadi disintegrasi bangsa, perlu kiranya menanamkan nilai-nilai dasar yang dapat mengikatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, seperti toleransi, kekeluargaan, musyawarah mufakat, gotong royong, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Yang terpenting dalam hal ini adalah bukan membicarkan perbedaan yang ada tetapi bagaimana menyatukan pendangan yang lebih menekankan pada kepentingan nasional.
Clifford Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
(1) Budaya Politik Abangan, yaitu budaya politik masyarakat yang lebih menekankan pada aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap roh halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Ciri khas dari budaya politik abangan ini adalah tradisi selamatan, yang berkembang pada kelompok masyarakat petani pada era tahun 60-an, diyakini dapat mengusir roh-roh jahat yang mengganggu manusia. Kelompok masyarakat abangan sering kali berafiliasi dengan partai semacam PKI dan PNI.
(2) Budaya Politik Santri, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada aspek-aspek keagamaan, khususnya agama Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia. Kelompok masyarakat santri biasanya diidentikan dengan kelompok masyarakat yang sudah menjalankan ibadah atau ritual agama Islam. Pendidikan mereka ditempuh melalui pendidikan pesantren , madrasah, atau mesjid. Kelompok masyarakat santri biasanya memiliki jenis pekerjaan sebagai pedagang. Kelompok masyarakat santri pada masa lalu sering kali berafiliasi dengan partai NU atau Masyumi, namun pada masa sekarang mereka berafiliasi pada partai, seperti PKS, PKB, PPP, atau partai-partai lainnya yang menjadikan Islam sebagai dasarnya.
(3) Budaya Politik Priyayi, yaitu budaya politik masyarakat yang menekankan pada keluhuran tradisi. Kelompok priyayi sering kali dikontraskan dengan kelompok petani, dimana kelompok priyayi dianggap sebagai kelompok atas yang menempati pekerjaan sebagai birokrat (pegawai pemerintah). Pada masa lalu kelompok masyarakat priyayi berafiliasi dengan partai PNI, sekarang mereka berafiliasi dengan partai Golkar
Dalam perkembangannya tipe-tipe budaya politik dalam masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkemabngan sistem politik yang berlaku. Oleh karena itu tipe-tipe dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu :

I. Masa Orde Lama
Pemilu nasional pertama dilaksanakan pada masa Orde Lama, dilaksanakan secara bertingkat, tanggal 29 September 1955 Pemilu untuk memilih anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar). Jumlah kursi yang diperebutkan adalah anggota DPR adalah 260 orang untuk anggota DPR dan 520 orang Badan Konstituante ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 berdasarkan pada UU No. 27 Tahun 1948 jo. UU No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu yang diikuti oleh lebih dari 170 partai politik, termasuk perseorangan calon independent yang terbagi dalam 15 distrik pemilih, disesuaikan dengan wilayah provinsi yang ada pada saat itu. Yang memiliki hak suara adalah WNI, keturuanan Arab, Cina dan Erapa, serta anggota tentara dan polisi.
Pada masa ini budaya politik yang berkembang berada dibawah pengaruh dominasi agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari masyarakat Indonesia. Namun demikiran, menurut Deliar Noer, umat Islam di Indonesia secara politis sering terlibat kontroversi teoritis dan ideologis, baik dengan pihak nasionalis sekuler maupun antarsesama umat Islam sendiri. Perpecahan komunitas muslim ini melahirkan kebangkitan berbagai partai politik. Dengan pola multi partai, partai politik yang ada saat itu terbagi menjadi dua, yaitu yang menganut asas politik agama, seperti Partai keagamaaseperti Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai PersatuanTarekat Islam Indonesia, dan Angkatan Kesatuan Umat Islam, partai nasionalis dan yang menganut asas politik sekuler seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil. Namun kenyataannya partai partai politik tersebut tidak menyelenggarakan fungsi sebagaimana yang diharapkan. Kondisi seperti ini sangat rentan, sehingga menimbulkan banyaknya penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

II. Masa Orde Baru
Pemilu pertama padaMasa Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971 yang didasarkan pada UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. Pemilu pada tahun 1971 lahir sebagai koreksi total terhadap pemerintahan Orde Lama yang dianggap telah melakukan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 berdasarkan UU Pemilu No. 4 Tahun 1975 dengan sistem proporsional di daerah pemilihan. Pada masa Orde Baru, partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa, walaupun masih dengan pola multi partai. Pelaksanaan Pemilu pada tahun 1977 terjadi penyederhanaan partai politik peserta pemilu berdasarkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar yaitu sebagai berikut :
a. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam, dan Perti.
b. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba
c. Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kumpulan dari berbagai golongan masyarakat Indonesia dari berbagai profesi.
Kedua partai politik dan satu golongan ini tetap bertahan sejak pelaksanaan Pemilu tahun 1982 berdasarkan UU Pemilu No. 2 Tahun 1980, 1987 berdasarkan UU Pemilu No. 1 Tahun 1985 dan terus dipakai sampai pelaksanaan Pemilu tahun 1992.
Perolehan suara mulai tahun 1977 selalu didominasi oleh Golkar. Dalam perkembangannya, ternyata Orde Baru pun masih melakukan penyimpanganpenyimpangan yang hampir sama dengan pemerintahan Orde Lama, bahkan dalam kaitannya dengan masalah rasial terjadi kesalahan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena budaya politik yang berkembang pada masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup. Pemerintahan Orde Baru dianggap telah gagal dalam melakukan koreksi terhadap apa yang telah terjadi pada pemerintahan yang lalu.

III. Masa Reformasi
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama setelah Presiden Suharto lengser yang merupakan babak baru yang dikenal dengan reformasi. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan berdasarkan UU Pemilu No. 3 tahun 1999 yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan B.J. Habiebie yang diikui oleh 48 partai politik. Awal terjadinya reformasi di Indonesia dipicu dengan adanya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Reformasi lahir di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan perubahan terhadap kekeliruan-kekeliruan politik yang terjadi dalam perkembangan politik di Indonesia dan berupaya merubah tatanan kehidupan budaya politik yang kondusif, transparan dan inklusif. Dengan tetap mempertahankan pola multi partai, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan partai politik pada masa Orde Baru, pada pelaksanaan Pemilu pada tahun 1997 diikuti oleh 48 partai politik
Dalam pelaksanannya reformasi malah melahirkan euphoria politik yang kebablasan sehingga melahirkan perubahan perilaku politik yang anarkis, peranan legislatif yang lebih dominan dan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, semua pihak dituntut untuk lebih menyadari akan pentingnya nilai-nilai kesatuan, karena dengan adanya berbagai kepentingan yang berbeda sangat memungkinkan lahirnya berbagai konflik dalam kehidupan masyarakat. Perilaku politik yang dijalankan harus sesuai dengan tata aturan yang berlaku, termasuk pendayagunaan lembaga-lembaga negara yang ada sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing, sehingga diharapkan dapat melahirkan budaya politik yang diharapkan.

C. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada. Semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Pada prinsipnya, tidak ada perubahan yang sempurna, tetapi kita harus berusaha agar perkembangan budaya politik berkembang sesuai dengan yang diharapkan, untuk mencapai kepentingan bersama. Ada dua hal yang harus diperhatikan dengan baik dalam melakukan sosialisasi politik :
a. Semakin homogen suatu masyarakat dan semakin lama ia bertahan menurut waktu, semakin memungkinkan proses sosialisasinya menjadi didefiniskan secara jelas dan relatif dipersatukan, dan tampaknya berlangsung dampak yang sama dalam masyarakat-masyarakat yang berusaha terang-terangan untuk mengontrol proses sosialisasinya.
b. Semakin heterogen suatu masyarakat dan terjadi perubahan radikal berkali-kali, proses sosialisasinya menjadi terpenggal-penggal dan dapat diterapkan pada bermacam-macam kelompok dalam masyarakat, tidak kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada satu masa menurut waktunya, adalah mungkin untuk menetapkan satu kebudayaan politik tertentu bagi suatu masyarakat, yang dapat didefinisikan sebagai nilai yang relevan secara poltik dan sebagai sikap-sikap dari masyarakatnya. Hubungan antara kebudayan politik dan sosialisasi politik menjadi penting karena dengan bantuan proses yang terakhir ini, nilai-nilai dan sikap-sikap yang relevan secara politis tadi disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembagai legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, masyarakat hendaknya memberikan respon positif terhadap perkembangan-perkembangan budaya politik di Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Mengerti dan mampu malaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara
b. Berpartisipasi aktif dalam pelaknaan pemilu
c. Malaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan berbagai masalah
d. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat
e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
f. Menjunjung tinggi hukum yang berlaku
g. Mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi penerus bangsa
Perkembangan budaya politik yang ada di wujudkan dengan terciptanya partaipartai politik. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan, bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Dalam negara demokratis partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi :
1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.
2. Sebagai sarana sosialisasi politik, diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat tempat tinggalnya.
3. Sebagai sarana rekuitmen politik, yaitu untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota politik (political recruitment) dan untuk melakukan pengkaderan terhadap generasi muda melalui pendidikan politik.
4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management) artinya apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat maka partai politik berusaha untuk mengatasi konflik tersebut.

D. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Manusia sebagai insan politik memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas politik dalam kehidupan bernegara, baik sebagai aktor utama maupun sebagai obyek tujuan politik. Setiap insan politik harus dapat menunjukkan partisipasinya dalam kegiatan yang berhubungan dengan warga negara secara pribadi (private citizen) yang bertujuan untuk ikut mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya. Kegiatan manusia sebagai insan politik terbentuk dalam partasipasi politik sebagai berikut :
1. Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
2. Lahirnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi input terhadap kebijakan pemerintah.
3. Pelaksanaan Pemilu sebagai bentuk partisipasi nyata masyarakat sebagai warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan hak dipilih dan ikut serta dalam kegiatan kampanye.
4. Lahirnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui kegiatan demonstrasi, unjuk rasa, petisi, protes, dan sebagainya yang sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. David F. Roth dan Frank L. Wilson dalam buku The Comparative Studi of Politics menggambarkan bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam bentuk piramida sebagai berikut :


Samuel Huntington dan Joan Nelson mengemukan tentang bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik, yaitu :
(1) Kegiatan pemilihan. Kegiatan pemilihan termasuk sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, dan mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan
(2) Lobbying. Merupakan usaha-usaha perorangan atau kelompok untuk menghubungi penguasa-penguasa pemerintahan dan pemimpin-pemimpin politik dengan tujuan mempengarui hasil keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sebagian besar orang
(3) Kegiatan organisasi. Meliputi kegiatan organisasi dalam bentuk partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang memiliki tujuan utama untuk mempengaruhi pemerintah
(4) Mencari koneksi (contacting) Merupakan tindakan perorangan yang ditujukan kepada penguasa-penguasa pemerintah yang biasanya bertujuan untuk memperoleh manfaat hanya untuk orang-orang tertentu saja.
(5) Tindakan kekerasan (violence) Merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang diambil sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap manusia atau pun harta benda.
Partisipasi yang dikembangkan di negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dihindarkan dan dilaksanakan dalam partisipasi politik yang sesuai dengan norma-norma dan budaya bangsa Indonesia, yaitu :
1. Perilaku yang harus dihindarkan, seperti :
a. Bersikap angkuh
b. Egois
c. Ekstrim
d. Meremehkan orang lain
e. Individualis
f. Tidak menerima kritikan orang lain
2. Perilaku yang harus dilaksanakan, seperti :
a. Saling menghormati
b. Menghargai orang lain
c. Toleransi
d. Berperilaku demokratis
e. Mengembangkan sikap kekeluargaan
f. Musyawarah untuk mufakat

KESIMPULAN

Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana jaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri.
Budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jadi perbedaan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat akan menimbulkan perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat tersebut.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi.
Tipe-tipe budaya politik berkembang dipengaruhi oleh karakteristik yang ada dalam masyarakat. Tipe-tipe budaya politik ini dapat dibedakan dalam (1) Budaya Politik Parokil, (2) Budaya Politik Subjek dan (3) Budaya Politik Partisipan. Tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia menurut Clifford Geerts adalah (1) Budaya Politik Abangan, (2) Budaya Politik Santri, dan (3) Budaya Politik Priyayi.
Dalam perkembangannya tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem politik yang berlaku, sehingga di Indonesia terbagi dalam tiga kelompok (1) Orde lama, (2) Orde Baru, dan (3) Reformasi, dengan melaksanakan multi partai yang berkembang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Sosialisasi politik dilakukan sesuai dengan kondisi perkembangan lingkungan yang ada, semakin stabil pemerintahan, semakin mudah untuk melakukan sosialisasi politik. Sosialisasi politik memperhatikan aspek homogenitas dan heterogenitas. Di negara Indonesia fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembaga legislatif mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktek ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatannya dalam rakngka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Bentuk partisipasi politik yang dikembangkan di negara Indonesia adalah partisipasi yang mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional dan di wujudkan dengan menampilkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.




Daftar Pustaka

Almond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr., Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict,

R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.

Emmerson, Donald, K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.

Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.

Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.

Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar