Kamis, 22 April 2010

TEORI KEKUASAAN

TEORI-TEORI KEKUASAAN NEGARA


A. Pendahuluan
Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran tentang bagaimana pada permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana pemerintahan itu telah berkembang melalui perkembangan dari 3 tipe masyarakat yaitu masyarakat setara, masyarakat bertingkat dan masyarakat berlapis.
Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh perkembangan masyarakatnya yang disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melandasinya seperti pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahan yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau negara.
Plato dan Aristoteles lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan buruk dengan alasan pembagian tersebut. Konsep-konsep tentang pemerintahan yang baik dan buruk menurut Plato dan Aristoteles masih terefleksi sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga dewasa ini.
Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pada hakekatnya adalah sarana untuk menjalankan fungsi pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Namun kekuasaan yang tidak terkontrol, justru akan mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat tersebut. Oleh karena itulah diperlukan upaya pemberdayaan demos (masyarakat), karena sesungguhnya masyarakatlah yang berdaulat, sedang pemerintah hanya sekedar menjalankan amanat rakyat. Demos yang berdaya pada suatu negara, sekaligus akan mencerminkan bahwa negara tersebut menganut prinsip supremasi hukum dan menjunjung tinggi cita-cita demokrasi.

B. Konsep Kekuasaan dan Pembatasan Kekuasaan
Secara umum dapat dikatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu (Budiardjo, 1993 : 35). Inilah “kesepakatan umum” mengenai makna dan definisi kekuasaan, yang dikembangkan dari rumusan Laswell dan Kaplan dalam karya mereka yang berjudul Power and Society (Yale UP, 1950). Meskipun demikian, diantara para pemikir politik tetap terdapat sedikit perbedaan titik pandang atau penekanan (stressing), terutama dalam hal konteks dimana kekuasaan itu berlaku, atau siapa yang memegang dan menjalankan kekuasaan itu.
Dalam konteks ini, konsep tentang kekuasaan politik merujuk kepada kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik ini merupakan sebagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara sebagai pihak yang berhak mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan paksaan.
Oleh karenanya, cakupan kekuasaan politik tidak hanya meliputi ketaatan dari masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang administratif, legislatif dan yudikatif (Budiardjo, 1993 : 37).
Secara lebih lengkap, beberapa pengertian lain dari kekuasaan yang diungkapkan para ahli politik, sebagaimana diinventarisir oleh Budiardjo (1994 : 92-94) antara lain sebagai berikut :
a. Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini (Max Weber, Wirtschaft und Gesselschaft, 1992).
b. Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama (van Doorn, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht, 1957).
c. Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah (seluruhnya atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau memilih, yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain (Mokken, Power and Influence as Political Phenomena, 1976).
d. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar -- terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu (Talcott Parsons, The Distribution of Power in America Society, 1957).
Dalam setiap kajian mengenai konsep kekuasaan, terdapat suatu fenomena yang unik dimana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain seringkali tidak disertai dengan kewibawaan, sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara suka rela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat-alat kekuasaan. Selanjutnya, jika pembahasan telah memasuki dimensi ketaatan atau ketertundukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, menjadi mutlak untuk diketahui tentang authority (otoritas, kewenangan) dan legitimacy (keabsahan), dua konsep yang tidak pernah bisa dilepaskan dari konsep kekuasaan.
Otoritas atau wewenang sendiri menurut Robert Bierstedt dalam karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan Kaplan, yang menyatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.
Sedangkan beberapa pengertian legitimasi atau keabsahan seperti yang dikumpulkan oleh Budiardjo (1994 : 90-91), dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
b. Legitimasi adalah the conviction on the part of the member that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to abide by the requirements of the regime (David Easton, System Analysis of Political Life, 1965).
c. Legitimasi mencakup the capacity to produce and maintain a belief, that the existing political institutions or forms are the most appropriate for the society (Seymour Martin Lipset, Political Man : The Social Basis of Politics, 1969).
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, mengapa seseorang atau suatu kelompok memiliki wewenang yang lebih besar dan mampu memaksa orang atau kelompok lain untuk tunduk dan taat kepadanya, serta dari mana orang atau kelompok tadi memperoleh landasan legitimasi untuk melaksanakan kekuasaannya ? Untuk menjawab pertanyaan ini, mau tidak mau harus dikembalikan kepada teori tentang sumber-sumber kekuasaan serta cara mendapatkan kekuasaan.
Khususnya mengenai sumber-sumber kekuasaan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah paham-paham kenegaraan dan kemasyarakatan dari yang non-demokratis kepada yang demokratis. Mula-mula, semenjak berakhirnya abad pertengahan yang merupakan masa-masa kegelapan (medium aevum) bagi kebudayaan global terutama di Eropa, dalam Ilmu Negara muncul pemikiran tentang Kedaulatan Tuhan.
Ajaran yang sangat identik dengan teori Kedaulatan Raja ini menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan Tuhan, dan diturunkan kepada raja dengan wahyu Ilahi. Kekuasaan raja adalah bebas, tidak terbatas dan tidak terikat, karena memang raja hanya tunduk dan bertanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian maka setiap kehendak dan perintah raja dianggap sebagai perwujudan kehendak dan perintah Tuhan.
Meskipun demikian, ajaran ini mengandung kelemahan, yaitu ketika raja turun tahta, maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaan dan kedaulatannya. Saat itulah saat dimana semua yang dimilikinya langsung berpindah kepada raja baru yang menggantikannya.
Dari sini muncul ajaran baru yakni Kedaulatan Negara yang berpendapat bahwa negaralah yang memberi kekuasaan kepada raja atau kepala negara, dan bukan sebaliknya (Prodjodikoro, 1981 : 37). Akan tetapi, ajaran inipun ternyata menyimpan kekurangan juga. Apa artinya suatu negara atau pemerintahan jika tidak didasarkan pada suatu peraturan yang lurus dan jujur (yaitu hukum) ?
Dalam hubungan ini, Krabbe dan Duguit menyatakan bahwa hukum itu terjadi dari rasa keadilan (rechtsgefuhl) atau keinsyafan keadilan (rechtsbewustzijn) yang hidup pada sanubari rakyat. Dan hukum itu sendiri -- menurut von Savigny -- tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli hukum dari ketentuan-ketentuan yang sudah lama ada dan berkembang bersama-sama dengan perkembangan hidup rakyat. Itulah sebabnya, atas dasar pemikiran-pemikiran demikian, ajaran Kedaulatan Negara digantikan posisinya oleh ajaran Kedaulatan Hukum.
Dari ketiga ajaran tentang kedaulatan diatas, dapat dilihat terjadinya proses demokratisasi, dalam arti dari waktu ke waktu selalu diupayakan untuk menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak. Dengan kata lain, kekuasaan yang dipegang oleh seorang raja atau kepala negara semakin diadakan pembatasan yang lebih jelas, sehingga dapat mengurangi berbagai kemungkinan pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan secara ekstrim.
Meskipun telah muncul gagasan mengenai pembatasan kekuasaan oleh hukum, namun peran rakyat sebagai inti dari suatu negara belum begitu menonjol. Oleh sebab itu, muncullah ajaran atau teori Kedaulatan Rakyat yang masih berlaku hingga sekarang. Teori yang dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau dan John Locke ini menentukan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan yang tertinggi. Rakyat dapat menyerahkan kepercayaan dalam bentuk kekuasaan pemerintahan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi kedaulatan itu sendiri tidak ikut diserahkan.
Bahkan jika dipandang perlu, rakyat bisa menarik atau mencabut kembali kekuasaan yang telah diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang tadi. Sebaliknya, rakyat harus mematuhi aturan-aturan dan perintah si penguasa segera setelah terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut. Inilah yang dimaksud Rousseau dengan istilah du contract social (perjanjian masyarakat).
Dari kilasan sejarah teori kedaulatan diatas, nampaklah bahwa sumber-sumber kekuasaan yang dikenal selama ini terdiri dari 4 (empat) sumber, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh atau bersumber dari Tuhan, Negara, Hukum dan Rakyat. Adapun cara-cara memperoleh kekuasaan, seperti dikemukakan oleh Syafiie (1996 : 54-58), terdiri dari 7 (tujuh) macam cara.
Legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan dan atau pemilihan. Coersive Power adalah perolehan kekuasaan melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan kekuasaan yang bersifat inkonstitusional.
Selanjutnya expert power adalah perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang dalam memangku jabatan tertentu. Reward power adalah perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian, dimana orang atau kelompok yang taat kepada orang atau kelompok lain mengharapkan atau termotivasi oleh sejumlah uang pembayaran (misalnya gaji). Reverent power adalah perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang, baik aspek wajah, postur tubuh, penampilan atau sikap seseorang.
Sedangkan Information power adalah perolehan kekuasaan melalui penguasaan terhadap akses informasi, terutama dalam era teknologi komunikasi yang sangat modern seperti sekarang. Dan terakhir, Connection power adalah cara memperoleh kekuasaan melalui hubungan (relation) yang luas, baik dalam bidang politik maupun perekonomian.

C. Teori-Teori Kekuasaan Negara
1. Negara adalah organisasi kekuasaan, oleh karenanya dalam setiap organisasi yang bernama negara selalu dijumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempat tinggal dalam wilayah kekuasaannya.
2. Beberapa teori yang mengemukakan tentang asal-usul negara di antaranya, teori kenyataan, teori ketuhanan, teori perjanjian, teori penaklukan, teori daluwarsa, teori alamiah, teori filosofis dan teori historis.
3. Dilihat dari terbentuknya kedaulatan yang menyebabkan orang-orang tertentu didaulat menjadi penguasa (pemerintah), menurut Inu Kencana ada 4 teori kedaulatan yaitu: Teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan rakyat, teori kedaulatan negara dan teori kedaulatan hukum.
4. Secara umum ada 2 pembagian bentuk negara yang dikemukakan oleh Inu Kencana, yaitu negara kerajaan dan negara republik. Negara kerajaan terdiri atas negara kerajaan serikat dan negara kerajaan kesatuan, di mana negara-negara tersebut terbagi atas negara kerajaan serikat parlementer dan negara kerajaan kesatuan non Perdana Menteri.Sedangkan negara republik terdiri atas negara republik serikat dan negara republik kesatuan, yang terbagi lagi atas negara republik serikat parlementer dan negara republik serikat presidensil, serta negara republik kesatuan parlementer dan negara kesatuan presidensil.
5. Syarat-syarat berdirinya suatu negara meliputi adanya pemerintah, adanya wilayah, adanya warganegara dan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain.

D. Legitimasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan
1. Menurut Inu Kencana, seseorang memperoleh kekuasaan dalam beberapa cara yaitu melalui legitimate power, coersive power, expert power, reward power dan revernt power.
2. Kekuasaan dapat dibagi dalam istilah eka praja, dwi praja, tri praja, catur praja dan panca praja. Sedangkan pemisahan kekuasaannya secara ringkat dibagi dalam rule making function, rule application function, rule adjudication function (menurut Gabriel Almond); kekuasaan legislatif,,kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif (menurut montesquieu);kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif (menurut John Locke); wetgeving, bestuur, politie, rechtsspraak dan bestuur zorg (menurut Lemaire); kekuasaan konstitutif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan inspektif dan kekuasaan konstultatif (menurut UUD 1945).

Daftar Pustaka

Ashkenas, Ron; Ulrich Dave; Jick, Todd; Kerr, Steve, 1995, The Boundaryless Organization, breaking the chains of organizational structure, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, CA
Carino, Ledivina V., 1994, Bureaucracy for Democracy, the dynamics of executive bureaucracy interaction during governmental transitions, College of Public Administration, University of the Philippines.
Champy, James, 1997, Reengineering Management, Harper Collins Publisher, Inc., New York, NY
Champy, James, A., 1997, “Preparing for Organization of the Future”, dalam Frances Hesselbein et all (edts.), The Organization of the Future, Jossey Bass, Inc. San Francisco, CA.
Gruber, Judith E., 1987, Controlling Bureaucracies, dilemmas in Democratic Governance, University of California Press, Berkeley, CA
Gutmann, Amy, dan Thompson, Dennis, 1996, Democracy and the disagereement, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, MA
Held, David, 1995, Democracy and the Global Order, from the modern state to cosmopolitan governance, Stanford University Press, Stanford,CA.
Hill, Larry B.(Edt.) 1992,The State of Public Bureaucracy, ME Sharpe, Inc., Armonk, New York
Hunter, F. (1953), Community Power Structure, University of North Carolina, Chapel Hill, NC.
Inu Kencana Syafiie. 2004, Jakarta, Ilmu Administrasi Binaman Pressindo
Jrg. Djopari 2002, Ilmu Pememrintahan Karya Jrg. Djopari
Kirwan, Kent A., “Woodrow Wilson and the Study of Publcic Administration- Respond to Van Riper”, in Administration and Society, 18 (1987) 389-401.
Lucas, Henry C.,Jr, 1996, The T-Form Organization, using technology to design organizations for the 21st century,Jossey-Bass Publisher,San Francisco, CA
Mainzer, Lewis C. 1973, Political Bureaucracy, Scott,Foresman and Co., Glenview. Illinois
Mills, C Wright, (1959), The Power Elite, Oxford University Press, New York, NY.
Ndraha Taliziduhu. 2008. Kybernologi dan Kepamongprajaan, Penerbit Sirao Credentia Center, Banten
________________, 2007. Banten, Kybernologi Sebuah ProfesiI, Penerbit Sirao Credentia Center
________________, 2005. Banten, Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, Jilid I, Penerbit Sirao Credentia Center
Rasyid, M. Ryaas. 2002. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta : Yarsif Watampone
Redford Emmette S., 1969, Democrcay in the Administrative State, Oxford University Press, New York,
Robinson, Marc, “Revolusi Akuntabilitas Baru di Pemerintahan”, Media Indonesia, 8 Juli 2002.
Sarji, Ahmad, 1996, Civil Service Reforms, toward Malaysia’s Vision 2020, Pelanduk Publications, Kelana Jaya, Selangor Darul Ehsan, Malaysia.
Scott, Williams. G. 1971. Organizing Theory A Behavioral Analysis for Management, Illinois : Richard D. Irwin Inc.
Thoha, Miftah, 1995, “Harminisasi Hubungan Pusat dan Daerah alam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah” dalam buku Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi, Batang Gadis, Pusdiklat Depdikbud, Jakarta
Thoha, Miftah, 1999, Demokrasi Dalam Birokrasi Pemerintah Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta
Thoha, Miftah, 1999, “Membangun Kembali Birokrasi Pemerintah”, dalam harian umum, Republika, 8 November 1999
Thoha, Miftah, 2000, “Bulog dan Setneg”, dalam Harian Umum, Republika, 24, April 2000.
Weber, Max, 1947, The Theory of Social and Economic Organization (translated by Talcott Parsons), The Free Press, New York
Wilson, Woodrow, 1887, “The study of Public Administration” in Political Science Quarterly, 2 June 1887, 197-222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar