PARTISIPASI POLITIK DI INDONESIA SUATU TINJAUAN DARI TEORI ELIT
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang (Developing Country) berusaha mengejar ketertinggalan untuk menjadi negara maju dengan konsep pembangunan. Di negara berkembang upaya pemerintah dalam mengembangkan sektor kehidupan masyarakat seringkali menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala pemerintah dalam menerapkan konsep pembangunan adalah masalah partisipasi atau keterlibatan warga negara. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga keterlibatan setiap warga negara menjadi syarat mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, artinya tanpa adanya partisipasi politik warga negara maka tujuan nasional yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan.
Fenomena partai politik dewasa ini berkorelasi dengan Pemilu 2009. Isu kepemimpinan nasional menjadi penting guna mengukur posisi elite partai yang akan maju. Atau elite di luar parpol yang dijagokan oleh parpol. Walau demikian, elite di luar parpol juga termasuk elite dalam tingkatan kelas sosial dalam strata masyarakat liberalis kapitalis.
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya. Menurut Sanit (1985:203) bahwa anggota masyarakat perlu mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan, dengan kata lain setiap warga negara tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan semestinya terlibat dalam proses pembangunan terutama di bidang politik. Dengan demikian, keinginan dan harapan setiap warga negara dapat terakomodasi melalui sistem politik yang terbangun.
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat elit atau pusat tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Terlebih lagi bahwa posisi kaum perempuan kurang diuntungkan secara politis karena jarang sekali terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan perempuan itu sendiri.
Anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite. Anis Baswedan (2006) mengklasifikasikannya menjadi elite intelektual, militer, aktivis, dan partai politik.
Gender dalam politik, masih berkutat tentang masalah kuota 30% wanita dalam parpol serta keterlibatan kepemimpinan wanita dalam organisasi parpol dan kepemimpinnan publik/politik.
Kini gerbang demokrasi telah terbuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan dirinya juga telah dijamin. Dengan adanya Undang-Undang Pemilu Tahun 2003 No. 12 Pasal 65 yang mengatur tentang kuota 30% sebagai salah satu syarat bagi pencalonan anggota legislatif oleh partai politik tentunya secara logika mampu mendobrak stagnasi kuantitas perempuan di wilayah publik.
Kaum lelaki sebenarnya welcome terhadap isu kesetaraan gender. Tetapi, tidak tergambar dalam keterwakilan kaum hawa ini dalam kepengurusan parpol dan keterwakilannya dalam lembaga-lembaga publik. Keterwakilan kuota 30% perempuan dalam Pemilu 2009 hanya bersifat pemenuhan "jatah kursi" saja. Tanpa memenuhi persyaratan penyeleksian yang ketat dan penyaringan kualitas yang baik.
B. Integrasi Elite sebagai Faktor Krusial dalam Nation- and State-Building
Salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah berpecah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (MOSCA,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas-universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Sampai taraf tertentu, seandainya universitas-universitas berikut ini tidak merosot menjadi sekedar universitas lokal, peranan membangun korps elite nasional tersebut dapat dimainkan oleh Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, dan Universitas Airlangga di Surabaya. Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan committed pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
Namun jalur universitas saja kelihatannya belum dirasakan memadai. Dalam tahun 1965 Presiden Soekarno sudah merintis gagasan ke arah terbentuknya suatu lembaga pengkajian dan lembaga pendidikan suatu korps elite nasional yang akan memimpin pemerintahan, sebagai representasi serta pengambil keputusan tentang masalah penting kenegaraan. Lembaga itu adalah Lembaga Pertahanan Nasional [sekarang Lembaga Ketahanan Nasional]. Banyak sedikitnya lembaga ini sudah memberi hasil, dengan menyumbangkan dua doktrin dasar nasional, yaitu Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara. Di samping itu, lembaga ini telah mendidik calon pejabat eselon 1, baik sipil maupun militer.
Namun mengingat kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin lama semakin runyam, dan gerakan separatis semakin lama semakin banyak, rasanya perlu diadakan evaluasi menyeluruh terhadap disain, struktur, kebijakan, program, dan kinerja lembaga ini.
Secara pribadi penulis menengarai bahwa visi persatuan dan kesatuan nasional yang dianut lembaga ini adalah dalam istilah seorang pakar integrasi nasional ethnic blind, buta etnik. Hal itu mungkin merupakan refleksi dari semboyannya: Tan Hana Dharma Mangrva, dengan melupakan sesanti yang tercantum dalam lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika. Demikianlah masalah kajian etnik yang secara historis dan konseptual mempunyai peranan besar dalam natio-and state-bulding di Indonesia, tidak memperoleh perhatian yang memadai dari lembaga ini. Terdapat kesan kuat, bahwa perhatian lembaga ini lebih memusatkan perhatian pada pengembangan karir pejabat eksekutif dari pada perumusan saran untuk lebih mendinamisasikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Juga secara pribadi penulis berpendapat bahwa Lembaga Ketahanan Nasional ini harus kembali ke khittah-nya dalam tahun 1965, yaitu sebagai lembaga pengkajian ketahanan nasional serta pendidikan calon kepemimpinan nasional. Menciutkan kegiatan pada masalah pendidikan karir pejabat sipil dan militer belaka yang disisipi di sana sini oleh peserta dari partai politik, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga legislatif rasanya belum memenuhi rancangan semula untuk lembaga ini.
Lembaga ini perlu membuka diri lebih luas, baik dengan membahas aspirasi, kepentingan, serta grundelan berbagai etnik yang ada di Indonesia, maupun dengan memberi fasilitas pendidikan dan orientasi singkat kebangsaan bagi kader kepemimpinan semua kalangan, termasuk kader-kader kepemimpinan etnik dari daerah. Dengan cara itu secara lambat laun akan timbul suatu korps kepemimpinan nasional di segala tingkat, yang bukan saja sama kerangka referensi yang diperlukan untuk kelancaran komunikasi, tetapi juga saling mengenal secara pribadi.
C. ELIT DALAM BANGUNAN TEORI SOSIOLOGIS
Studi tentang elit menjadi studi Sosiologis yang menarik untuk dikaji sebagai istilah yang menunjuk pada minoritas-minoritas pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai sosial sebagai minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab.
Teori elit dibangun di atas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Dalam sejarahnya, jumlah elit cenderung lebih sedikit akibat legitimasi dari masyarakat demikian berat.
Ada dua tradisi akademik tentang elit. Dalam tradisi yang lebih tua elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Dalam pendekatan yang lebih baru, elit dipandang sebagai suatu kelompok yang menghimpun para petinggi pemerintahan. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin atau pembuat keputusan (Kuper dalam Arsal, 2004:6).
Dalam masyarakat yang menganut paham demokrasi, maka keberadaan elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller (1995:87) mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni : (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan spesialisasi jabatan, (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi, (4) perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum elitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom.
Huky (dalam Arsal, 2004:7) membagi elit ke dalam tiga kategori :
1. Elit karena kekayaan. Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam group tertentu baik bersifat konkrit maupun abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya.
2. Elit karena eksekutif. Group ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam strategi di bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, ia memperoleh kekuasaan mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabat-pejabat pemerintah pada kedudukan yang strategis.
3. Elit komunitas. Orang-orang tertentu dalam suatu komunitas dipandang sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi kelompok lain.
Sementara itu, Baswedan (2006) membedakan 3 macam tipe elit yakni: Pertama, elit intelektual merupakan elit yang didasarkan atas ukuran tingkat pendidikan. Kedua, elit aktivis merupakan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang mengkaitkan diri dengan dunia politik, dan ketiga, elit militer merupakan aktor-aktor yang menginstitusikan dirinya dalam dunia militer.
Simandjuntak (dalam Arsal, 2004:7) mengemukakan bahwa dalam masyarakat terdapat enam golongan elit, yaitu : (1) elit politik yang bertindak sebagai legitimizer dari politik pembangunan yang hendak dilaksanakan. (2) elit administrasi yang bertugas menterjemahkan keinginan politik menjadi rencana pembangunan. (3) elit cendekiawan yang bertugas mengembangkan teori yang dapat diterapkan dalam pembangunan serta membawa ide pembaharuan. (4) elit usahawan yang bertugas menunjang politik pembangunan yang telah digariskan melalui penanaman modal. (5) elit militer yang bertugas sebagai pelopor peningkatan kedisiplinan kerja, sumber
resources (penghasilan) dalam lapangan tenaga kerja, dan penengah timbulnya konflik di antara kelompok masyarakat. (6) elit mass media yang bertugas menyalurkan informasi serta pembentukan pendapat umum.
Secara umum, elit merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan-kedudukan tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjukkan oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung lebih menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian elit penguasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah kepada adanya kepentingan yang berbeda.
Elit politik merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan, dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan selain itu, elit politik juga merupakan individu yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Sehingga dengan kedudukan yang istimewa inilah kemudian elit menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
D. KONSEPTUALISASI PARTISIPASI POLITIK
Dalam negara berkembang masalah partisipasi adalah masalah yang cukup rumit. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri (Berger dalam Surbakti, 1992:140). Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.
Para ilmuwan dan pakar politik telah banyak memberi batasan yang lebih mengenai partisipasi politiik. Khamisi (dalam Ruslan 2000:46) memberikan pengertian yang luas mengenai partisipasi politik bahwa partisipasi politik adalah hasrat seorang individu untuk mempunyai peran dalam kehidupan politik melalui keterlibatan administratif untuk menggunakan hak bersuara, melibatkan dirinya di berbagai organisasi, mendiskusikan berbagai persoalan politik dengan pihak lain, ikut serta melakukan berbagai aksi dan gerakan, bergabung dengan partai-partai atau organisasi-oraganisasi independent, ikut serta dalam kampanye penyadaran, memberikan penyadaran, memberikan pelayanan terhadap lingkungan dengan kemampuannya sendiri.
Sementara menurut Huntington dan Nelson (1994:9) partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi yang di maksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Dari konsep ini memang tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik itu bersifat otonom atau mobilisasi. Hal ini terjadi menurut Huntington dan Nelson (dalam Kamarudin, 2003:94), disebabkan oleh sejumlah alasan berikut: Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Baik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Di samping konseptualisasi dari partisipasi politik di atas, Lane (dalam Rush dan Althoff, 2000:181) menyatakan bahwa Partisipasi politik juga memiliki empat fungsi, yaitu :
b. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis,
c. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial,
d. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus,
e. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan bawah sadar dan psikologis tertentu.
E. PENDEKATAN TEORITIS MENGGUNAKAN TEORI ELIT
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Elite. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan.
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi. Schumpeter sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah.
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
F. KESIMPULAN
Partisipasi politik elit politik masyarakat di Indonesia berdasarkan intensitasnya terbagi dalam tiga bentuk yakni sebagai pengamat, partisipan, dan aktivis. Masyarakat sebagai pengamat ditunjukkan dalam bentuk pemberian suara. Sedangkan elit politik masyarakat sebagai partisipan ditunjukkan dalam bentuk menjadi peserta kampanye, juru kampanye, saksi dalam pemilu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan terlibat dalam diskusi-diskusi informal. Dan elit politik masyarakat sebagai aktivis yaitu menjadi panitia penyelenggara pemilu dan menjadi pengurus partai politik.
Motif partisipasi politik elit politik masyarakat dalam pemilu legislatif adalah motif rasional bernilai dan keikutsertaan mereka dengan berpartisipasi politik atas dasar pertimbangan rasional. Sebagian elit politik perempuan telah menilai secara objektif pilihannya dan sebagian lainnya mengandung motif yang afektual emosional yaitu akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih merupakan suatu bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Banna, Hasan. 2000. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia
Arsal, Thriwaty. 2004. Partisipasi Politik Elit Agama Islam di Kota Magelang. Usul Penelitian. FIS Unnes.
Budiardjo, Miriam. 1981. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka
Gaffar, Affan. 1990. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: Ramadhani
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta
International IDEA Conference Report 2002, Strengthening Women’s Political Participation In Indonesia, Part 1
Kamaruddin. 2003. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi; Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing
Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elite, Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Lexy J. Moelong. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Maran, Raga, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rineka Cipta
M. Darwin, Muhadjir. 2005. Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana
Rasyid Ridha, Muhammad. 2004. Perempuan Sebagai Kekasih; Hakikat, Martabat, dan Partisipasinya di Ruang Publik. Bandung: Penerbit Hikmah
Ruslan, Ustman Abdul Muiz. 2000. Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Solo: Era Intermedia
Rush, Michael dan Althoff, Philip. 2000. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sanit, Arbi 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press
Shafiyyah, Amatullah dan Soeripno, Haryati. 2003. Kiprah Politik Muslimah. Jakarta: Gema Insani Press
Suparlan dan Suyatno, Hempri. 2003. Pengembangan Masyarakat, dari Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Aditya Media
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo
Takariawan, Cahyadi. 2002. Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama
Ulfaizah. 2006. Pengaruh Interaksi Sosial Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Desa Tengguli Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Semarang : FIS Unnes
Verayanti, Lany et al. 2003. Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang: LP2M
Widyani Soetjipto, Ani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar