Selasa, 13 April 2010

KEMISKINAN YANG TERPELIHARA

Ada orang yang tidak sadar dirinya miskin, berlagak kaya dan tidak mau disebut miskin. Kemiskinan menjadi aib baginya. Ia berusaha tampil layaknya orang kaya, belagak mentraktir teman-temannya walaupun untuk itu harus rela hutang, faktanya ia tetap miskin. Dan semua orang disekitarnya tahu percis fakta itu, mereka menganggapnya orang yang sok kaya, ngga tau diri. “Miskin aja belagu!” kata mereka. Ada orang miskin yang bangga disebut miskin dan kemudian oleh para politisi pinggiran di provokasi dan dibuatkan wadah ‘gerombolan orang-orang miskin’ untuk melegitimasi kemiskinannya, yang kemudian menjadi komoditas politik semata. Karena kemiskinan sebagai komoditi maka mereka tidak rela jika kemiskinan itu dihapuskan, karena jika demikian mereka tidak memiliki nilai jual dan nilai tawar secara politis. Ada yang kaya raya tapi pura-pura miskin. Tujuannya adalah untuk menghindar dari pajak dan investigasi KPK. Ada juga yang tadinya miskin terus ujug-ujug jadi kaya, kemudian mengalami mental shock, mentalnya tidak siap jadi orang kaya, gayanya jadi wagu, lucu dan culun. Walaupun sudah melakukan perubahan penampilan dan belajar mannerism tetap saja jiwa miskinnya masih terbawa-bawa. Ada juga yang miskin dan ia sadar akan kemiskinannya tapi ia tetap berdiri tegak, baginya kemiskinan hanyalah ujian, ia jalani itu dengan rasa syukur. Kemiskinan ataupun kekayaan sama-sama sebagai ujian. Ia tidak mengeluh, tidak juga meng-aduh. Ia tidak terprovokasi oleh propaganda politik. Ia selalu tersenyum menghadapi dunia ini. Semua ia jalani dengan penuh kesadaran. Ia boleh miskin harta, tapi ia memiliki kekayaan bathin yang tak terkirakan. Data BPS (Biro Pusat Statistik) menunjukkan angka 37,17 juta orang miskin di Indonesia pada tahun 2007 (16,58% dari total penduduk Indonesia). Jumlah itu lebih kecil dibandingkan dengan data penduduk miskin tahun 2006, sebesar 39,30 juta jiwa (17,75%). Garis kemiskinan itu diukur dari pendapatan perkapita perbulan yaitu pada angka Rp. 166.697,- (maret 2007). Artinya, orang dikatakan miskin jika pendapatan perharinya sama dengan atau lebih kecil dari Rp. 5.556,- Jika lebih dari itu maka tidak masuk dalam kategori miskin. (Rp. 5.556 perhari, bisa dapat apa ya?). Sudahlah, cukup segitu saja soal data-data tentang kemiskinan. Yang jelas jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Kadang naik kadang pula turun. Kenyataannya tidak pernah bisa di tekan secara signifikan. Salah satu kunci untuk menekan angka kemiskinan terletak pada angka garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Rp. 5,556 perkapita perhari, diturunkan menjadi Rp. 5.000,- perkapita perhari, maka akan ada penurunan cukup drastis jumlah penduduk miskin. (Bukankah itu semu?). Demikian pula sebaliknya, jika angka itu dinaikkan. Maka kenaikannya berbanding lurus dengan naiknya jumlah penduduk miskin. Dalam ranah politik, kemiskinan bisa menjadi alat propaganda yang ampuh, tapi sekaligus bisa menjadi batu sandungan yang menyakitkan. Coba saja lihat dan dengarkan setiap kali ada pemilu atau pilkada, salah satu janji mereka adalah mengurangi kemiskinan, memberikan lapangan kerja, dan seterusnya. Kemiskinan digunakan sebagai propaganda politik bagi gerombolan tertentu untuk memuluskan jalannya menuju tahta kekuasaan. Disisi lain, penguasa selalu ‘gagap’ jika ditagih janjinya. Dan angka kemiskinan selalu mengenaskan.
Tentu saja kemiskinan bukan hanya persoalan satu Negara didunia. Tapi saya rasa hanya ada satu Negara di dunia yang dalam Undang-Undang Dasarnya memaklumatkan untuk melestarikan kemiskinan. Ada pasal yang berbunyi “fakir miskin, anak-nak terlantar, para dhu’afa, gelandangan dan pengemis, dipelihara oleh Negara” Inilah akar persoalan sesungguhnya. Jadi pemberantasan kemiskinan itu sebuah kemustahilan. Karena Negara dan pemerintah harus menjalankan Undang-Undang yang mengharuskan memelihara kemiskinan itu tadi. Yang namanya “dipelihara” itu kan artinya di rawat, dilestarikan. Yang ada bukan menghapus kemiskinan, justru sebaliknya, menumbuhsuburkan kemiskinan, karena begitulah amanat Undang-Undang Dasarnya. Mungkin akan beda jika Undang-Undang mengamanatkan “Negara memberikan penghidupan yang layak kepada fakir miskin, anak-anak terlantar, kaum dhu’afa, gelandangan dan pengemis, dan mengentaskan mereka dari keadaannya menuju keadaan yang lebih baik” misalnya, akan lain perkaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar