Senin, 12 April 2010

politik dan militer tinjauan teoritis

PENDAHULUAN

Politik dan militer bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Memang jika dilihat dengan awam sepertinya tak ada sama sekali hubungan antara politik dan militer. Namun jika kita menelusuri timbulnya politik dan terjadinya aksi militer, tak pernah luput dari dua permasalahan tersebut. Disatu sisi para elit politik berusaha menarik perhatian dan partisipasi orang yang dipengaruhi dengan janji-janji politik berupa kemakmuran dan keadilan, tapi jika kemauan dari para elit politik tersebut tidak terpenuhi, maka semuanya akan berakhir diujung moncong senjata yang disarana dan prasaranai dengan kekuatan militer.

Begitu juga sebaliknya jika para elit politik tersebut berhasil dalam menyampaikan gagasan atau keinginannya dan setelah semua yang di harapkan tersebut terpenuhi, maka tak jarang pula kekuatan militer yang akan memfinishing (memuluskan tujuan) dari kaum elit tersebut untuk mempertahankan bahkan menguasai lebih banyak lagi harapan yang diinginkan oleh para elit politik tersebut.

Pernyataan saya ini kiranya dapat kita buktikan sendiri keabsahannya. Kita mulai dari pergerakan politik yang digawangi oleh kaum muda dibawah organisasi Budi Utomo 1928 yang bercita-cita mempersatukan Indonesia dalam satu “Ikrar Politik” yang diberi nama Sumpah Pemuda. Dalam ikrar tersebut jelas terlihat keinginan politik dari sebahagian anak muda bangsa yang ingin mempersatukan berbagai kerajaan yang tersebar dari Aceh sampai Papua, menjadi satu kesatuan, satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia.

Coba kita renungi keinginan tersebut, sebagai anak bangsa yang saat ini mengenyam dan merasakan sendiri arti persatuan (Republik Indonesia) pasti akan mendukung dengan sepenuh hati keinginan dan cita-cita luhur organisasi Budi Utomo. Tapi bagaimana dengan pemikiran para raja, sultan, dan pemimpin daerah yang ada pada waktu itu, saya rasa mereka tidak semuanya setuju akan keinginan tersebut. Para elit politik daerah pada waktu itu saya pastikan akan menentang keinginan tersebut.

Disatu sisi, kaum muda Budi Utomo berjuang memuluskan cita-cita politiknya, tapi disilain para raja, sultan atau pemimpin lainnya akan tetap mempertahankan kekuasaan yang selama ini mereka miliki. Tidak jarang mulai saat itu, kita tidak hanya berperang melawan kolonial Belanda dengan serikat dagangnya (VOC), tapi juga melawan bangsa sendiri dengan munculnya perang kedaerahan yang kesemuanya menggunakan kekuatan militer.

Begitu juga setelah Indonesia merdeka, keinginan politik para elit negara untuk tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia terus ditentang oleh para elit daerah yang tidak ingin kekuasaanya dihalangi. Mulai saat itu, sampai hari ini pemberontakan tak kunjung usai. Aceh dengan GAM nya masih ada, begitu juga fertellin di Timor Timur masih mengancam, pemberontakan masyarakat Papua dengan slogan Papua Merdeka, bahkan di daerah kita sendiri Provinsi Riau masih ada gerakan Riau Merdeka. Semua itu berujung konflik militer yang berawal dari keinginan politik sekelompok kaum elit negeri ini yang merasa tidak puas akan apa yang mereka miliki.(Ratanuson:2004)

“Demokrasi”. Sepertinya kata yang pantas untuk membendung semua itu adalah demokrasi. Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat. Kata mulia bagi kaum mayoritas. Tapi itu hanya slogan yang pelaksanaannya tidak seratus persen benar. Para elit politik masih memegang kendali. Penguasa masih memegang kekuasaan mutlak dalam segala hal. Rakyat hanya korban, tak bisa bicara banyak, kalaupun ada yang berani bicara, racun arsenik akan mengakhiri hidupnya. Jika rakyat secara massal melawan, kuasa militer akan siap menghadapi dan meluluhlantakkan tangan-tangan kecil rakyat yang hanya bermodal keringat dan air mata.

Negara yang sekaligus adalah wilayah bagi otoritas sipil, sebenarnya tidak cukup jika hanya melihat supremasi sipil sebagai minimalisasi intervensi militer dalam kehidupan politik sipil. Otoritas sipil harus mempunyai keunggulan di semua bidang politik, termasuk perumusan dan implementasi dari kebijakan pertahanan nasional. Karena kebijakan adalah jalan yang relevan dan mapan yang menjembatani antara produser ideologi, aktivitas negara, hasil dan akibatnya.

Demokrasi harus menempatkan militer di bawah otoritas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan profesional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil. Lebih jauh lagi, jika politisi sipil ingin efektif dalam menguasai dan memelihara pengakuan militer atas supremasi sipil, maka hal ini juga akan melibatkan partisipasi substansial dari militer dalam anggaran, strategi dan keputusan kebijakan yang dilakukan sipil. Hal ini yang mendasari pelajaran kedua dan mungkin pelajaran yang paling penting dan utama bagi demokrasi, yaitu bahwa ekspansi peran militer dan kudeta militer merupakan proses yang dikendalikan secara politik; dengan cara yang sama, upaya meraih supremasi sipil juga harus dilakukan secara politik.

Demokrasi sebagai upaya pemisahan peran dan fungsi pemerintah dengan masyarakat

Dalam konteks republik, demokrasi harus dipahami sebagai sebuah usaha untuk memisahkan pemerintah dan masyarakat dalam peran dan fungsinya juga memberikan pembatasan-pembatasan fungsi yang ditetapkan oleh hukum pada lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Sehingga demokrasi mempunyai dua dimensi pentingyaitu :

· Pertama, demokrasi merupakan prosedur atau fasilitas bagi terselenggaranya proses keterlibatan orang dalam pemerintahan. Di sini kadar demokrasi ditentukan oleh keterbukaan bagi partisipasi yang makin luas dan rasionalitas untuk menyerap partisipasi yang ada. Partisipasi yang dimaksud paling tidak mengandung dua hal, yakni: otonomi dan kebebasan yang membuka keterlibatan semua orang, serta otentisitas dari keterlibatan itu sendiri.

· Kedua, karena fasilitas itu selalu terbuka dan meminta keikutsertaan semua orang secara langsung, maka di saat yang sama demokrasi selalu juga berarti ketidakmungkinan, karena tidak akan pernah ada supremasi politik yang benar-benar memungkinkan semua orang ikut secara langsung. Dengan demikian demokrasi yang semakin baik membutuhkan instrumen atau prosedur yang sengaja dibuat dan diarahkan untuk meningkatkan partisipasi dan otentisitas pilihan publik. Benar bahwa demokrasi memang menyediakan prosedur dan fasilitas, tetapi demokrasi tidak pernah menyediakan sistem etis dalam dirinya sendiri.

Disinilah kemudian politik atau dunia publik, berada pada jalur dimana segala macam orang secara umum akan berada pada kebersamaan. Juga di dalamnya adalah militer. Dapat dikatakan kondisi demikian berlaku diskursus baik bagi wacana (ucapan), maupun tindakan atau perbuatan. Dengan kata lain, disinilah kemudian rujukan atas civil society senantiasa dilakukan oleh aktor-aktor dalam suatu ruang, atau sphere, dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang tersebut vis a vis negara. Dalam konteks Indonesia saat ini, dimana proses transisi ini akan menuju ke suatu keadaan yang lebih demokratis atau tidak, aspek kemiliteran sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses pemberdayaan civil society. Tetapi agar lebih jleas, apa pun yang menjadi hasilnya justru sangat tergantung pada kuat/lemahnya lembaga-lembaga demokratis sendiri. Dengan kata lain, jikalau lembaga militer senantiasa dinilai sebagai penentu, hal itu tidak terlepas dari keadaan masih begitu lemahnya lembaga-lembaga demokratis.

Masyarakat madani menurut sosiolog Ralf Dahrendorf harus dirancang lebih baik dari sekedar “masyarakat madani” (Bürgergesellschaft) karena masyarakat madani memberi tekanan pada karakter perdamaian dari hubungan sosial domestik, namun sayangnya, tidak termasuk militer. Padahal seorang militer, tak peduli apakah ia seorang perwira atau serdadu, harus membawa identitas warga negara, pemahaman masyarakat madani mendukung pemikiran mengenai sebuah integrasi sosial dari militer.

Dengan akselerasi dari masyarakat madani yang modern ke dalam organisme individual dan plural, usaha ini khususnya selalu dihalangi oleh sederet nilai yang berbeda dalam kedua sistem sosial tersebut. Dalam ranah ini, institusi dan organisasi dari hubungan intelektual yang berbeda ini, seperti pembentukan militer, yang semakin dipertanyakan dan menjadi terasing dalam masyarakat. Dalam berbagai hal, institusi besar dari masyarakat barat, negara-bangsa, gereja, partai politik, namun terutama militer yang belum termasuk dalam pengembangan ini. Untuk menyebut selain dua hasil dari dinamika sosial ini, masyarakat yang kaya ini mengikis konsep kewajiban, namun juga ketertarikan dari pekerjaan serdadu secara umum.

Kemudian, dengan menghubungkan pergeseran rancangan keamanan geopolotis secara global, organisasi militer barat telah berubah dari instrument pertahanan negara semata menjadi mekanisme pencegah krisis internasional dan resolusi konflik. Sebuah perkembangan bahwa, untuk alasan yang mendalam, telah menimbulkan banyak komentar unuk menyarankan sebuah civilianization pada militer. Tugas yang secara signifikan telah berubah dan misi yang diberikan pada angkatan bersenjata dalam wilayah keamanan internasional menuntut kerjasama militer dan sipil yang erat dan sebuah pandangan yang meluas bagi kepemimpinan militer yang efisien. Kemajuan ini menghasilkan pencantuman subyek “sipil” yang terus ditambah ke dalam kurikulum pendidikan militer. Pemberlakuan intervensi militer yang terbaru untuk alasan kemanusiaan bahkan menghasilkan pemikiran mengenai pentingnya humanisme militer yang baru.

hubungan khusus antara TEORI politik dan militer

Dalam dunia modern, hubungan khusus antara politik dan militer telah dijabarkan oleh ahli teori perang asal Prussia, Carl von Clausewitz, dalam diktatnya yang controversial berjudul “War is the Continuation of Policy by Other Means”. Seni berpolitik mendahulukan seni petunjuk perang, di luar segalanya, terdapat fakta bahwa faktor politik merupakan inti dari faktor militer semata. Sehingga orang harus berpikir bahwa angkatan bersenjata menemukan posisi dan integritas sosial mereka dalam sebuah konteks politik yang menyeluruh.

Akibatnya, seperti yang terjadi pada profesi lain, budaya professional dalam militer terletak pada tujuan organisasi militer dan tugas-tugasnya, yang harus memenuhi sistem politik. Kebertahanan angkatan militer terletak pada kemampuan dalam menempatkan perhatian negara di bawah keadaan luar biasa yang terjadi pada konflik angkatan bersenjata. Hal ini menghasilkan kesimpulan pada sift militer, yang harus dilihat dari kemampuan untuk menempatkan ancaman secara sah atau menggunakan kekuatan pasukan. Kemampuan ini kemudian, memperpanjang keberhasilan kondisi konflik bersenjata, didapat dari kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan militer yang akan menimbulkan keistimewaan dalam dunia militer – proses seleksi secara fisik dan mental, disiplin, struktur hirarki, hubungan yang ketat antara komandan dan anggota pasukan, dan semua hal yang membantu untuk menghindarkan retaknya hubungan yang erat dalam ketahanan militer di bawah kondisi yang paling menantang dan berat dalam situasi konflik bersenjata.

Dengan kata lain, di luar fungsinya militer mengikuti organisasi. Hal ini, kemudian, dalam satuan argumentasi mengapa institusi organisasi militer begitu berbeda dengan sifat organisasi lain kita menemukan sistem politik yang sama. Ketika pada saat ini meningkatnya keamanan internasional dan juga interindependensi berlipat ganda antara komponen militer dan non militer dalam suat negara mengadopsi ikatan fungsional antara angkatan bersenjata dan organisasi sipil, pemisahan institusional dari militer dalam bagian masyarakat sipil ternyata masih menyisakan fakta. Di mana militer telah terintegrasi dalam struktur militer diketahui melalui supremasi politik dan diadaptasi pada pengaturan birokrasi dalam administrasi politik moderen, dan hal itu masih memerlukan tindakan eksklusif untuk menyiapkan, dan bila diperlukan, menerapkan kekerasan dan pemaksaan. Meski militer secara luas telah dianggap memiliki karakter organisasi sipil, dan di balik fakta bahwa jarak antara elit sipil dan militer telah dipisah, misi terakhir untuk memperjuangkan dan memperpanjang konflik masih menjadi kunci untuk memahami keunikan sifat militer.

Kemampuan dan kesiapan ini tepat untuk mengaplikasikan kekuatan dan untuk menempatkan hidup seseorang dan orang lain dalam resiko yang membutuhkan personal yang benar-benar dan dalam arti sebenarnya berkemauan untuk mengambil tanggung jawab yang khusus ini bagi diri mereka dan orang lain.

Menurut Aristoteles, tugas tertentu membutuhkan orang yang memiliki temperamen dan sifat yang tepat. Sesuai dengan ungkapan tersebut, Clausewitz menulis: “setiap panggilan khusus dalam hidup, jika harus diikuti dengan sukses”, membutuhkan kualifikasi pemahaman dan jiwa yang khusus”. Setiap individu bebas memilih, tentu saja, apakah ia ingin menjadi anggota angkatan bersenjata negaranya atau tidak. Namun ia tidak bebas memilih apakah itu berarti harus menjadi tentara professional, yang jumlahnya masih sedikit.

Karakter unik yang dimiliki militer dan isu yang terdapat dalam Chasm of Values antara kekuatan militer dan masyarakat telah banyak dibahas dalam berbagai cara. Jurang pemisah ini telah dilukiskan sebagai perbedaan antara nilai konvensional militer, dengan yang tidak konvensional yang hadir dalam masyarakat moderen. Saat Civilian Logic bersifat utilitarian dan egois, Military Ethos bersifat mengutamakan kepentingan orang lain dan dilakukan demi kepentingan kolektif, yang pada akhirnya pengorbanan fisik masih dituntut pada seorang serdadu. Pada dasarnya, perbedaan yang tidak dapat disatukan antara pemikiran seorang serdadu dan sipil menghasilkan dilemma yang pokok dalam etika.

Penyimpangan telah terjadi pada tahapan dari teori inkompabilitas, sebuah teori yang bisa ditelusur untuk revolusi teknologi dan demokrasii di abad ke-19, yang meng-klaim ketidakmampuan struktural dari masyarakat sosial yang sangat beradab untuk menjalankan perang. Alasan untuk ketidakmampuan ini, faktor-faktor seperti teknologi komunikasi masyarakat moderen yang rapuh, atau defisit mental dan psikologi pada masyarakat sipil dan tentara adalah alasan yang sering dikemukakan. Meskipun teori inkompabilitas ini secara umum telah terbukti salah, teori tersebut membantu kita untuk memahami perbedaan normatif dan sistematis antara angkatan bersenjata dan lingkungan sosial mereka.

Apa yang ditunjukan oleh teori inkompabilitas adalah kebutuhan akan organisasi militer untuk menghasilkan legitimasi dan penerimaan oleh masyarakat. Dalam berbagai interdependensi dan proses pertukaran antara masyarakat sipil dan militer, perlu dicatat bahwa ketika institusi militer telah membuka diri terhadap perubahan sosial, yang bertolak belakang antara satu dengan lainnya. Secara umum, angkatan bersenjata secara formal berpegang teguh pada bentuk teknologi tinggi yang terakhir, namun, pada saat yang bersamaan, juga melakukan praktek yang sudah lama dilakukan dan terlihat seperti ritual yang sudah ketinggalan zaman.

Pada satu sisi, telah diperlihatkan oleh banyak penelitian sosial bahwa, misalnya, militer Amerika Serikat secara jelas telah melakukan tugasnya secara lebih baik bila dibandingkan dengan lembaga negara lain di Amerika, dalam hal integrasi ras dan memperbaiki kesalahan rasial. Kenyataannya adalah mereka tidak seberhasil dalam menata issue gender di mana mereka tidak dapat mengubah fakta bahwa militer terkadang memimpin perubahan sosial dalam isu yang paling diinginkan. Pandangan integrasi dari Truman mungkin mewakili pemaksaan dari luar terhadap militer mengenai sebuah prinsip moral yang universal, pada saat masyarakat sipil menunjukan sedikit komitmen terhadap integrasi sosial.

Di sisi lain, membentuk satu sosok identitas tentara berdasarkan makna kekesatriaan dan keberanian masih dianggap konstitutif oleh banyak orang. dalam hal ini menarik juga untuk dicatat bahwa sebuah bagian besar dari undang-undang perang moderen telah mengembangkan kodefikasi dan universalitas kebiasaan dan peraturan untuk tentara khusus dan professional, sesuatu, khususnya, yang berbeda dengan kehidupan sosial yang umum. Hal ini mempertahankan penekanan pada profesionalisme sebagai nilai mutlak dari ketentaraan –sebuah nilai pengganti untuk kekesatriaan. Namun banyak masyarakat sipil yang cenderung untuk meremehkan kehormatan perang atau sebuah kode makna kehormatan seperti yang terjadi pada masa lampau, karena banyak tentara professional yang meremehkan masyarakat sipil sebagai kemunduran ataupun kemerosotan moral.

Hal itu terlihat seakan-akan sebuah pandangan terhadap nilai menyertai profesi dari masa Republik Plato, di mana ia mengenalkan empat makna utama: keadilan, kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, “utama” (cardo – inti di atas segalanya) bagi tentara manapun, bahkan hingga sekarang. Misalnya, selama Perang Gurun, Joint Chief of Staff Jenderal Colin Powell, dalam memutuskan untuk tidak melanjutkan perang terhadap tentara Irak, dengan rendah hati menerangkan keputusannya bahwa pengrusakan mereka akan sangat “tidak Amerika dan tidak ksatria”. Dalam kasus ini, seperti juga yang lain, moralitas seorang tentara terbukti lebih membatasi dan manusiawi ketimbang hukum internasional.

Dalam hal pentingnya menyebutkan disiplin, komando, hirarki, divisi tugas, dan, sebagai tambahan, supremasi masyarakat di atas individu merupakan kualitas abadi seorang tentara yang sedang bertugas, dan menjadi sangat jelas bahwa mengintegrasikan tentara ke dalam nilai dan lembaga masyarakat sipil akan melemahkan sifat dan tugas yang berbeda dari organisasi tersebut.

Di Amerika Serikat, sebuah komisi yang berbeda menyebutkan bahwa “disiplin” – bagian pemikiran yang membawa kemauan untuk mematuhi perintah tak peduli betapa tidak menyenangkan atau berbahaya…-bukanlah karakter dari masyarakat sipil”. Kemudian, misalnya, terlihat seakan-akan makna disiplin paling baik dapat ditumbuhkan dalam tingkat isolasi dari godaan tertentu dan pemuasan materi yang ada dalam masyarakat sekarang. Tidak hanya Mahkamah Agung AS yang telah lama mengetahui bahwa militer adalah komunitas khusus yang terpisah dari masyarakat sipil. Atau seperti yang diungkapkan oleh seorang perwira senior, “tak ada tempat selain nilai yang penting untuk mempertahankan sebuah masyarakat yang demokratis yang sering dianggap aneh oleh nilai masyarakat itu sendiri”. Hal ini tidak menunjukan bahwa sifat dari nilai militer dan arti dari kehormatan tentara sebagai sesuatu yang tak dapat diubah. Komitmen normatif yang tepat untuk masyarakat yang terpisah ini telah bergeser secara signifikan seiring berjalannya waktu. Biasanya, masyarakat barat yang moderen tidak lagi memperbolehkan seseorang untuk menanamkan makna kepahlawanan Homeric atau tentara Samurai, namun pemikiran historis dari kehormatan perang dapat ditinjau ulang dengan cara yang dapat membuat nilai-nilai itu dipertahankan dalam sebuah subkomunitas terbatas dari sebuah komunitas yang jauh lebih besar.


Daftar pustaka

Larry Diamond dan Marc F. Platter (ed), Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi. RajaGrafindoPersada, Jakarta. 2001, hal XXXVI

Pascale Laborier, Understanding the Relevance of Ideas for Governmentality: Some Conceptual and Methodological Reflections. Paper Uppsala, Sweden, 13-18 April 2004

Alfred Stepan, Rethinking Militray Politics: Brazil and the Southern Cone. Princeton University Press, Princeton. 1988, hal 138-139

Robertus Robert, Republikanisme dan Keindonesiaan Sebuah Pengantar. Marjin Kiri, Jakarta. Juni 2007, hal 101

Henk Schulte Nordholt dan Gusti Asnan (ed.), Indonesia in Transition Work in Progress. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003, hal 29-30

Ratanuson,2004. “Demokrasi di Antara Slogan dan Harapan “ http://www.bingkaruang.net/Jurnal/Pemerintahan/Demokrasi_Theory.doc., 9 mei 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar